Jumat, 02 November 2012

MAKNA PROGRESIFITAS BAGI HIMA PERSIS


Oleh: Jajang Hidayatullah*

Dalam kamus ilmiah, Progresif diartikan ‘berhasrat maju; selalu (lebih) maju, meningkat’ (Agus tin, 2001:434). Progresif bagi kehidupan saat ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi bagi ‘organisasi kader’ seperti Hima Persis. Karena kalau kita tidak berubah atau sama sekali tidak berkeinginan untuk maju, konsek-wensinya  kita akan dianggap seperti fosil dinosaurus yang telah mati.
Tentunya progresifitas yang dimaksud mempunyai pengertian yang utuh dan sesungguhnya. Mental membangun atau progresifitas tidak diartikan pada pemahaman kearah perkara yang bersifat fisik, atau malah terjebak pada istilah    modernitas,    sehingga pengertiannya menjadi sempit karena berkubang pada hal yang bersifat kasat mata saja. Perlu diingat bahwa Kejayaan fisik suatu peradaban sangat melenakan. seringkali kejayaan itu diadopsi dari peradaban Barat yang sekuler, tak ayal kecanggihan teknologi dan pengetahuan yang berkembang di Barat pun me-maksa kita sebagai umat Islam harus silau dan pasrah berkiblat buta ke Barat. Perlu juga disampaikan disini, bahwa Modernisasi—‘simbol kemajuan’— yang diajarkan Barat acap kali senyawa dengan sekulerisasi. Padahal sekulerisasi bukanlah syarat mutlak kemodernan dan kemajuan. Masyarakat tidak mesti menjadi sekuler untuk menjadi modern.

Sekulerisasi disini tentu bukan sekedar ideologi politik yang memisahkan urusan agama dari Negara, tapi juga berarti rumusan keyakinan yang mengingkari adanya kehidupan akhirat, menganggap bahwa dunia inilah kehidupan hakiki, tidak ada hidup sesudah mati dan tidak ada pertanggung jawaban dihadapan Tuhan (Syamsudin Arif, 2008: 101). Bagi kita—kader Ulul Albab, harus menyakini bahwa kebenaran Agama dan kekuasan politik terkait erat dan tidak dapat dipisahkan. Agama menyucikan politik dan politik mendukung agama.
Memang benar pembangunan itu memerlukan kemajuan akan tetapi kemajuan tidak difahami secara ‘emosional’; artinya dalam banyak hal kemajuan itu seringkali kali kita dituntut untuk melihat ke belakang (dalam bahasa Fahmi menyebutnya dengan istilah Tradisionalisasi). Tetapi tentunya, hal ini harus disikapi dengan akseleratif dan mengkolaboraikannya secara kreatif tidak kemudian menjadikan kita terseret pada arus kejumudan yang sangat membahayakan dan sangat dihindari oleh    kaum yang maju.
Sesungguhnya dominannya konsep-konsep baru yang sekuler dewasa ini merupakan tantangan tersendiri bagi ilmu-ilmu tradisional, yang sebenarnya harus dipertahankan karena pada fakta-nya tetap masih dapat menjawab tantangan Zaman. Justru upaya liberalisai atau sikap alergi dengan tradisionalisasi adalah suatu hal yang tidak perlu dilakukan. Pengkolaborasian antara konsep-konsep kekinian dengan khazanah pemikiran Islam masa lalu merupakan formula hidup progresif. Walhasil, setiap permasalahan zaman sekarang hendaklah segala sesuatunya kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut Al-Attas perubahan, pembangunan dan kemajuan atau progresifitas menurut pengertian yang benar bagi kita sebagai muslim adalah bergerak dengan sadar dan mengarahkannya pada Islam yang sejati. Menurut beliau tidak dikatakan maju, bagi orang yang hanya bisa meraba-raba dalam kegelapan (keragu-raguan) seperti halnya Barat (Al-Attas, 2007:71).
Dengan demikian, Wan Daud memberikan istilah yang paling tepat  dari makna pembangunan atau progresifitas itu dengan terminologi pengislahan. Menurutnya Pengislahan mengandung sesuatu yang baik dan suci. Tumbuh atau pun tidak sesuatu, asalkan sesuatu itu mengandung kebaikan maka itulah pembangunan yang sebenarnya (Wan Daud, 2009:7) atau dengan kata lain, kita maju ke depan atau mundur ke belakang jika memberikan kebaikan yang hakiki, itulah pembangunan sesungguhnya. Sebaliknya meskipun kelihatannya maju, tapi pada faktanya tidak menghasilkan kemashlahatan, malah menumbuhkan kemadharathan misalnya, maka itupun bukan progresif. Sebab dalam banyak hal kita diharuskan melihat ke belakang sebagaimana kita melihat zaman Rasulullah Saw dan kehidupannya dengan para sahabat yang merupakan contoh kehidupan paling baik.
Progeresifitas bagi Hima Persis sering kali diterjemahkan dengan ‘tidak jujur’, kesalahan konseptual ini acap kali berimplikasi pada suatu gerakan mahasiswa yang hampa. Bahkan situasi yang paling parahpun sering terjadi, gerakan mahasiswa menjadi sangat brutal, amoral, menakutkan, tidak strategis dan dipandang murahan di hadapan masyarakat. Motivasi dari suatu tindakan dan gagasan bahkan beragam aksi mahasiswa tidak lagi disimpan pada ruang yang mulia akan tetapi lebih banyak mengharapkan berbagai variasi pamrih yang justru dinilai amat remeh-temeh.
Fenomena semacam ini tentunya jangan terlalu lama diendapkan. Karena kalau hal ini terus terjadi, cepat atau lambat maka kecelakaan sejarah akan segera menanti. Penanganan paling tepat saat ini adalah dengan menyadarkan para mahasiswa agar dapat kembali pada suatu kekuatan moral bangsa. Kebiasaan Gontok-gontokan hanya untuk mengejar kepuasan dan kepentingan sesaat harus dengan segera kita singkirkan. tampaknya sudah sangat mendesak dilakukan upaya revitalisasi pergerakan mahasiswa; yaitu upaya pengenalan pada gerakan mahasiswa sesungguhnya. Dimana mahasiswa tidak lagi terjebak dan habis waktu pada kegiatan aksi demonstrasi yang semakin ditelan gempuran pragmatisme kehidupan.
Dari analisa terhadap permasalahan diatas, saya kira Hima Persis dengan penuh kejujuran harus mulai memupuk keberanian mental untuk kembali ke habitatnya (menekuni aktivitas akademi di kampus), berkompetisi dengan mahasiswa lain agar semakin profesional, lebih serius pada lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat, dakwah, seminar, diskusi ilmiah dan sejumlah pusat serta kelompok kajian keilmuan dibidangnya. kita bangun mahasiswa yang hidup dalam lingkup dan iklim akademik yang ilmiah dan intelek. Mari kita hidupkan kampus menjadi medan pergumulan intelektual yang menawarkan sejumlah konsep dan alternatif bagi setiap detik perkembangan dan problema keilmuan serta pengembangan masyarakat.
Sampai disini saya harus berhenti mengkritik diri saya sendiri. Semua tahu Sejak awal Hima Persis memproklamasikan eksistensinya sebagai organisasi kader, artinya bukan organisasi politik yang hanya bisa berkumpul apabila musim pemilu saja; kekuasaan dan hal-hal yang bersifat pragmatis menjadi target tujuannya. Dalam misinya mewujudkan kader Ulul Albab menjadi bukti bahwa Hima Persis sudah on the right track dengan tidak termasuk organisasi yang “lucu” itu—mudah-mudahan seperti itu...amin.


*Penulis adalah Ketua Departemen Kajian Ilmiah PD. Hima Persis Garut


Tidak ada komentar: