Kamis, 28 Mei 2015

Islam dan Sosialisme


                                                                      Oleh :
                                   Penulis Lepas, Kontributor inti Buletin RADIKAL, 
                                             Alumnus Kampus Bening STAIPI Garut
                                             (Muhammad Ridwan Nurrohman,S.Ud)
                                   

Pendahuluan
Islam bukanlah agama yang melulu individualis, tapi juga bukan agama yang melulu sosialis. Islam berdiri dengan caranya sendiri. Islam berkukuh dalam pandangan yang “moderat”[1] dan berdiri sebagai penengah dari semua pertentangan. Ketika orang-orang Barat tengah kebingungan dengan solusi yang seharusnya mereka temukan demi menjawab tantangan yang mereka hadapi, Islam telah lebih dahulu merumuskan itu melalui firman Allah yang mulia, al-Quran al-Karim. Juga telah direpresentasikan dalam suatu pengamalan yang luar biasa agung dan mulia melalui sunnah Rasulullah Saw. serta dilestarikan dengan apik oleh para pengikutnya yang tidak kalah mulianya, para warasatul anbiya (pewaris para nabi); para Ulama kaum muslimin.
Bukan hal yang baru tentunya, ketika Islam sebagai agama yang universal dan mencakup seluruh aspek kehidupan di berbagai masa dan tempat ini ditabrakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan berbagai isu-isu yang bisa menghancurkan izzatul islam. Para musuh Allah yang sejati tidak pernah sejenakpun lelah untuk terus melancarkan serangan terhadap dinullah yang mulia ini baik dari luar maupun dari dalam. Dengan berbagai sistem yang cerdik dan sisitematis mereka menyerang Islam mulai dari depan, belakang, kanan, kiri sampai dari bawah sekalipun. Karena memang begitulah janji iblis kepada Allah ketika ia diusir dari surga karena menolak untuk bersujud (tanda penghormatan) kepada Adam ‘alaihi salam.
Saat ini, serangan mereka (para musuh Allah) telah benar-benar ingin merubah worldview atau pandangan hidup orang muslim dengan berbagai virus yang mereka tebar melalui isme-isme “nyeleneh”-nya. Seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme, sosialisme, dan masih banyak lagi isme-isme lainnya yang tidak kalah sesatnya. Tapi benarkah semua isme-isme itu sesat? Adakah diantara isme-isme itu yang sesuai dengan ajaran dan tuntunan Islam? Atau mungkin bagaimanakah cara pandang Islam terhadap berbagai isme-isme itu? Nah, dalam makalah ini penulis akan sedikit memberikan paparan singkat tentang tema khusus Islam dan sosialisme, atau lebih tepatnya cara pandang Islam terhadap paham sosialisme. Yang insya Allah akan penulis kupas dalam beberapa sub-bahasan, antara lain tentang (a) pengertian dari sosialisme itu sendiri. (b) sejarah munculnya sosialisme, (c) pandangan Islam terhadap sosialisme, dan terakhir penulis akan membahas (d) adakah sosialisme ala Islam?
Pada penulisannya, makalah ini memang banyak mengambil rujukan dari buku HOS. Tjokroaminoto (1882-1934) yang berjudul Islam dan Sosialisme. Karena pertama, tema bahasan yang sangat sesuai dengan yang hendak penulis sajikan. Dengan beberapa faktor lainnya tentunya, termasuk kurang luasnya bacaan penulis terhadap masalah yang hendak penulis sajikan ini. Namun penulis tetap berusaha menyajikan makalah ini melalui persinggungan dan pertautan dari berbagai literatur yang bisa penulis temukan. Sehingga tidak menghilangkan esensi dari sebuah makalah ilmiah tentunya, bi idznillah.
***
Pengertian Sosialisme
Sebelum jauh penulis membicarakan tentang Islam dan sosialisme, tentu wajib hukumnya untuk kita mengenal istilah sosialisme itu sendiri terlebih dahulu. Dengan tujuan agar memberikan batasan serta kejelasan tentang yang tengah dibicarakan dalam makalah ini.
Kata sosialisme berasal dari bahasa latin socius yang artinya dalam bahasa Belanda; maker. Atau teman dalam bahasa Melayu; kita dalam bahasa Jawa; dan sahabat atau asyrat dalam bahasa Arab.[2] Jadi sosialisme adalah suatu paham yang berakar pada pikiran atau angan-angan yang indah tentang pertemanan, persahabatan, dan sekaligus menjadi vis-a-vis paham individualisme, yang hanya mementingkan diri sendiri di atas segalanya.[3]
Sebenarnya sosialisme pada prakteknya begitu beragam bentuknya, tiap-tiap aliran memiliki aturan atau stel-sel-nya masing-masing, yang mana satu sama lainnya memiliki banyak perbedaan. Namun meskipun demikian, tetap diantara satu sama lain memiliki satu kesamaan, yaitu, bahwa semua kaum sosialis berkomitmen untuk melindungi kepentingan, hak dan juga kewajiban gemeenschap (suatu perikatan orang yang hidup bersama) di atas hawa nafsunya seorang, ataupun segolongan kecil saja dari masyarakat.[4]
Hal ini sangat erat kaitannya dengan paham demokrasi pada tahap berikutnya, karena memang paham ini menuntut persamaan (equality) antara semua manusia, tak peduli dia adalah orang pintar dan bodoh, orang besar dan kecil, ataupun yang lainnya. Bagi mereka kepentingan hidup orang yang lebih banyaklah yang harus lebih didahulukan. Tak peduli siapa yang benar dan tepat, karena bagi mereka kepentingan manusia kebanyakanlah kebenaran itu.[5]
Pada mulanya, gerakan ini memang muncul dari latar belakang keadaan-keadaan yang busuk di setiap zamannya. Namun, paham ini sama sekali tidak berangkat dari suatu kesadaran keberagamaan yang mendalam. Maka pada perkembangannya, sosialisme ini perlahan demi perlahan dipengaruhi masuknya anasir yang salah, yang menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi pergerakan para pengusung sosialistik, khususnya di negara-negara Barat, semakin menuju unsur-unsur kebendaan belaka. Yang menyebabkan lebih berkembangnya lagi makna untuk kata sosialisme ini. Maka berangkat dari sanalah, mulai terlihatlah “kemesraan” antara sosialisme ala Barat ini dengan hal-hal materialistis, bahkan mencapai derajat materialisme, yang mana ini pada akhirnya mempengaruhi tidak hanya cara bersikap dalam kehidupan sosial, akan tetapi sampai-sampai menjangkau tataran cara pandang beragama dan berkeyakinan. Namun masalah itu baiknya lebih tepat bila penulis perpanjang dalam pembahasan sejarah munculnya paham sosialisme ketimbang dalam bahasan pengertian ini.
Maka dari itu, agar pembahasan dalam makalah ini tidak melebar, penulis memberikan batasan yang insya Allah memberikan patokan yang jelas, dengan mengidentikan kata sosialisme dalam makalah ini akan berarti pada sosialisme ilmiah[6], atau wetenschappelijke sosialisme (Social-democratie; sosialisme yang berdasarkan pengetahuan), atau lebih terangnya, paham ini menghendaki suatu masyarakat itu dipimpin oleh satu pemerintahan yang dipilih oleh masyarakat dengan cara demokratis, dan yang saat ini dikenal dengan nama marxisme. Dan cara ini bukanlah termasuk sebuah politik demokrasi, akan tetapi sosial demokrasi, setidaknya begitulah menurut Marx.[7]
Namun sedikit saja tambahan, sebelum penulis mengakhiri bahasan tentang pengertian sosialisme. Penulis akan memberikan sedikit paparan mengenai hubungan antara kata sosialisme dengan kata komunisme. Ada hubungan yang cukup dekat sebenarnya antara kedua istilah ini, apabila kata komunisme berbicara tentang segala peraturan yang menyerang kepada yang sifatnya kepunyaan seseorang dan mengalih-namakannya dengan semacam aturan commuo boniorum, yaitu menjadikannya milik bersama. Ungkapan communia boniorum senantiasa bergandengan dengan kata komunisme, sedangkan kata communio (memiliki, mempunyai bersama) itu menjadi standard bagi tercapainya kebahagiaan dalam paham komunisme. Nah, adapun sosialisme itu lebih khusus berbicara tentang satu bagian yang terpenting dari komunisme. Jadi, sosialisme hanyalah berupa anasir dari keberadaan komunisme.[8]
Ada beberapa poin lagi nampaknya, menurut Tjokroaminoto, yang mesti disampaikan berkaitan dengan beberapa pengertian yang telah diungkapkan di atas mengenai sosialisme. Namun untuk memberikan pemahaman yang sederhana dan ringkas –bukan dalam maksud menghilangkan bahasan, ataupun menganggap tidak penting- di sini penulis hanya akan masukan bahasan yang benar-benar tepat dengan apa yang penulis maksudkan dan kehendaki dalam makalah ini. Yaitu apabila seseorang mengatakan sosialisme, maka sebenarnya orang tersebut bukan hanya akan membicarakan tentang urusan harta benda atau ekonomi, tetapi juga ia akan melingkupi pembicaraan tentang ajaran-ajaran agama serta falsafah, atau bahkan juga berbicara tentang pandangan hidup terhadap dunia (worldview atau kosmologi).[9]
Sejarah Munculnya Sosialisme
Berbicara tentang sosialisme, berarti juga berbicara tentang seorang tokoh kontroversial yang sangat luas pengaruhnya (setidaknya bermula pada kurun satu abad setelah kewafatannya), seorang pencetus paham sosialisme-komunis, yang kini lebih dikenal dengan paham marxisme, Karl Marx (1818-1883).
Seperti yang telah penulis ungkap dalam pembahasan sebelumnya, bahwa memang pada mulanya paham ini muncul dari kondisi masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti misalnya yang dialami oleh Marx, sang pencetus paham Social-democratie ini.
Hidup dalam masa sulit penindasan Napoleon Bonaparte, dan juga peralihan kekuasaan pasca-Napoleon kembali menuju pangkuan para raja dan pangeran yang feodal. Sehingga Jerman saat itu bukanlah tempat yang nyaman bagi para pemikir –untuk tidak dikatakan berbahaya untuk orang yang berpikir. Sampai-sampai ada ungkapan,

“Mereka (orang-orang Jerman) tidak akan pernah bangkit. Mereka akan lebih suka mati ketimbang berontak...mungkin seorang Jerman sekalipun, ketika sudah begitu kecewa, akan berhenti berdeabat, tetapi dia membutuhkan sejumlah amat sangat besar penindasan, penghinaan, ketidakadilan dan penderitaan yang tak terkatakan untuk mengubahnya menjadi begitu”, Michael Bakun.[10]
Bahkan Marx sendiri pernah berkata,
“Pada masa feodalisme, jangalah engkau menggerakkan tangan dan kaki secara sia-sia, lakukanlah suatu kegiatan agar feodalisme dapat melewati masanya, dan masuk pada masa borjuisme. Apabila masyarakat telah memasuki masa kapitalisme, lakukanlah suatu upaya agar terjadi pertentangan yang cukup keras, sehingga terciptalah revolusi.”[11]

“Aqidah” inti dari ajaran sosialisme ini meliputi pemahaman (a) materialisme, baik itu materialisme sejarah maupun materialisme dialektis, kemudian (b) bahwa kebenaran itu dikembalikan kepada kondisi riil masyarakat (realisme) dan yang dianggap benar adalah semua yang dilakukan dan disetujui oleh kebanyakan masyarakat, dan last but not least (c) atheisme.

Ini menunjukan betapa kuat kondisi itu membentuk watak dan pemikiran Marx muda. Ada pula hubungan yang tidak baik yang terjadi antara Karl Marx dengan agama yang di masa mendatang membuat ia menjadi seorang materialis-atheis.[12] Ketika undang-undang anti-Yahudi diberlakukan oleh pemerintahan Jerman pada tahun 1816. Karena ia “kebetulan” terlahir sebagai seorang Yahudi, ia benar-benar mengalami pengalaman “keimanan” yang sangat tidak menyenangkan, keimanan yang kabur dan tidak jelas, antara Yahudi sebagai “agama ibunya”, kristen sebagai “agama resmi negara”, bahkan lutherianisme. Yang menjadikannya seperti orang yang kehilangan kepercayaan bahkan membuatnya benci terhadap semua yang berkaitan dengan “agama”![13]

Pandangan Islam terhadap Sosialisme

Kritik yang dilancarkan terhadap sosialisme ini bila dihimpun memang cukup banyak sekaligus pedas kiranya. Banyak yang mengatakan bahwa beberapa pemikiran Marx yang memang telah usang ditelan masa, yang mana pengaruhnya sudah tidak dapat terlihat lagi. Bahkan, hatta seorang Lenin saja telah banyak menyimpang dari apa yang ia “memproklamirkan” diri sebagai seorang marxis sejati.[14] Jon Elster (1940) bahkan mengatakan bahwa sosialisme ilmiah atau dikenal juga dengan Social-democratie itu sudah mati.[15]
Sebenarnya ada beberapa hal yang mesti menjadi sorotan utama dari pembahasan mengenai Islam dan Sosialisme. Sebenarnya dari sudut manakah sosialisme ini bertentangan dengan Islam? Apakah dari cita-citanya? Dari pandangannya tentang sistem ekonomi-kah? Ataukah dari sisi mana sosialisme ini bertentangan dengan Islam? Nah, itulah yang sebenarnya akan menjadi sentral bahasan dari makalah ini.
Sebagaimana telah penulis singgung dalam pembahasan tentang pengertian sosialisme, bahwa ketika berbicara tentang sosialisme berarti bukan hanya berbicara tentang pandangan ekonominya saja, tetapi sekaligus pandangan terhadap agama, dan bahkan worldview secara keseluruhan. Telah penulis singgung pula, bahwa paham sosialisme-marxisme ini ber-epistem dari paham materialisme, bahwa apapun yang tidak berwujud sebagai benda, maka dia itu tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ada. Karena, segala sesuatu itu berasal dari benda, oleh benda dan kembali kepada benda (uif de stof, door de stof, tot de stof ziin alle dingen).[16]
Nah, justru dalam tataran inilah sosialisme ini menabrak prinsip-prinsip dasar dari Islam sebagai dinullah yang sempurna. Seperti yang diungkapkan oleh Tjokro, dari sinilah seseorang yang mengaku beragama Islam tidak boleh menerima paham wefonschappelik socialisme. Salah satu paham yang berangkat dari asasnya yaitu, historisch materialisme sebagai cabang falsafahnya.[17] Yang benar-benar “diilhami” oleh pemahaman Ludwig Feurbach dengan wrisgeerig materialisme-nya. Serta pemahaman Feurbach tadi juga sebenarnya sangat dipengaruhi oleh dialectiek-nya Hegel. Dan selanjutnya disempurnakan oleh Marx dan Friedrich Engels menjadi paham riwayat yang berdasar perikebendaan atau materialistische gewhiedenisopvatting. Bahkan mereka (Marx dan Engels) dikarenakan pengkultusannya terhadap paham Hegel tadi (sampai melebihi teori mereka sendiri), sampai-sampai mengatakan, “Segala sesuatu yang ada adalah benda belaka, dan wet (kekuasaan) yang terbesar di atas benda adalah pergerakan atau kemajuan”.[18]
Menurut paham mereka juga, bahwa kehidupan adalah perulangan sejarah, dan sejarah manusia itu selalu identik dengan kegelapan. Dan sisi terang dalam sejarah hanyalah ada pada kepemilikan pertama dan kepemilikan kedua, dan selainnya hanyalah keburukan (kepemilikan pribadi). Mereka bahkan mengatakan, “Semua peristiwa itu adalah kelicikan belaka, kegelapan di atas kegelapan, bahkan agama dan para nabi tidak memiliki peran sama sekali, mereka tidak mengenal manusia, manusialah yang menciptakan semua (agama-agama) itu, lalu mereka jadikan sebagai alat untuk berbuat kezaliman, pembodohan, dan menciptakan candu. Jika ada seseorang yang menyerukan hak dan keadilan, maka mereka pasti memiliki kepentingan tertentu. Mungkinkah pada masa ‘kepemilikan pribadi’ terdapat orang yang benar-benar mendukung hak, hakikat, dan keadilan?”[19]
Sosialisme juga identik dengan Darwinisme, bahkan dalam bukunya Darwin-Marx dia benar-benar “memuja” teori evolusinya. Oleh karena itu maka tiap-tiap murid Marx, tidak boleh tidak adalah seorang darwinis, sebab sesungguhnya teorinya Marx ini hanyalah lanjutan pelajaran Darwin dalam perikehidupan manusia bersama.[20]
Maka dalam segi-segi inilah pemahaman sosialisme ini memperlihatkan sikap “permusuhannya” terhadap agama, terutama Islam. Dari aspek materialismenya secara umum, telah benar-benar bertabrakan dengan konsep epistemologi Islam yang berangkat dari pemahamannya terhadap wahyu.[21] Pemahaman ini juga kemudian menjadi dasar bagi terciptanya paham bahwa tuhan itu adalah hasil ciptaan manusia.[22] Bahkan dengan paham ini, tidaklah berlebihan bila dikatakan, bahwa paham ini telah menukarkan “posisi” Allah sebagai Tuhan digantikan oleh “ketuhanan benda”.[23]
Dengan ini semua, bukan berarti penulis menafikan jasa Marx dan Engels tentang perbaikan nasib kaum miskin di negeri-negeri Barat.[24] Karena diakui ataupun tidak, paham ini telah benar-benar menjadi lawan tangguh bagi paham kapitalisme.[25] Dengan memposisikannya seperti ini sebenarnya hal ini tengah mendudukan sosialisme dalam posisi yang adil, namun juga bukan berarti berhenti dan diam dari segala penyimpangan yang dilakukannya tentu. Memahami hal ini, Sir Muhammad Iqbal mengatakan, bahwa seorang Marx ini boleh jadi “hatinya beriman tapi otaknya kafir”.[26]

Selain itu, paham sosialisme ini juga banyak menuai kritik dari sisi lainnya, seperti Michael H. Hart mengatakan, bahwa paham sosialisme-marxisme ini merupakan bencana bagi umat manusia, baik dari segi ekonomi maupun politiknya.[27] Chris Baker juga mengatakan, bahwa pahamnya ini (historis materialisme) telah merendahkan harkat dan derajat manusia, dengan memposisikannya hanya sebagai agensi saja[28], dan ini juga seirama dengan apa yang dikritisi oleh Murtadha Muthahhari.[29] Wallahu a’lam.

Adakah Sosialisme ala Islam?

"Ketika sosialisme sedang berbicara tentang masalah ekonomi, maka dia adalah komunisme, yang mana itu adalah tujuan tertingginya.
Ketika dia berbicara tentang politik, maka dia adalah demokrasi.
Dan ketika ia berbicara tentang falsafah hidup, maka dia adalah materialisme"

Pertanyaan inilah yang selanjutnya menjadi sesuatu yang menarik, adakah sosialisme ala Islam? Atau bahkan, perlukah Islam terhadap paham sosialisme? Mengapa pertanyaan ini menjadi menarik? Karena bagi Tjokroaminoto, tidak ada sosialisme ataupun isme-isme lainnya yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain dari sosialisme yang berdasar Islam.[30]
Namun mesti diingat, bahwa Islam telah sempurna dari saat terhentinya tanzil, ketika dalam haji wada Allah Swt. menurunkan ayat QS. Al-Maidah: 3, dengan kata-kata al-yauma akmaltu lakum diinakum dan seterusnya merupakan sebuah “pernyataan sikap” langsung dari Allah Swt. tentang sudah tidak perlunya Islam itu dibubuhi dengan berbagai isme cadangan, karena Islam telah berdiri dengan ke-syumul-annya sendiri, dengan seluruh kesempurnaan ajaran dan petunjuknya.[31] Sebuah prinsip dasar tentunya bagi semua kaum muslimin bahwa Islam memang benar-benar telah menjadi diinullah yang final, memiliki batasan-batasan dan juga konsep yang sempurna dan tidak perlu tambahan, terlebih lagi mengenai konsep bermasyarakat dan cara pandang hidup atau disebut juga worldview.
Adapun gaya yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam berkilah mengenai sosialisme ala Islam ini terlalu dipaksakan, karena sebenarnya semua dalih yang disampaikan beliau dalam bukunya itu hanyalah menarik beberapa contoh ajaran Islam ke dalam kesimpulannya sendiri, yaitu tentang sosialisme ala Islam tadi. Dan ini kiranya kurang tepat menurut penulis, dan biarkanlah Islam tetap berjalan dengan jalan yang telah digariskannya sendiri, sebuah konsep yang sempurna yang telah dirumuskan oleh Sang Pencipta yang Mahasempurna, Allah Swt. serta kemudian direalisasikan dalam bentuk yang lebih aplikatif oleh sang insan kamil, seorang Rasulullah yang mulia dan teragung, Muhammad Saw. Yang terjadi pada nasib agama lain tidaklah terjadi pada Islam, konsep sosialisme itu sendiri berangkat dari suatu kekecewaan seorang Yahudi terhadap agama para Rahib yang semena-mena di Gereja-gereja mereka. Ketika Islam berhadapan dengan peradaban dunia saat itu, konsep Tuhan dan teks Al-Quran tidak bermasalah. Islam tidak perlu mencari ajaran tambahan, bila sosialisme hanya dikatakan sebagai aturan hidup, atau sikap bermasyarakat, mengapa tidak kita katakan saja ini adalah sikap bermasyarakat dan aturan hidup menurut ajaran Islam, tidak perlu dikatakan “Ini adalah sosialisme ala Islam”. Islam telah membentuk sebuah peradaban yang luar biasa, Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang telah dibangunnya sendiri. Roger Garaudy saja yang seorang bule paham benar, bahwa Islam itu adalah pandangan terhadap Tuhan, alam dan juga manusia yang membentuk sains, seni, individu dan masyarakat. Islam membangun dunia yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan secara sekaligus. Jika peradaban Islam dibangun dengan gaya-gaya Barat, itu berarti mencampurkan yang al-haq dan yang al-bathil alias sunt bona mixtra malis, kata Pak Hamid.[32] Wallahu a’lam.
***
Penutup
Sebagai penutup, penulis banyak-banyak meminta maaf atas semua kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, semua yang baiknya dari Allah semata, dan apa yang jelek dan kurangnya hadir dari kealfaan penulis sendiri. Namun mesti diingat dari semua pemaparan di atas, Islam telah sempurna dengan konsepnya sendiri. Islam punya aturan tentang bagaimana harus mengelola perekonomian, Islam juga memiliki asas-asas dasar dalam mengelola perpolitikan, terlebih lagi dalam memberikan petunjuk yang sempurna mengenai worldview.
Al-Haq min Rabbika, wallahu al-Muwaafiq, wallahu a’lam bi shawwab.

Daftar Pustaka

Anshari, Endang Saifuddin. 2004. Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Baggini, Julian. 2004. Lima Tema Utama Filsafat. Terj. Nur Zain Hae. Bandung: Teraju.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies; Teori & Praktik. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Berlin, Isaiah. 2000. Biografi Karl Marx. Terj. Eri Setiyawati dan Sivester. Surabaya: Promethea.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2004. Dalam Terang; Sebuah Puisi Mentafsirkan Tuntutan Amanah yang Diterima Insan serta Peranan Ilmu dan Akhlak dalam Masyarakat. Petaling Jaya: Tradisi Ilmu Sdn Bhd.
Elster, Jon. 2000. Karl Marx; Marxisme-Analisis Kritis. Terj. Sudarmaji. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Hart, Michael H. 2009. 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah. Terj. Ken Ndaru dan M. Nurul Islam. Bandung: Mizan.
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Halim al-Harrani. 2005. Al-Radd ‘ala Mantiqiyyin. Beirut: Muassasah al-Riyyan.
____________. t.t. Majmu’atul Fatawa. T.Tmp.
Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Muthahhari, Murtadha. 2001. Neraca Kebenaran & Kebatilan; Menjalajah Alam Pikiran Islam. Terj. Najib Husain Alaydrus. Bogor: Penerbit Cahaya.
Peurseun, Van. 1980. Orientasi di Alam Filsafat. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Suseno, Franz Magnis. 2003. Dalam Bayangan Lenin; Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia.
Tjokroaminoto, Oemar Sa’id. 2010. Islam dan Sosialisme. Bandung: Sega Arsy.
Yamani. 2003. Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2012. Misykat; Refleksi tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi. Jakarta: INSISTS.




[1] Kata “moderat” ini memang sering diperebutkan sekurang-kurangnya oleh tiga kelompok, (a) anti-Islam, mereka mengatakan bahwa yang moderat itu yang menghujat Tuhannya, menggugat syari'at, dan sebagainya yang senada dengan itu. (b) pro-Barat, mereka mengatakan bahwa yang moderat itu yang ngikut terhadap semua kemajuan di Barat, termasuk kemajuan menerapkan pluralisme, liberalisme, sekularisme, hermeneutika, yang akhirnya akan juga menjatuhkan posisi Islam dengan cara yang sangat munafik. (c) Islam, nah inilah arti sebenarnya dari kata moderat, jadi moderat itu adalah berpikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bertoleransi bukan ber-pluralisme, bermoral, melakukan amr ma'ruf nahyi munkar, menjalankan syari'at dengan baik, dan tidak melakukan kekerasan dalam menghadapi masalah, melainkan dengan cara yang hikmah dan mau'idzah hasanah. Lihat, Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya Misykat; Refleksi tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi. (Jakarta: INSISTS, 2012) hlm. 159-162. (Selanjutnya disebut Misykat)
[2] HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. (Bandung: Sega Arsy, 2010) hlm. 15.
[3] Ibid.
[4] Ibid. Hlm. 16.
[5] Ibid. Hlm. 19-20.
[6] Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah. Terj. Ken Ndaru dan M. Nurul Islam. (Bandung: Mizan, 2009) hlm. 142. (Selanjutnya disebut 100 Orang Paling Berpengaruh)
[7] HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 19-20.
Perbincangan tentang masalah demokrasi ini banyak dikupas pula oleh Yamani dalam bukunya Filsafat Politik Islam. (Bandung: Mizan, 2003).
[8] HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 18.
[9] Ibid. Hlm. 19.
[10] Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx. Terj. Eri Setiyawati dan Sivester. (Surabaya: Promethea, 2000) hlm. 94.
[11] Diambil dari kutipan Murtadha Muthahhari dalam buku, Neraca Kebenaran & Kebatilan; Menjalajah Alam Pikiran Islam. Terj. Najib Husain Alaydrus. (Bogor: Penerbit Cahaya, 2001) hlm. 25.
[12] HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 35.
[13] Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx. Hlm. 41-45.
[14] Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh. Hlm. 145. Simak juga, Franz Magnis-Suseno dalam buku, Dalam Bayangan Lenin; Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. (Jakarta: Gramedia, 2003) hlm. 1-52. Lihat juga fakta yang menunjukan penyimpangan yang dilakukan oleh para marxian sendiri, bahkan oleh dirinya sendiri, yang direkam oleh Murtadha Muthahhari dalam buku, Neraca Kebenaran & Kebatilan. Hlm. 27.
[15] Jon Elster, Karl Marx; Marxisme-Analisis Kritis. Terj. Sudarmaji. (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000) hlm. 260.
[16] HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 35.
[17] Ibid. Hlm. 31-32.
[18] Ibid. Hlm. 33-34.
[19] Dikutip dari Murtadha Muthahhari, Neraca Kebenaran & Kebatilan. Hlm. 29-30.
[20] HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 35.
[21] Ungkapan ini mulai dikenal berawal dari kitab karya Imam Ibnu Taimiyah, Al-Radd ‘ala Mantiqiyyin. (Beirut: Muassasah al-Riyyan, 2005) hlm. 52. Bisa dilihat juga dalam kitab Majmu’atul Fatawa-nya, kitab al-Mantiq. (t.tmp: t.t.) jld. 9. Hlm. 16. Lihat juga, Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 2004) hlm. 164.
[22] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. (Bandung: Mizan, 2005) hlm. 154.
[23] Seperti apa yang diungkapkan oleh Tjokroaminoto dalam Islam dan Sosialisme. Hlm. 36.
[24] Ibid.
[25] Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat. Terj. Nur Zain Hae. (Bandung: Teraju, 2004) hlm. 188.
[26] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat. Hlm. 35.
[27] Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh. Hlm. 143.
[28] Van Peurseun dalam bukunya mengungkapkan kebenaran dari ungkapan tadi dengan mengungkapkan bahwa materialisme dialektis atau sosialisme ala Marx dan Engels ini adalah suatu paham filsafat yang mempercayai bahwa jalan untuk memahami alam kebendaan ini kini lewat manusia, yaitu manusia dalam dimensi sosialnya, manusia yang hidup dalam suatu masyarakat yang berproduksi. Bukan seperti dalam materialisme kuno, yang justru memposisikan manusia sebagai subjek, melalui pandangannya terhadap ilmu alam untuk mencapai kebenaran seluruhnya. Selengkapnya lihat, Van Peurseun, Orientasi di Alam Filsafat. Terj. Dick Hartoko. (Jakarta: Gramedia, 1980) hlm. 160.
[29] Chris Barker, Cultural Studies; Teori & Praktik. Terj. Nurhadi. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004) hlm. 15. Perhatikan juga, Murtadha Muthahhari, Neraca Kebenaran & Kebatilan. Hlm. 21-37.
[30] HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Hlm. 36.
[31] Dalam puisinya, Prof. Wan memberikan suatu penguatan sekaligus bantahan terhadap isme-isme ala Barat yang sudah membuat manusia gagal melihat Tuhan. Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Dalam Terang; Sebuah Puisi Mentafsirkan Tuntutan Amanah yang Diterima Insan serta Peranan Ilmu dan Akhlak dalam Masyarakat. (Petaling Jaya: Tradisi Ilmu Sdn Bhd, 2004) hlm. 1-4.
[32] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat. Hlm. 44-45.

Tidak ada komentar: