Oleh: Jajang
Hidayatullah*
Dalam
kamus ilmiah, Progresif diartikan ‘berhasrat maju; selalu (lebih) maju,
meningkat’ (Agus tin, 2001:434). Progresif bagi kehidupan saat ini merupakan
harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi bagi ‘organisasi kader’
seperti Hima Persis. Karena kalau kita tidak berubah atau sama sekali tidak
berkeinginan untuk maju, konsek-wensinya
kita akan dianggap seperti fosil dinosaurus yang telah mati.
Tentunya
progresifitas yang dimaksud mempunyai pengertian yang utuh dan sesungguhnya.
Mental membangun atau progresifitas tidak diartikan pada pemahaman kearah
perkara yang bersifat fisik, atau malah terjebak pada istilah modernitas, sehingga pengertiannya
menjadi sempit karena berkubang pada hal yang bersifat kasat mata saja. Perlu
diingat bahwa Kejayaan fisik suatu peradaban sangat melenakan. seringkali
kejayaan itu diadopsi dari peradaban Barat yang sekuler, tak ayal kecanggihan
teknologi dan pengetahuan yang berkembang di Barat pun me-maksa kita sebagai
umat Islam harus silau dan pasrah berkiblat buta ke Barat. Perlu juga
disampaikan disini, bahwa Modernisasi—‘simbol kemajuan’— yang diajarkan Barat
acap kali senyawa dengan sekulerisasi. Padahal sekulerisasi bukanlah syarat
mutlak kemodernan dan kemajuan. Masyarakat tidak mesti menjadi sekuler untuk
menjadi modern.
Sekulerisasi disini
tentu bukan sekedar ideologi politik yang memisahkan urusan agama dari Negara,
tapi juga berarti rumusan keyakinan yang mengingkari adanya kehidupan akhirat,
menganggap bahwa dunia inilah kehidupan hakiki, tidak ada hidup sesudah mati
dan tidak ada pertanggung jawaban dihadapan Tuhan (Syamsudin Arif, 2008: 101). Bagi kita—kader
Ulul Albab, harus menyakini bahwa kebenaran Agama dan kekuasan politik terkait
erat dan tidak dapat dipisahkan. Agama menyucikan politik dan politik mendukung
agama.
Memang benar
pembangunan itu memerlukan kemajuan akan tetapi kemajuan tidak difahami secara
‘emosional’; artinya dalam banyak hal kemajuan itu seringkali kali kita dituntut
untuk melihat ke belakang (dalam bahasa Fahmi menyebutnya dengan istilah Tradisionalisasi).
Tetapi tentunya, hal ini harus disikapi dengan akseleratif dan
mengkolaboraikannya secara kreatif tidak kemudian menjadikan kita terseret pada
arus kejumudan yang sangat membahayakan dan sangat dihindari oleh kaum yang maju.
Sesungguhnya
dominannya konsep-konsep baru yang sekuler dewasa ini merupakan tantangan
tersendiri bagi ilmu-ilmu tradisional, yang sebenarnya harus dipertahankan
karena pada fakta-nya tetap masih dapat menjawab tantangan Zaman. Justru upaya
liberalisai atau sikap alergi dengan tradisionalisasi adalah suatu hal yang
tidak perlu dilakukan. Pengkolaborasian antara konsep-konsep kekinian dengan
khazanah pemikiran Islam masa lalu merupakan formula hidup progresif. Walhasil,
setiap permasalahan zaman sekarang hendaklah segala sesuatunya kita kembalikan
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut Al-Attas perubahan, pembangunan
dan kemajuan atau progresifitas menurut pengertian yang benar bagi kita sebagai
muslim adalah bergerak dengan sadar dan mengarahkannya pada Islam
yang sejati. Menurut beliau tidak dikatakan maju, bagi orang yang hanya bisa
meraba-raba dalam kegelapan (keragu-raguan) seperti halnya Barat (Al-Attas,
2007:71).
Dengan demikian, Wan Daud memberikan
istilah yang paling tepat dari makna
pembangunan atau progresifitas itu dengan terminologi pengislahan. Menurutnya
Pengislahan mengandung sesuatu yang baik dan suci. Tumbuh atau pun tidak
sesuatu, asalkan sesuatu itu mengandung kebaikan maka itulah pembangunan yang
sebenarnya (Wan Daud, 2009:7) atau dengan kata lain, kita maju ke depan atau
mundur ke belakang jika memberikan kebaikan yang hakiki, itulah pembangunan
sesungguhnya. Sebaliknya meskipun kelihatannya maju, tapi pada faktanya tidak
menghasilkan kemashlahatan, malah menumbuhkan kemadharathan misalnya, maka
itupun bukan progresif. Sebab dalam banyak hal kita diharuskan melihat ke
belakang sebagaimana kita melihat zaman Rasulullah Saw dan kehidupannya dengan
para sahabat yang merupakan contoh kehidupan paling baik.
Progeresifitas bagi
Hima Persis sering kali diterjemahkan dengan ‘tidak jujur’, kesalahan
konseptual ini acap kali berimplikasi pada suatu gerakan mahasiswa yang hampa.
Bahkan situasi yang paling parahpun sering terjadi, gerakan mahasiswa menjadi
sangat brutal, amoral, menakutkan, tidak strategis dan dipandang murahan
di hadapan masyarakat. Motivasi dari suatu tindakan dan gagasan bahkan beragam aksi
mahasiswa tidak lagi disimpan pada ruang yang mulia akan tetapi lebih banyak
mengharapkan berbagai variasi pamrih yang justru dinilai amat remeh-temeh.
Fenomena semacam
ini tentunya jangan terlalu lama diendapkan. Karena kalau hal ini terus
terjadi, cepat atau lambat maka kecelakaan sejarah akan segera menanti. Penanganan
paling tepat saat ini adalah dengan menyadarkan para mahasiswa agar dapat
kembali pada suatu kekuatan moral bangsa. Kebiasaan Gontok-gontokan hanya untuk
mengejar kepuasan dan kepentingan sesaat harus dengan segera kita singkirkan.
tampaknya sudah sangat mendesak dilakukan upaya revitalisasi pergerakan
mahasiswa; yaitu upaya pengenalan pada gerakan mahasiswa sesungguhnya. Dimana mahasiswa
tidak lagi terjebak dan habis waktu pada kegiatan aksi demonstrasi yang semakin
ditelan gempuran pragmatisme kehidupan.
Dari analisa
terhadap permasalahan diatas, saya kira Hima Persis dengan penuh kejujuran
harus mulai memupuk keberanian mental untuk kembali ke habitatnya (menekuni
aktivitas akademi di kampus), berkompetisi dengan mahasiswa lain agar semakin
profesional, lebih serius pada lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat, dakwah,
seminar, diskusi ilmiah dan sejumlah pusat serta kelompok kajian keilmuan
dibidangnya. kita bangun mahasiswa yang hidup dalam lingkup dan iklim akademik
yang ilmiah dan intelek. Mari kita hidupkan kampus menjadi medan pergumulan
intelektual yang menawarkan sejumlah konsep dan alternatif bagi setiap detik
perkembangan dan problema keilmuan serta pengembangan masyarakat.
Sampai disini saya
harus berhenti mengkritik diri saya sendiri. Semua tahu Sejak awal Hima Persis memproklamasikan
eksistensinya sebagai organisasi kader, artinya bukan organisasi politik yang
hanya bisa berkumpul apabila musim pemilu saja; kekuasaan dan hal-hal yang
bersifat pragmatis menjadi target tujuannya. Dalam
misinya mewujudkan kader Ulul Albab menjadi bukti bahwa Hima Persis sudah on
the right track dengan tidak termasuk organisasi yang “lucu” itu—mudah-mudahan
seperti itu...amin.
*Penulis
adalah Ketua Departemen Kajian Ilmiah PD. Hima Persis Garut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar