Rabu, 27 Mei 2015

Kritik Kuntowijoyo atas "Islamisasi Sains Al Attas"

Oleh :
Hendiana Mustofa
Ketua Pimpinan Komisariat STAIPI Garut

Tidak diragukan lagi bahwa Dunia Islam berada di anak tangga paling bawah di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru yang Protestan; oleh Eropa Selatan, dan Amerika Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israel yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura yang Budhist-Konfusianis; oleh Jepang yang Budhist-Taois, dan oleh Thailand yang Budhis. Praktis, tidak ada satu pun agama besar di bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya daripada umat Islam.[1] Dalam kondisi seperti ini masyarakat Muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum Muslim tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan Westernisasi.
            Postur umat Islam yang demikian mengganggu para cendekiawan Muslim untuk mencari jalan keluar dari agitasi intelektual Barat yang ditengarai telah mencabut akar identitas keislaman dan pada sisi yang memekarkan dualisme, bahkan monolisme logosentris Barat; pembebek terbaik tanpa melakukan pengisolasian atas pelbagai tawaran konseptual Barat. Inferioritas diri ini semakin mengukuhkan miniatur the lack of vision kaum Muslim. Untuk menjawab dilema yang demikian Syed Muhammad Naquib al-Attas,[2] Ismail R. al-Faruqi, menawarkan proyek islamisasi sebagai saluran epistemologis untuk membaca Westernisasi secara cerdas sembari merelokasinya dengan semangat disengagement (tepatnya, kritis dan selektif) asupan dari Barat. Tapi gagasan ini bagi Kuntowijoyo, yang semula pendukung gagasan Islamisasi Ilmu justru memompa semangat ekslusivisme dengan pemiskinan hanya sebagai rahmat bagi umat Islam an sich. Ini, bagi Kuntowijoyo, menciderai semangat substantif Islam sebagai rahmat bagi apapun dan siapapun tanpa terjebak pada anatomi identitas Muslim atau nonmuslim. Untuk itu dia mengajak untuk meninggalkan Islamisasi Ilmu sembari menuntun kita menuju kapal selam yang bernama Pengilmuan Islam demi universalisme Islam sebagai rumah bersama umat manusia.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan (via Al Attas)
Sebagai sebuah gerakan intelektual, gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dimunculkan oleh Isma’il Raji al-Faruqi dari Lembaga Pemikiran Islam Internasional (International Institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an. Gagasan kearah Islamisasi ilmu pengetahuan sebelumnya sudah dicetuskan oleh Naquib al-Attas dari Malaysia.[3] Terkait dengan gagasan kearah Islamisasi ilmu pengetahuan, ada 3 hal temuan ilmiah terpenting dalam dunia Islam yang ditemukan oleh Naquib al-Attas, penemuan tersebut adalah; (1) problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan; (2) ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia barat.[4] umat Islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran.
Islamisasi Pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari Tauhid, akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri, maka umat Islam akan selalu dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan artinya, bahwa pengetahuan harus menuju kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia. Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid, atau konteks kepada teks, atau konteks-teks. Maksudnya, supaya ada koherensi (bahasa Latin cohaere berarti “lekat bersama”), pengetahuan tidak terlepas dari iman.[5]
Kehidupan Barat yang bercirikan sekuler telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya pengetahuan yang bersifat otentik yang hanya dikaitkan dengan fenomena semata.Kriteria untuk mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan pada rasio.
Pandangan seperti itu muncul karena sains Barat tidak dibangun di atas wahyu.Ia dibangun di atas budaya yang diperkuat oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan, nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Inilah yang dikritisi oleh Al-Attas. Pandangan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan epistimologi Islam.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan  (confusion) dan skeptisisme (skepticism).Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi.Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran.Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[6]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[7]
Sebagaimana telah diulas diatas, adanya islamisasi ilmu pengetahuan kontenporer sangat erat berkaitan dengan ketidak netralan ilmu. Karena titik awal pemberangkatan perlunya islamisasi ilmu pengetahuan kontenporer beranjak dari pemikiran bahwa ilmu bukan bebas nilai (value-free), melainkan sarat nilai (value laden).
Menurut Mulyadi Kartanegara, seorang Doktor filsafat dari Chicago University, tentang ketidaknetralan ilmu. Menurutnya, salah jika ada orang yang berasumsi bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu di setiap peradaban selalu mengalami naturalisasi. Seperti yang terjadi pada masa kejayaan Yunani, dimana ilmu dan filsafat mengalami helenisasi (peng-Yunani-an), lalu Kristen pada masa Romawi, islamisasi pada masa-masa kejayaan Islam, dan kemudian westernisasi setelah masa Renaisans.[8]
Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang dipandang relevan dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis, di mana dilakukan “dekonstruksi” terhadap epistemologi Barat yang berkembang sekarang dan kemudian “merekontruksi” epistemologi alternatif dengan meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada “tradisi intelektual Muslim” yang telah dibina selama lebih dari satu millennium oleh para filosof dan ilmuan klasik. Menurut Mulyadhi, konstruksi ulang epistemologi ini akan meliputi pembahasan status ontologis obyek ilmu, klasifikasi dan metodologi ilmu. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak. Sebabnya, terdapat sejumlah persamaan antara Islam dan filsafat dan sains Barat. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, ia perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.[9]
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan-hidup Islam, maka sebuah fakta menjadi tidak benar.[10] Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol,  dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant.[11]
Munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransformasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam.[12]

Paradigma Islam: Pengilmuan Islam “Islam sebagai Ilmu” (versi Kuntowijoyo)
Sebagai akademis bidang sejarah, Kuntowijoyo sudah menghasilkan banyak tulisan dan buku, baik berupa gagasan maupun penelitian. Selain perspektif kesejarahan, kuntowijoyo pula menggarap berbagai masalah manusia dan masyarakat (realitas) dari sudut pandang pemikiran Islam. Inilah yang kemudian melahirkan konsep sastra profetik dan ilmu sosial profetik. gagasan pokok kuntowijoyo ketika menempatkan Islam sebagai sudut pandang dalam berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan adalah “paradigma Islam”. Ia menawarkan pada dunia akademis dan intelektual untuk melakukan pengilmuan Islam atau menjadikan Islam sebagai ilmu.[13]
Gagasannya ini muncul dari keprihatinnya atas gagasan “islamisasi ilmu pengetahuan” yang menurutnya cenderung bersifat reaktif. Menurut Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan orang Islam atau ditangan orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih mana yang perlu diislamisasi, mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu dimana-mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa risiko akan bertentangan dengan iman. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar obyektif dan sejati. Jadi, bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan memang perlu, dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak berguna.[14]
Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka dalam hal ini. Gerakan ini dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular, yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu kontemporer, namun mereka tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekular.[15]
Berangkat dari keyakinan akan misi profetik agama (transendensi, emansipasi dan humanisasi), yang diinginkannya adalah memastikan bahwa agama dapat memainkan peran yang cukup besar dalam memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan umat manusia. Salah satu kritik gerakan ini terhadap ilmu-ilmu sekular adalah bahwa yang belakangan sedang terjangkiti krisis, dalam artian tak dapat memecahkan persoalan.[16] Di sinilah terletak perbedaan kedua dengan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja; salah satu tujuan utamanya adalah mengkontekskan tek-teks agama; dengan kata lain, menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah “membumikan Islam”. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara tentang ilmu sosial profetik, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial ini bersifat transformatif. Jadi, di satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekular, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak dinafikan, tapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi.[17]
Kuntowijoyo menjelaskan, bahwa dalam ilmu-ilmu yang terlahir dari akal budi manusia (ilmu sekuler) diawali dengan filsafat, antroposentrisme, diferensiasi, hingga menjadi ilmu sekular. Filsafat adalah awal berangkat ilmu-ilmu sekuler. Rasionalisme yang berkembang pada abad XV-XVI M menolak teosentrisme abad pertengahan; wahyu dibuang, sementara rasio diagungkan.
Antroposentrisme adalah konsekuensi logis dari penolakan atas wahyu di mana manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan sekaligus konsumen atas produksinya sendiri. Waktu manusia memandang dirinya sebagai pusat, maka terjadilah diferensiasi (pemisahan). Seluruh pengetahuan dipisahkan dari wahyu. Karena itu kegiatan ekonomi, politik, hukum, dan ilmu pengetahuan dipisahkan dari agama (sekular). Kebenaran ilmu terletak pada ilmu sendiri. Maka jadilah apa yang dinamakan dengan ilmu sekular, ilmu yang diklaim sebagai objektif, bebas nilai, dan bebas dari kepentingan. Namun ternyata, ilmu itu telah melampaui dirinya. Ilmu yang semula adalah ciptaan manusia berbalik menjadi penguasa atas manusia. Ilmu menggantikan wahyu sebagai pedoman kehidupan.[18]
Dalam upaya integralisasi, perlu adanya pembalikan. Sumber pertama pengetahuan dan kebenaran haruslah agama, kemudian bergerak menjadi teoantroposentrisme, dediferensiasi, dan ilmu integralistik. Penjelasannya adalah, pertama, sumber pengetahuan dan kebenaran adalah dari agama, dalam hal ini adalah wahyu Tuhan, yaitu al-Qur’an. Kemudian, di dalam teoantroposentrisme, kebenaran agama digabungkan dengan kebenaran yang bersumber dari akal budi manusia. Sehingga dalam praktiknya, terjadi dediferensiasi, yaitu menyatunya agama dalam setiap aktivitas kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, ataupun budaya. Selanjutnya dikenal apa yang dinamakan dengan ilmu integralistik, ilmu yang bukan sekedar menggabungkan, tetapi juga menyatukan antara wahyu dan hasil akal budi manusia.[19]
Kuntowijoyo meyakini bahwa wahyu al-Qur’an memiliki signifikansi dalam membangun keilmuan yang integralistik dan menghilangkan pandangan yang dikotomis tentang bidang-bidang ilmu. Paradigma ini dinilai memiliki prospek yang kuat dalam melahirkan konsep-konsep dan temuan-temuan keilmuan yang relevan dengan realitas dan kebutuhan umat, serta dalam memecahkan setiap persoalan kemanusiaan dan dalam upaya menjaga eksistensi alam dan seisinya. Prospek ini akan semakin optimal, apabila terus dibangun kolaborasi yang integral antara tiga macam ayat Tuhan (qawliyyah, kawniyyah, insaniyyah). Konsepsi paradigma keilmuan Islam yang integralistik, yang ditawarkan Kuntowijoyo ini, telah memperlebar peta pemikiran intelektual Muslim dalam upaya mengembangan ilmu di dunia Islam, sekaligus merupakan bantahan terhadap kritikan yang menolak penggunaan al-Qur’an di luar kajian ilmu-ilmu agama.
Paradigma Pengilmuan Islam diderivasi dari semangat al-Qur’an: “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘rūf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.[20]
Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri.
Yang diupayakan adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Yang pada akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya. Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia. Terakhir, Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.[21]
Sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa perbedaan pengilmuan Islam dengan islamisasi ilmu terletak dalam beberapa hal. Pertama , pengilmuan Islam lebih terbuka terhadap ilmu-ilmu sekular. Kedua , islamisasi ilmu lebih bersifat reaktif dan normatif (mengembalikan konteks ke teks) dan memberikan perhatian lebih rendah pada kondisi aktual empiris. Ketiga , pengilmuan Islam (dalam wujudnya sebagai ilmu sosial profetik) lebih menekankan pada berkeinginan untuk memberikan arah etis bagi transformasi kondisi empiris itu. 
Pengilmuan Islam dengan teori objektivikasi ilmu yang dituntut oleh Kuntowijoyo lewat pengilmuan Islamnya membuat baju dan atribut Islam yang melekat pada sistem, siyasiyah, dan objek lain harus dilepaskan. Nilai Islam menjadi baik bukan karena atribut Islamnya, akan tetapi karena kebaikan nilai itu sendiri. Ilmu pun dilepaskan dari label Islam, namun Islamlah yang ditarik dalam lingkaran keilmuan, sehingga kebaikan yang ditimbulkan oleh ilmu bukan karena label Islamnya, namun karena disesuaikannya Ilmu dengan nilai-nilai keIslaman. Ia adalah suatu tindakan yang didasarkan oleh nilai-nilai agama, disublimasikan dalam suatu tindakan objektif, sehingga diterima semua orang. Tujuannya adalah untuk semua orang, melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan lain-lain. Dengan demikian, Islam menjadi nilai dan etika, worldview tanpa harus tahu bahwa itu adalah Islam. Dengan demikian, Islam menjadi rumah bersama dan atau rahmat peradaban umat manusia.
Wawlaahu a’laam bi Shawaab






















[1] Nurcholish Madjid: Kaki Langit Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2001),hlm, 21
[2] Wan Mohd Wan Daud: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), hlm, 237.
[3] Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007),hlm, 7.
[4] Nashruddin syarief: Menangkal Virus Islam Liberal, (Bandung: Persis Pers, 2013) hlm, 273.
[5] Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu,hlm,7.
[6] Syed Muhammad Naquib al-Attas: Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), hlm,195-196.
[7] Ibid: 197-198.
[8] Nashruddin syarief: Menangkal Virus Islam Liberal, hlm, 85-86.
[9] Syed Muhammad Naquib al-Attas: Islam dan Sekularisme, hlm,21-22.
[10] Wan Mohd Wan Daud: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, 313.
[11] Ibid: hlm, 313.
[12] Ibid: hlm, 417.
[13] Wan Anwar: Kuntowijoyo, Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlmn, 162-163.
[14] Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu,hlm, 8-9.
[15] Ibid: hlm,49
[16] Ibid: hlm,
[17] Ibid: hlm,52-57.
[18] Ibid: hlm, 52.
[19] Ibid: hlm, 55.
[20] Q.S. Ali-Imran[3]:110.
[21] Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu,hlm,55.

Tidak ada komentar: