Pendahuluan
Islam bukanlah agama
yang melulu individualis, tapi juga bukan agama yang melulu sosialis.
Islam berdiri dengan caranya sendiri. Islam berkukuh dalam pandangan yang
“moderat”[1]
dan berdiri sebagai penengah dari semua pertentangan. Ketika orang-orang Barat
tengah kebingungan dengan solusi yang seharusnya mereka temukan demi menjawab
tantangan yang mereka hadapi, Islam telah lebih dahulu merumuskan itu melalui
firman Allah yang mulia, al-Quran al-Karim. Juga telah direpresentasikan dalam
suatu pengamalan yang luar biasa agung dan mulia melalui sunnah
Rasulullah Saw. serta dilestarikan dengan apik oleh para pengikutnya yang tidak
kalah mulianya, para warasatul anbiya (pewaris para nabi); para Ulama
kaum muslimin.
Bukan hal yang baru
tentunya, ketika Islam sebagai agama yang universal dan mencakup seluruh aspek
kehidupan di berbagai masa dan tempat ini ditabrakan oleh orang-orang yang
tidak bertanggungjawab dengan berbagai isu-isu yang bisa menghancurkan izzatul
islam. Para musuh Allah yang sejati tidak pernah sejenakpun lelah untuk
terus melancarkan serangan terhadap dinullah yang mulia ini baik dari
luar maupun dari dalam. Dengan berbagai sistem yang cerdik dan sisitematis
mereka menyerang Islam mulai dari depan, belakang, kanan, kiri sampai dari
bawah sekalipun. Karena memang begitulah janji iblis kepada Allah ketika ia
diusir dari surga karena menolak untuk bersujud (tanda penghormatan) kepada
Adam ‘alaihi salam.
Saat ini, serangan
mereka (para musuh Allah) telah benar-benar ingin merubah worldview atau
pandangan hidup orang muslim dengan berbagai virus yang mereka tebar melalui
isme-isme “nyeleneh”-nya. Seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme,
sosialisme, dan masih banyak lagi isme-isme lainnya yang tidak kalah sesatnya.
Tapi benarkah semua isme-isme itu sesat? Adakah diantara isme-isme itu yang
sesuai dengan ajaran dan tuntunan Islam? Atau mungkin bagaimanakah cara pandang
Islam terhadap berbagai isme-isme itu? Nah, dalam makalah ini penulis
akan sedikit memberikan paparan singkat tentang tema khusus Islam dan sosialisme,
atau lebih tepatnya cara pandang Islam terhadap paham sosialisme. Yang insya
Allah akan penulis kupas dalam beberapa sub-bahasan, antara lain tentang
(a) pengertian dari sosialisme itu sendiri. (b) sejarah munculnya sosialisme,
(c) pandangan Islam terhadap sosialisme, dan terakhir penulis akan membahas (d)
adakah sosialisme ala Islam?
Pada penulisannya,
makalah ini memang banyak mengambil rujukan dari buku HOS. Tjokroaminoto (1882-1934)
yang berjudul Islam dan Sosialisme. Karena pertama, tema bahasan yang sangat
sesuai dengan yang hendak penulis sajikan. Dengan beberapa faktor lainnya
tentunya, termasuk kurang luasnya bacaan penulis terhadap masalah yang hendak
penulis sajikan ini. Namun penulis tetap berusaha menyajikan makalah ini
melalui persinggungan dan pertautan dari berbagai literatur yang bisa penulis
temukan. Sehingga tidak menghilangkan esensi dari sebuah makalah ilmiah
tentunya, bi idznillah.
***
Pengertian Sosialisme
Sebelum jauh penulis
membicarakan tentang Islam dan sosialisme, tentu wajib hukumnya untuk kita mengenal
istilah sosialisme itu sendiri terlebih dahulu. Dengan tujuan agar memberikan
batasan serta kejelasan tentang yang tengah dibicarakan dalam makalah ini.
Kata sosialisme berasal
dari bahasa latin socius yang artinya dalam bahasa Belanda; maker.
Atau teman dalam bahasa Melayu; kita dalam bahasa Jawa; dan sahabat atau asyrat
dalam bahasa Arab.[2] Jadi
sosialisme adalah suatu paham yang berakar pada pikiran atau angan-angan yang
indah tentang pertemanan, persahabatan, dan sekaligus menjadi vis-a-vis
paham individualisme, yang hanya mementingkan diri sendiri di atas segalanya.[3]
Sebenarnya sosialisme
pada prakteknya begitu beragam bentuknya, tiap-tiap aliran memiliki aturan atau
stel-sel-nya masing-masing, yang mana satu sama lainnya memiliki banyak
perbedaan. Namun meskipun demikian, tetap diantara satu sama lain memiliki satu
kesamaan, yaitu, bahwa semua kaum sosialis berkomitmen untuk melindungi
kepentingan, hak dan juga kewajiban gemeenschap (suatu perikatan orang
yang hidup bersama) di atas hawa nafsunya seorang, ataupun segolongan kecil
saja dari masyarakat.[4]
Hal ini sangat erat
kaitannya dengan paham demokrasi pada tahap berikutnya, karena memang paham ini
menuntut persamaan (equality) antara semua manusia, tak peduli dia
adalah orang pintar dan bodoh, orang besar dan kecil, ataupun yang lainnya.
Bagi mereka kepentingan hidup orang yang lebih banyaklah yang harus lebih
didahulukan. Tak peduli siapa yang benar dan tepat, karena bagi mereka
kepentingan manusia kebanyakanlah kebenaran itu.[5]
Pada mulanya, gerakan
ini memang muncul dari latar belakang keadaan-keadaan yang busuk di setiap
zamannya. Namun, paham ini sama sekali tidak berangkat dari suatu kesadaran
keberagamaan yang mendalam. Maka pada perkembangannya, sosialisme ini perlahan
demi perlahan dipengaruhi masuknya anasir yang salah, yang menyebabkan
terjadinya pergeseran orientasi pergerakan para pengusung sosialistik,
khususnya di negara-negara Barat, semakin menuju unsur-unsur kebendaan belaka.
Yang menyebabkan lebih berkembangnya lagi makna untuk kata sosialisme ini. Maka
berangkat dari sanalah, mulai terlihatlah “kemesraan” antara sosialisme ala
Barat ini dengan hal-hal materialistis, bahkan mencapai derajat materialisme,
yang mana ini pada akhirnya mempengaruhi tidak hanya cara bersikap dalam
kehidupan sosial, akan tetapi sampai-sampai menjangkau tataran cara pandang
beragama dan berkeyakinan. Namun masalah itu baiknya lebih tepat bila penulis
perpanjang dalam pembahasan sejarah munculnya paham sosialisme ketimbang dalam
bahasan pengertian ini.
Maka dari itu, agar
pembahasan dalam makalah ini tidak melebar, penulis memberikan batasan yang insya
Allah memberikan patokan yang jelas, dengan mengidentikan kata sosialisme
dalam makalah ini akan berarti pada sosialisme ilmiah[6],
atau wetenschappelijke sosialisme (Social-democratie; sosialisme
yang berdasarkan pengetahuan), atau lebih terangnya, paham ini menghendaki
suatu masyarakat itu dipimpin oleh satu pemerintahan yang dipilih oleh
masyarakat dengan cara demokratis, dan yang saat ini dikenal dengan nama marxisme.
Dan cara ini bukanlah termasuk sebuah politik demokrasi, akan tetapi sosial
demokrasi, setidaknya begitulah menurut Marx.[7]
Namun sedikit saja
tambahan, sebelum penulis mengakhiri bahasan tentang pengertian sosialisme.
Penulis akan memberikan sedikit paparan mengenai hubungan antara kata
sosialisme dengan kata komunisme. Ada hubungan yang cukup dekat sebenarnya
antara kedua istilah ini, apabila kata komunisme berbicara tentang segala peraturan
yang menyerang kepada yang sifatnya kepunyaan seseorang dan mengalih-namakannya
dengan semacam aturan commuo boniorum, yaitu menjadikannya milik
bersama. Ungkapan communia boniorum senantiasa bergandengan dengan kata
komunisme, sedangkan kata communio (memiliki, mempunyai bersama) itu
menjadi standard bagi tercapainya kebahagiaan dalam paham komunisme. Nah,
adapun sosialisme itu lebih khusus berbicara tentang satu bagian yang
terpenting dari komunisme. Jadi, sosialisme hanyalah berupa anasir dari keberadaan
komunisme.[8]
Ada beberapa poin lagi
nampaknya, menurut Tjokroaminoto, yang mesti disampaikan berkaitan dengan
beberapa pengertian yang telah diungkapkan di atas mengenai sosialisme. Namun
untuk memberikan pemahaman yang sederhana dan ringkas –bukan dalam maksud
menghilangkan bahasan, ataupun menganggap tidak penting- di sini penulis hanya
akan masukan bahasan yang benar-benar tepat dengan apa yang penulis maksudkan
dan kehendaki dalam makalah ini. Yaitu apabila seseorang mengatakan sosialisme,
maka sebenarnya orang tersebut bukan hanya akan membicarakan tentang urusan
harta benda atau ekonomi, tetapi juga ia akan melingkupi pembicaraan tentang
ajaran-ajaran agama serta falsafah, atau bahkan juga berbicara tentang pandangan
hidup terhadap dunia (worldview atau kosmologi).[9]
Sejarah Munculnya Sosialisme
Berbicara tentang
sosialisme, berarti juga berbicara tentang seorang tokoh kontroversial yang
sangat luas pengaruhnya (setidaknya bermula pada kurun satu abad setelah
kewafatannya), seorang pencetus paham sosialisme-komunis, yang kini lebih
dikenal dengan paham marxisme, Karl Marx (1818-1883).
Seperti yang telah
penulis ungkap dalam pembahasan sebelumnya, bahwa memang pada mulanya paham ini
muncul dari kondisi masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti misalnya yang
dialami oleh Marx, sang pencetus paham Social-democratie ini.
Hidup dalam masa sulit
penindasan Napoleon Bonaparte, dan juga peralihan kekuasaan pasca-Napoleon
kembali menuju pangkuan para raja dan pangeran yang feodal. Sehingga Jerman
saat itu bukanlah tempat yang nyaman bagi para pemikir –untuk tidak dikatakan
berbahaya untuk orang yang berpikir. Sampai-sampai ada ungkapan,
“Mereka
(orang-orang Jerman) tidak akan pernah bangkit. Mereka akan lebih suka mati
ketimbang berontak...mungkin seorang Jerman sekalipun, ketika sudah begitu
kecewa, akan berhenti berdeabat, tetapi dia membutuhkan sejumlah amat sangat
besar penindasan, penghinaan, ketidakadilan dan penderitaan yang tak terkatakan
untuk mengubahnya menjadi begitu”, Michael Bakun.[10]
Bahkan Marx sendiri
pernah berkata,
“Pada
masa feodalisme, jangalah engkau menggerakkan tangan dan kaki secara sia-sia,
lakukanlah suatu kegiatan agar feodalisme dapat melewati masanya, dan masuk
pada masa borjuisme. Apabila masyarakat telah memasuki masa kapitalisme,
lakukanlah suatu upaya agar terjadi pertentangan yang cukup keras, sehingga
terciptalah revolusi.”[11]
“Aqidah” inti dari ajaran sosialisme ini meliputi pemahaman (a) materialisme, baik itu materialisme sejarah maupun materialisme dialektis, kemudian (b) bahwa kebenaran itu dikembalikan kepada kondisi riil masyarakat (realisme) dan yang dianggap benar adalah semua yang dilakukan dan disetujui oleh kebanyakan masyarakat, dan last but not least (c) atheisme.
Ini menunjukan betapa
kuat kondisi itu membentuk watak dan pemikiran Marx muda. Ada pula hubungan
yang tidak baik yang terjadi antara Karl Marx dengan agama yang di masa
mendatang membuat ia menjadi seorang materialis-atheis.[12]
Ketika undang-undang anti-Yahudi diberlakukan oleh pemerintahan Jerman pada
tahun 1816. Karena ia “kebetulan” terlahir sebagai seorang Yahudi, ia benar-benar
mengalami pengalaman “keimanan” yang sangat tidak menyenangkan, keimanan yang
kabur dan tidak jelas, antara Yahudi sebagai “agama ibunya”, kristen sebagai
“agama resmi negara”, bahkan lutherianisme. Yang menjadikannya seperti orang
yang kehilangan kepercayaan bahkan membuatnya benci terhadap semua yang
berkaitan dengan “agama”![13]
Pandangan Islam terhadap Sosialisme
Kritik yang dilancarkan terhadap
sosialisme ini bila dihimpun memang cukup banyak sekaligus pedas kiranya.
Banyak yang mengatakan bahwa beberapa pemikiran Marx yang memang telah usang
ditelan masa, yang mana pengaruhnya sudah tidak dapat terlihat lagi. Bahkan, hatta
seorang Lenin saja telah banyak menyimpang dari apa yang ia “memproklamirkan”
diri sebagai seorang marxis sejati.[14]
Jon Elster (1940) bahkan mengatakan bahwa sosialisme ilmiah atau dikenal juga
dengan Social-democratie itu sudah mati.[15]
Sebenarnya ada beberapa
hal yang mesti menjadi sorotan utama dari pembahasan mengenai Islam dan
Sosialisme. Sebenarnya dari sudut manakah sosialisme ini bertentangan dengan
Islam? Apakah dari cita-citanya? Dari pandangannya tentang sistem ekonomi-kah?
Ataukah dari sisi mana sosialisme ini bertentangan dengan Islam? Nah,
itulah yang sebenarnya akan menjadi sentral bahasan dari makalah ini.
Sebagaimana telah
penulis singgung dalam pembahasan tentang pengertian sosialisme, bahwa ketika
berbicara tentang sosialisme berarti bukan hanya berbicara tentang pandangan
ekonominya saja, tetapi sekaligus pandangan terhadap agama, dan bahkan worldview
secara keseluruhan. Telah penulis singgung pula, bahwa paham sosialisme-marxisme
ini ber-epistem dari paham materialisme, bahwa apapun yang tidak berwujud
sebagai benda, maka dia itu tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ada.
Karena, segala sesuatu itu berasal dari benda, oleh benda dan kembali kepada
benda (uif de stof, door de stof, tot de stof ziin alle dingen).[16]
Nah,
justru dalam tataran inilah sosialisme ini menabrak prinsip-prinsip dasar dari
Islam sebagai dinullah yang sempurna. Seperti yang diungkapkan oleh Tjokro,
dari sinilah seseorang yang mengaku beragama Islam tidak boleh menerima paham wefonschappelik
socialisme. Salah satu paham yang berangkat dari asasnya yaitu, historisch
materialisme sebagai cabang falsafahnya.[17]
Yang benar-benar “diilhami” oleh pemahaman Ludwig Feurbach dengan wrisgeerig
materialisme-nya. Serta pemahaman Feurbach tadi juga sebenarnya sangat
dipengaruhi oleh dialectiek-nya Hegel. Dan selanjutnya disempurnakan
oleh Marx dan Friedrich Engels menjadi paham riwayat yang berdasar perikebendaan
atau materialistische gewhiedenisopvatting. Bahkan mereka (Marx dan
Engels) dikarenakan pengkultusannya terhadap paham Hegel tadi (sampai melebihi
teori mereka sendiri), sampai-sampai mengatakan, “Segala sesuatu yang ada
adalah benda belaka, dan wet (kekuasaan) yang terbesar di atas benda adalah
pergerakan atau kemajuan”.[18]
Menurut paham mereka
juga, bahwa kehidupan adalah perulangan sejarah, dan sejarah manusia itu selalu
identik dengan kegelapan. Dan sisi terang dalam sejarah hanyalah ada pada
kepemilikan pertama dan kepemilikan kedua, dan selainnya hanyalah keburukan
(kepemilikan pribadi). Mereka bahkan mengatakan, “Semua peristiwa itu adalah
kelicikan belaka, kegelapan di atas kegelapan, bahkan agama dan para nabi tidak
memiliki peran sama sekali, mereka tidak mengenal manusia, manusialah yang
menciptakan semua (agama-agama) itu, lalu mereka jadikan sebagai alat untuk
berbuat kezaliman, pembodohan, dan menciptakan candu. Jika ada seseorang yang
menyerukan hak dan keadilan, maka mereka pasti memiliki kepentingan tertentu.
Mungkinkah pada masa ‘kepemilikan pribadi’ terdapat orang yang benar-benar
mendukung hak, hakikat, dan keadilan?”[19]
Sosialisme juga identik
dengan Darwinisme, bahkan dalam bukunya Darwin-Marx dia benar-benar
“memuja” teori evolusinya. Oleh karena itu maka tiap-tiap murid Marx, tidak
boleh tidak adalah seorang darwinis, sebab sesungguhnya teorinya Marx ini
hanyalah lanjutan pelajaran Darwin dalam perikehidupan manusia bersama.[20]
Maka dalam segi-segi
inilah pemahaman sosialisme ini memperlihatkan sikap “permusuhannya” terhadap
agama, terutama Islam. Dari aspek materialismenya secara umum, telah
benar-benar bertabrakan dengan konsep epistemologi Islam yang berangkat dari
pemahamannya terhadap wahyu.[21]
Pemahaman ini juga kemudian menjadi dasar bagi terciptanya paham bahwa tuhan
itu adalah hasil ciptaan manusia.[22]
Bahkan dengan paham ini, tidaklah berlebihan bila dikatakan, bahwa paham ini
telah menukarkan “posisi” Allah sebagai Tuhan digantikan oleh “ketuhanan benda”.[23]
Dengan ini semua, bukan
berarti penulis menafikan jasa Marx dan Engels tentang perbaikan nasib kaum
miskin di negeri-negeri Barat.[24]
Karena diakui ataupun tidak, paham ini telah benar-benar menjadi lawan tangguh
bagi paham kapitalisme.[25]
Dengan memposisikannya seperti ini sebenarnya hal ini tengah mendudukan
sosialisme dalam posisi yang adil, namun juga bukan berarti berhenti dan diam
dari segala penyimpangan yang dilakukannya tentu. Memahami hal ini, Sir
Muhammad Iqbal mengatakan, bahwa seorang Marx ini boleh jadi “hatinya beriman
tapi otaknya kafir”.[26]
Selain itu, paham sosialisme ini
juga banyak menuai kritik dari sisi lainnya, seperti Michael H. Hart
mengatakan, bahwa paham sosialisme-marxisme ini merupakan bencana bagi umat
manusia, baik dari segi ekonomi maupun politiknya.[27]
Chris Baker juga mengatakan, bahwa pahamnya ini (historis materialisme) telah
merendahkan harkat dan derajat manusia, dengan memposisikannya hanya sebagai
agensi saja[28], dan
ini juga seirama dengan apa yang dikritisi oleh Murtadha Muthahhari.[29]
Wallahu a’lam.
Adakah Sosialisme ala Islam?
"Ketika
sosialisme sedang berbicara tentang masalah ekonomi, maka dia adalah komunisme,
yang mana itu adalah tujuan tertingginya.
Ketika
dia berbicara tentang politik, maka dia adalah demokrasi.
Dan ketika ia berbicara tentang falsafah hidup,
maka dia adalah materialisme"
Pertanyaan inilah yang
selanjutnya menjadi sesuatu yang menarik, adakah sosialisme ala
Islam? Atau bahkan, perlukah Islam terhadap paham sosialisme? Mengapa
pertanyaan ini menjadi menarik? Karena bagi Tjokroaminoto, tidak ada sosialisme
ataupun isme-isme lainnya yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain
dari sosialisme yang berdasar Islam.[30]
Namun mesti diingat,
bahwa Islam telah sempurna dari saat terhentinya tanzil, ketika dalam
haji wada Allah Swt. menurunkan ayat QS. Al-Maidah: 3, dengan kata-kata al-yauma
akmaltu lakum diinakum dan seterusnya merupakan sebuah “pernyataan sikap”
langsung dari Allah Swt. tentang sudah tidak perlunya Islam itu dibubuhi dengan
berbagai isme cadangan, karena Islam telah berdiri dengan ke-syumul-annya
sendiri, dengan seluruh kesempurnaan ajaran dan petunjuknya.[31]
Sebuah prinsip dasar tentunya bagi semua kaum muslimin bahwa Islam memang
benar-benar telah menjadi diinullah yang final, memiliki batasan-batasan
dan juga konsep yang sempurna dan tidak perlu tambahan, terlebih lagi mengenai
konsep bermasyarakat dan cara pandang hidup atau disebut juga worldview.
Adapun gaya yang
dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam berkilah mengenai sosialisme ala
Islam ini terlalu dipaksakan, karena sebenarnya semua dalih yang disampaikan
beliau dalam bukunya itu hanyalah menarik beberapa contoh ajaran Islam ke dalam
kesimpulannya sendiri, yaitu tentang sosialisme ala Islam tadi. Dan ini
kiranya kurang tepat menurut penulis, dan biarkanlah Islam tetap berjalan
dengan jalan yang telah digariskannya sendiri, sebuah konsep yang sempurna yang
telah dirumuskan oleh Sang Pencipta yang Mahasempurna, Allah Swt. serta
kemudian direalisasikan dalam bentuk yang lebih aplikatif oleh sang insan
kamil, seorang Rasulullah yang mulia dan teragung, Muhammad Saw. Yang terjadi
pada nasib agama lain tidaklah terjadi pada Islam, konsep sosialisme itu
sendiri berangkat dari suatu kekecewaan seorang Yahudi terhadap agama para
Rahib yang semena-mena di Gereja-gereja mereka. Ketika Islam berhadapan dengan
peradaban dunia saat itu, konsep Tuhan dan teks Al-Quran tidak bermasalah.
Islam tidak perlu mencari ajaran tambahan, bila sosialisme hanya dikatakan
sebagai aturan hidup, atau sikap bermasyarakat, mengapa tidak kita katakan saja
ini adalah sikap bermasyarakat dan aturan hidup menurut ajaran Islam, tidak
perlu dikatakan “Ini adalah sosialisme ala Islam”. Islam telah membentuk
sebuah peradaban yang luar biasa, Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang
telah dibangunnya sendiri. Roger Garaudy saja yang seorang bule paham
benar, bahwa Islam itu adalah pandangan terhadap Tuhan, alam dan juga manusia
yang membentuk sains, seni, individu dan masyarakat. Islam membangun dunia yang
bersifat ketuhanan dan kemanusiaan secara sekaligus. Jika peradaban Islam
dibangun dengan gaya-gaya Barat, itu berarti mencampurkan yang al-haq
dan yang al-bathil alias sunt bona mixtra malis, kata Pak Hamid.[32]
Wallahu a’lam.
***
Penutup
Sebagai penutup,
penulis banyak-banyak meminta maaf atas semua kesalahan yang terdapat dalam
makalah ini, semua yang baiknya dari Allah semata, dan apa yang jelek dan
kurangnya hadir dari kealfaan penulis sendiri. Namun mesti diingat dari semua
pemaparan di atas, Islam telah sempurna dengan konsepnya sendiri. Islam punya
aturan tentang bagaimana harus mengelola perekonomian, Islam juga memiliki
asas-asas dasar dalam mengelola perpolitikan, terlebih lagi dalam memberikan
petunjuk yang sempurna mengenai worldview.
Al-Haq min Rabbika,
wallahu al-Muwaafiq, wallahu a’lam bi shawwab.
Daftar
Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin. 2004. Wawasan Islam;
Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema
Insani Press.
Baggini, Julian. 2004. Lima Tema Utama Filsafat.
Terj. Nur Zain Hae. Bandung: Teraju.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies; Teori
& Praktik. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Berlin, Isaiah. 2000. Biografi Karl Marx.
Terj. Eri Setiyawati dan Sivester. Surabaya: Promethea.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2004. Dalam Terang;
Sebuah Puisi Mentafsirkan Tuntutan Amanah yang Diterima Insan serta Peranan
Ilmu dan Akhlak dalam Masyarakat. Petaling Jaya: Tradisi Ilmu Sdn Bhd.
Elster, Jon. 2000. Karl Marx; Marxisme-Analisis
Kritis. Terj. Sudarmaji. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Hart, Michael H. 2009. 100 Orang Paling
Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah. Terj. Ken Ndaru dan M. Nurul Islam.
Bandung: Mizan.
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Halim
al-Harrani. 2005. Al-Radd ‘ala Mantiqiyyin. Beirut: Muassasah al-Riyyan.
____________. t.t. Majmu’atul Fatawa. T.Tmp.
Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Menembus Batas Waktu
Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Muthahhari, Murtadha. 2001. Neraca Kebenaran
& Kebatilan; Menjalajah Alam Pikiran Islam. Terj. Najib Husain Alaydrus.
Bogor: Penerbit Cahaya.
Peurseun, Van. 1980. Orientasi di Alam Filsafat.
Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Suseno, Franz Magnis. 2003. Dalam Bayangan Lenin;
Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia.
Tjokroaminoto, Oemar Sa’id. 2010. Islam dan
Sosialisme. Bandung: Sega Arsy.
Yamani. 2003. Filsafat Politik Islam.
Bandung: Mizan.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2012. Misykat; Refleksi
tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi. Jakarta: INSISTS.
[1] Kata
“moderat” ini memang sering diperebutkan sekurang-kurangnya oleh tiga kelompok,
(a) anti-Islam, mereka mengatakan bahwa yang moderat itu yang menghujat
Tuhannya, menggugat syari'at, dan sebagainya yang senada dengan itu. (b)
pro-Barat, mereka mengatakan bahwa yang moderat itu yang ngikut
terhadap semua kemajuan di Barat, termasuk kemajuan menerapkan pluralisme,
liberalisme, sekularisme, hermeneutika, yang akhirnya akan juga menjatuhkan
posisi Islam dengan cara yang sangat munafik. (c) Islam, nah inilah
arti sebenarnya dari kata moderat, jadi moderat itu adalah berpikiran terbuka,
kritis, menghormati semua orang, bertoleransi bukan ber-pluralisme, bermoral,
melakukan amr ma'ruf nahyi munkar, menjalankan syari'at dengan baik,
dan tidak melakukan kekerasan dalam menghadapi masalah, melainkan dengan cara
yang hikmah dan mau'idzah hasanah. Lihat, Hamid Fahmy Zarkasyi dalam
bukunya Misykat; Refleksi tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi.
(Jakarta: INSISTS, 2012) hlm. 159-162. (Selanjutnya disebut Misykat)
[2]
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. (Bandung: Sega Arsy, 2010)
hlm. 15.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
Hlm. 16.
[5] Ibid.
Hlm. 19-20.
[6] Michael
H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah. Terj.
Ken Ndaru dan M. Nurul Islam. (Bandung: Mizan, 2009) hlm. 142. (Selanjutnya
disebut 100 Orang Paling Berpengaruh)
[7] HOS.
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 19-20.
Perbincangan tentang masalah demokrasi ini
banyak dikupas pula oleh Yamani dalam bukunya Filsafat Politik Islam.
(Bandung: Mizan, 2003).
[8] HOS.
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 18.
[9] Ibid.
Hlm. 19.
[10]
Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx. Terj. Eri Setiyawati dan Sivester.
(Surabaya: Promethea, 2000) hlm. 94.
[11]
Diambil dari kutipan Murtadha Muthahhari dalam buku, Neraca Kebenaran &
Kebatilan; Menjalajah Alam Pikiran Islam. Terj. Najib Husain Alaydrus.
(Bogor: Penerbit Cahaya, 2001) hlm. 25.
[12]
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 35.
[13]
Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx. Hlm. 41-45.
[14]
Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh. Hlm. 145. Simak juga,
Franz Magnis-Suseno dalam buku, Dalam Bayangan Lenin; Enam Pemikir Marxisme
dari Lenin sampai Tan Malaka. (Jakarta: Gramedia, 2003) hlm. 1-52. Lihat
juga fakta yang menunjukan penyimpangan yang dilakukan oleh para marxian
sendiri, bahkan oleh dirinya sendiri, yang direkam oleh Murtadha Muthahhari
dalam buku, Neraca Kebenaran & Kebatilan. Hlm. 27.
[15]
Jon Elster, Karl Marx; Marxisme-Analisis Kritis. Terj. Sudarmaji.
(Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000) hlm. 260.
[16]
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 35.
[17] Ibid.
Hlm. 31-32.
[18] Ibid.
Hlm. 33-34.
[19] Dikutip
dari Murtadha Muthahhari, Neraca Kebenaran & Kebatilan. Hlm. 29-30.
[20]
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 35.
[21]
Ungkapan ini mulai dikenal berawal dari kitab karya Imam Ibnu Taimiyah, Al-Radd
‘ala Mantiqiyyin. (Beirut: Muassasah al-Riyyan, 2005) hlm. 52. Bisa dilihat
juga dalam kitab Majmu’atul Fatawa-nya, kitab al-Mantiq. (t.tmp:
t.t.) jld. 9. Hlm. 16. Lihat juga, Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam;
Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam. (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004) hlm. 164.
[22]
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. (Bandung:
Mizan, 2005) hlm. 154.
[23] Seperti
apa yang diungkapkan oleh Tjokroaminoto dalam Islam dan Sosialisme. Hlm.
36.
[24] Ibid.
[25]
Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat. Terj. Nur Zain Hae. (Bandung: Teraju,
2004) hlm. 188.
[26] Hamid
Fahmy Zarkasyi, Misykat. Hlm. 35.
[27] Michael
H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh. Hlm. 143.
[28]
Van Peurseun dalam bukunya mengungkapkan kebenaran dari ungkapan tadi dengan
mengungkapkan bahwa materialisme dialektis atau sosialisme ala Marx dan
Engels ini adalah suatu paham filsafat yang mempercayai bahwa jalan untuk
memahami alam kebendaan ini kini lewat manusia, yaitu manusia dalam dimensi
sosialnya, manusia yang hidup dalam suatu masyarakat yang berproduksi. Bukan
seperti dalam materialisme kuno, yang justru memposisikan manusia sebagai subjek,
melalui pandangannya terhadap ilmu alam untuk mencapai kebenaran seluruhnya.
Selengkapnya lihat, Van Peurseun, Orientasi di Alam Filsafat. Terj. Dick
Hartoko. (Jakarta: Gramedia, 1980) hlm. 160.
[29] Chris
Barker, Cultural Studies; Teori & Praktik. Terj. Nurhadi.
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004) hlm. 15. Perhatikan juga, Murtadha
Muthahhari, Neraca Kebenaran & Kebatilan. Hlm. 21-37.
[30]
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 36.
[31] Dalam
puisinya, Prof. Wan memberikan suatu penguatan sekaligus bantahan terhadap
isme-isme ala Barat yang sudah membuat manusia gagal melihat Tuhan.
Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Dalam Terang; Sebuah Puisi Mentafsirkan
Tuntutan Amanah yang Diterima Insan serta Peranan Ilmu dan Akhlak dalam
Masyarakat. (Petaling Jaya: Tradisi Ilmu Sdn Bhd, 2004) hlm. 1-4.
[32]
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat. Hlm. 44-45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar