Oleh :
Hendiana Mustofa
Ketua Pimpinan Komisariat STAIPI Garut
Tidak diragukan lagi bahwa Dunia Islam berada di anak tangga paling
bawah di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal
oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru yang Protestan;
oleh Eropa Selatan, dan Amerika Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur
yang Katolik Ortodoks; oleh Israel yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh
Cina, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura yang Budhist-Konfusianis;
oleh Jepang yang Budhist-Taois, dan oleh Thailand yang Budhis. Praktis, tidak
ada satu pun agama besar di bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologinya daripada umat Islam.[1] Dalam kondisi seperti ini
masyarakat Muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal
ini menyebabkan sebagian kaum Muslim tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya
melakukan reformasi dengan jalan Westernisasi.
Postur
umat Islam yang demikian mengganggu para cendekiawan Muslim untuk mencari jalan
keluar dari agitasi intelektual Barat yang ditengarai telah mencabut akar
identitas keislaman dan pada sisi yang memekarkan dualisme, bahkan monolisme
logosentris Barat; pembebek terbaik tanpa melakukan pengisolasian atas pelbagai
tawaran konseptual Barat. Inferioritas diri ini semakin mengukuhkan miniatur the
lack of vision kaum Muslim. Untuk menjawab dilema yang demikian Syed
Muhammad Naquib al-Attas,[2] Ismail R. al-Faruqi,
menawarkan proyek islamisasi sebagai saluran epistemologis untuk membaca
Westernisasi secara cerdas sembari merelokasinya dengan semangat disengagement
(tepatnya, kritis dan selektif) asupan dari Barat. Tapi gagasan ini bagi
Kuntowijoyo, yang semula pendukung gagasan Islamisasi Ilmu justru memompa
semangat ekslusivisme dengan pemiskinan hanya sebagai rahmat bagi umat Islam an
sich. Ini, bagi Kuntowijoyo, menciderai semangat substantif Islam sebagai
rahmat bagi apapun dan siapapun tanpa terjebak pada anatomi identitas Muslim
atau nonmuslim. Untuk itu dia mengajak untuk meninggalkan Islamisasi Ilmu
sembari menuntun kita menuju kapal selam yang bernama Pengilmuan Islam demi
universalisme Islam sebagai rumah bersama umat manusia.
Islamisasi
Ilmu Pengetahuan (via Al Attas)
Sebagai sebuah gerakan intelektual,
gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dimunculkan oleh Isma’il Raji
al-Faruqi dari Lembaga Pemikiran Islam Internasional (International Institute
of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an. Gagasan kearah
Islamisasi ilmu pengetahuan sebelumnya sudah dicetuskan oleh Naquib al-Attas
dari Malaysia.[3] Terkait
dengan gagasan kearah Islamisasi ilmu pengetahuan, ada 3 hal temuan ilmiah
terpenting dalam dunia Islam yang ditemukan oleh Naquib al-Attas, penemuan
tersebut adalah; (1) problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini
adalah masalah ilmu pengetahuan; (2) ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai
(netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan
filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia barat.[4]
umat Islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini
dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran.
Islamisasi Pengetahuan berusaha supaya
umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan
mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari Tauhid, akan ada
tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan
kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri, maka
umat Islam akan selalu dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan artinya, bahwa
pengetahuan harus menuju kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti hapusnya
perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Kesatuan
sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia.
Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid, atau
konteks kepada teks, atau konteks-teks. Maksudnya, supaya
ada koherensi (bahasa Latin cohaere berarti “lekat
bersama”), pengetahuan tidak terlepas dari iman.[5]
Kehidupan Barat yang bercirikan sekuler
telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya pengetahuan yang
bersifat otentik yang hanya dikaitkan dengan fenomena semata.Kriteria untuk
mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan pada rasio.
Pandangan seperti itu muncul karena sains
Barat tidak dibangun di atas wahyu.Ia dibangun di atas budaya yang diperkuat
oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai
makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan, nilai-nilai etika dan moral,
yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Inilah yang dikritisi
oleh Al-Attas. Pandangan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan epistimologi
Islam.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah
membawa kebingungan (confusion)
dan skeptisisme (skepticism).Barat telah mengangkat sesuatu hal yang
masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal
metodologi.Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana
epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran.Tidak hanya
itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam
yaitu hewan, nabati dan mineral.[6]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi
kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan
dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber
asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun
berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik,
warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan,
pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia,
setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat
mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan
semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali
untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam
suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai
kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin
diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan,
filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[7]
Sebagaimana telah diulas diatas, adanya
islamisasi ilmu pengetahuan kontenporer sangat erat berkaitan dengan ketidak
netralan ilmu. Karena titik awal pemberangkatan perlunya islamisasi ilmu
pengetahuan kontenporer beranjak dari pemikiran bahwa ilmu bukan bebas nilai
(value-free), melainkan sarat nilai (value laden).
Menurut Mulyadi Kartanegara, seorang
Doktor filsafat dari Chicago University, tentang ketidaknetralan ilmu.
Menurutnya, salah jika ada orang yang berasumsi bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu di
setiap peradaban selalu mengalami naturalisasi. Seperti yang terjadi pada masa
kejayaan Yunani, dimana ilmu dan filsafat mengalami helenisasi
(peng-Yunani-an), lalu Kristen pada masa Romawi, islamisasi pada masa-masa
kejayaan Islam, dan kemudian westernisasi setelah masa Renaisans.[8]
Mengislamkan
ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi berupa
pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang dipandang relevan
dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis, di mana
dilakukan “dekonstruksi” terhadap epistemologi Barat yang berkembang sekarang
dan kemudian “merekontruksi” epistemologi alternatif dengan meramu secara
kritis bahan-bahan yang ada pada “tradisi intelektual Muslim” yang telah dibina
selama lebih dari satu millennium oleh para filosof dan ilmuan klasik. Menurut
Mulyadhi, konstruksi ulang epistemologi ini akan meliputi pembahasan status
ontologis obyek ilmu, klasifikasi dan metodologi ilmu. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak. Sebabnya,
terdapat sejumlah persamaan antara Islam dan filsafat dan sains Barat. Oleh
sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, ia perlu memenuhi pra-syarat,
yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic
worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.[9]
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan
pandangan-hidup Islam, maka sebuah fakta menjadi tidak benar.[10] Selain itu,
ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga,
simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan
yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut,
bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas
proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya,
batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan
sosial harus diperiksa dengan teliti. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta
konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevant.[11]
Munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan
pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi
bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransformasi
bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam.[12]
Paradigma Islam: Pengilmuan Islam “Islam sebagai Ilmu” (versi Kuntowijoyo)
Sebagai akademis bidang sejarah,
Kuntowijoyo sudah menghasilkan banyak tulisan dan buku, baik berupa gagasan
maupun penelitian. Selain perspektif kesejarahan, kuntowijoyo pula menggarap
berbagai masalah manusia dan masyarakat (realitas) dari sudut pandang pemikiran
Islam. Inilah yang kemudian melahirkan konsep sastra profetik dan ilmu sosial
profetik. gagasan pokok kuntowijoyo ketika menempatkan Islam sebagai sudut
pandang dalam berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan adalah “paradigma
Islam”. Ia menawarkan pada dunia akademis dan intelektual untuk melakukan
pengilmuan Islam atau menjadikan Islam sebagai ilmu.[13]
Gagasannya ini muncul dari keprihatinnya
atas gagasan “islamisasi ilmu pengetahuan” yang menurutnya cenderung bersifat
reaktif. Menurut
Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan,
karena Islam mengakui objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan
orang Islam atau ditangan orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih
mana yang perlu diislamisasi, mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu
dimana-mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat
dipakai dengan aman tanpa risiko akan bertentangan dengan iman. Tidak ada
kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar obyektif dan sejati. Jadi,
bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan memang perlu, dan sebagian adalah
pekerjaan yang tidak berguna.[14]
Pengilmuan
Islam memiliki sikap yang lebih terbuka dalam hal ini. Gerakan ini dengan
rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular, yang
terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin
memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu kontemporer, namun mereka
tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekular.[15]
Berangkat dari
keyakinan akan misi profetik agama (transendensi, emansipasi dan humanisasi),
yang diinginkannya adalah memastikan bahwa agama dapat memainkan peran yang
cukup besar dalam memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan umat manusia.
Salah satu kritik gerakan ini terhadap ilmu-ilmu sekular adalah bahwa yang
belakangan sedang terjangkiti krisis, dalam artian tak dapat memecahkan
persoalan.[16]
Di sinilah terletak perbedaan kedua dengan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam
sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja; salah satu tujuan utamanya
adalah mengkontekskan tek-teks agama; dengan kata lain, menghubungkan agama
dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah “membumikan
Islam”. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara
tentang ilmu sosial profetik, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial
ini bersifat transformatif. Jadi, di satu sisi, yang diinginkan adalah
justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekular, dan mencoba memperbaiki dari
dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak dinafikan, tapi diintegrasikan dalam
suatu kerangka teoretis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai
humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi.[17]
Kuntowijoyo menjelaskan, bahwa dalam ilmu-ilmu yang terlahir dari
akal budi manusia (ilmu sekuler) diawali dengan filsafat,
antroposentrisme, diferensiasi, hingga menjadi ilmu sekular. Filsafat adalah
awal berangkat ilmu-ilmu sekuler. Rasionalisme yang berkembang pada abad XV-XVI
M menolak teosentrisme abad pertengahan; wahyu dibuang, sementara rasio
diagungkan.
Antroposentrisme
adalah konsekuensi logis dari penolakan atas wahyu di mana manusia menjadi
pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah
pencipta, pelaksana, dan sekaligus konsumen atas produksinya sendiri. Waktu
manusia memandang dirinya sebagai pusat, maka terjadilah diferensiasi
(pemisahan). Seluruh pengetahuan dipisahkan dari wahyu. Karena itu kegiatan
ekonomi, politik, hukum, dan ilmu pengetahuan dipisahkan dari agama (sekular).
Kebenaran ilmu terletak pada ilmu sendiri. Maka jadilah apa yang dinamakan
dengan ilmu sekular, ilmu yang diklaim sebagai objektif, bebas nilai, dan bebas
dari kepentingan. Namun ternyata, ilmu itu telah melampaui dirinya. Ilmu yang
semula adalah ciptaan manusia berbalik menjadi penguasa atas manusia. Ilmu
menggantikan wahyu sebagai pedoman kehidupan.[18]
Dalam upaya
integralisasi, perlu adanya pembalikan. Sumber pertama pengetahuan dan
kebenaran haruslah agama, kemudian bergerak menjadi teoantroposentrisme,
dediferensiasi, dan ilmu integralistik. Penjelasannya adalah, pertama, sumber
pengetahuan dan kebenaran adalah dari agama, dalam hal ini adalah wahyu Tuhan,
yaitu al-Qur’an. Kemudian, di dalam teoantroposentrisme, kebenaran agama
digabungkan dengan kebenaran yang bersumber dari akal budi manusia. Sehingga
dalam praktiknya, terjadi dediferensiasi, yaitu menyatunya agama dalam setiap aktivitas
kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, ataupun budaya. Selanjutnya dikenal
apa yang dinamakan dengan ilmu integralistik, ilmu yang bukan sekedar
menggabungkan, tetapi juga menyatukan antara wahyu dan hasil akal budi manusia.[19]
Kuntowijoyo
meyakini bahwa wahyu al-Qur’an memiliki signifikansi dalam membangun keilmuan
yang integralistik dan menghilangkan pandangan yang dikotomis tentang
bidang-bidang ilmu. Paradigma ini dinilai memiliki prospek yang kuat dalam
melahirkan konsep-konsep dan temuan-temuan keilmuan yang relevan dengan
realitas dan kebutuhan umat, serta dalam memecahkan setiap persoalan
kemanusiaan dan dalam upaya menjaga eksistensi alam dan seisinya. Prospek ini
akan semakin optimal, apabila terus dibangun kolaborasi yang integral antara tiga
macam ayat Tuhan (qawliyyah, kawniyyah, insaniyyah). Konsepsi paradigma
keilmuan Islam yang integralistik, yang ditawarkan Kuntowijoyo ini, telah
memperlebar peta pemikiran intelektual Muslim dalam upaya mengembangan ilmu di
dunia Islam, sekaligus merupakan bantahan terhadap kritikan yang menolak
penggunaan al-Qur’an di luar kajian ilmu-ilmu agama.
Paradigma
Pengilmuan Islam diderivasi dari semangat al-Qur’an: “Kamu adalah umat
terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘rūf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.[20]
Kuntowijoyo melihat bahwa sementara
ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus
ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan
Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada
kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada
kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa
pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses
pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya sebagai
imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri.
Yang diupayakan adalah memasukkan
pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Yang pada akhirnya
ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat
untuk manusia seluruhnya. Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan
ataupun manusia. Terakhir, Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”,
Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau
trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang
dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini
dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik
yang bersumber dari agama.[21]
Sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa perbedaan pengilmuan Islam
dengan islamisasi ilmu terletak dalam beberapa hal. Pertama , pengilmuan Islam
lebih terbuka terhadap ilmu-ilmu sekular. Kedua , islamisasi ilmu lebih
bersifat reaktif dan normatif (mengembalikan konteks ke teks) dan memberikan
perhatian lebih rendah pada kondisi aktual empiris. Ketiga , pengilmuan Islam
(dalam wujudnya sebagai ilmu sosial profetik) lebih menekankan pada
berkeinginan untuk memberikan arah etis bagi transformasi kondisi empiris
itu.
Pengilmuan
Islam dengan teori objektivikasi ilmu yang dituntut oleh Kuntowijoyo lewat
pengilmuan Islamnya membuat baju dan atribut Islam yang melekat pada sistem,
siyasiyah, dan objek lain harus dilepaskan. Nilai Islam menjadi baik bukan
karena atribut Islamnya, akan tetapi karena kebaikan nilai itu sendiri. Ilmu
pun dilepaskan dari label Islam, namun Islamlah yang ditarik dalam lingkaran
keilmuan, sehingga kebaikan yang ditimbulkan oleh ilmu bukan karena label
Islamnya, namun karena disesuaikannya Ilmu dengan nilai-nilai keIslaman. Ia
adalah suatu tindakan yang didasarkan oleh nilai-nilai agama, disublimasikan
dalam suatu tindakan objektif, sehingga diterima semua orang. Tujuannya adalah
untuk semua orang, melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan lain-lain.
Dengan demikian, Islam menjadi nilai dan etika, worldview tanpa harus tahu
bahwa itu adalah Islam. Dengan demikian, Islam menjadi rumah bersama dan atau
rahmat peradaban umat manusia.
Wawlaahu a’laam bi Shawaab
[1]
Nurcholish Madjid: Kaki Langit
Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2001),hlm, 21
[2]
Wan Mohd Wan Daud: Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), hlm, 237.
[3]
Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007),hlm,
7.
[4]
Nashruddin syarief: Menangkal Virus Islam Liberal, (Bandung: Persis
Pers, 2013) hlm, 273.
[5]
Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu,hlm,7.
[6]
Syed Muhammad Naquib al-Attas: Islam
dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), hlm,195-196.
[7]
Ibid: 197-198.
[8]
Nashruddin syarief: Menangkal Virus Islam Liberal, hlm, 85-86.
[9]
Syed Muhammad Naquib al-Attas: Islam
dan Sekularisme, hlm,21-22.
[10]
Wan Mohd Wan Daud: Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, 313.
[11]
Ibid: hlm, 313.
[12]
Ibid: hlm, 417.
[13]
Wan Anwar: Kuntowijoyo, Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo,
2007), hlmn, 162-163.
[14]
Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu,hlm, 8-9.
[15]
Ibid: hlm,49
[16]
Ibid: hlm,
[17]
Ibid: hlm,52-57.
[18]
Ibid: hlm, 52.
[19]
Ibid: hlm, 55.
[20]
Q.S. Ali-Imran[3]:110.
[21]
Kuntowijoyo: Islam sebagai Ilmu,hlm,55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar