A. Pendahuluan
Ciri khusus kebangkitan Islam kontemporer adalah tidak sekedar bermodalkan semangat, ungkapan verbal, dan slogan, melainkan komitmen terhadap Islam[1] dan adab-adabnya, bahkan sunnah-sunnahnya. Seperti kita saksikan dikalangan kaum elite terpelajar mahasiswa contohnya menjamurnya majelis-majelis ilmu di pelataran masjid di perguruan tinggi (yang berkembang pesat di era 2000-an dengan istilah Halaqah) biasanya di prakarsai oleh DKM masjid contohnya :DKM masjid Salman ITB menjadi sebuah desain corak tersendiri munculnya halaqah-halaqah mahasiswa yang menjadi tonggak lahirnya tradisi Intelektual Islam di universitas-universitas, selain itu lewat halaqah ini bangkitlah semangat untuk mempelajari Islam dan konsumsi terhadap literatur keislamanpun semakin banyak membludak.
Namun dibalik hal itu semua ada catatan tersendiri yang diberikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi bersama tiga professor dan dua doktor dalam kitab kompilasi (kumpulan catatan), As-Shahwatul Islamiyyah Ru’yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili terbitan An-Naasyir, Mesir Cet.I, mengungkapkan beberapa kritikan terhadap aktivis gerakan kebangkitan Intelektualisme Islam (kritik yang membangun) meliputi faktor-faktornya diantaranya : Pertama, kedangkalan studi Islam dan syariat’nya kedua; tidak mengakui kebenaran pendapat orang lain, ketiga ;sibuk dengan masalah-masalah sampingan dan mengabaikan yang pokok, keempat; berdialog dengan cara yang kasar, kelima; cenderung mempersulit persoalan.
Sinyalemen kuat yang dinyalakan tentu menjadi bahan evaluasi terhadap pergerakan kita di HIMA Persis untuk kembali menata hati dan memperkuat pondasi kita dalam mengarahkan gerakan kebangkitan Intelektualisme ke arah yang maslahat dan mampu memberikan solusi bagi umat. Tantangan di masa depan, tentu akan lebih kejam karena pergerakan Intelektual Islam dewasa kini sudah semakin terjal, motivasi yang kuat yang muncul dari hati mungkin tak akan pernah muncul tanpa dibarengi stimulus yang kita lancarkan lewat tulisan, jurnal,paper, dan karangan ilmiah lain dll.
Upaya akan hal tersebut, akan senantiasa dibutuhkan untuk menumbuhkan kembali kesadaran akan pentingnya tradisi Intelektual Islam di setiap diri, jiwa kader HIMA Persis kini dan di masa depan nanti. Dalam makalah singkat ini saya akan memaparkan,”Apa itu Intelektual, kewajiban, peran dan tanggung jawab, sampai kepada peradaban Intelektual dan progress pergerakan Intelektual HIMA Persis menuju peradaban Ulul Albab di masa depan.” Untuk mengatasi dahaga akan hausnya keilmuan kita semua, akan saya paparkan lebih mendalam pada bab selanjutnya sedikit demi sedikit..
B. Intelektual secara bahasa dan Istilah
Sebelum mulai melebarkan sayap ke titik permasalahan, kita fahami bersama bahwa manusia diciptakan Allah SWT secara perfect (QS. At-Tiin : 4)[2], difasilitasi dengan segala kemampuan (potensi) sehingga manusia mampu menghasilkan karya (An-Nahl : 78)[3] ketiga potensi yang diberikan itu disebut prasarana. Inilah yang disediakan bagi manusia. Kualitasnya bergantung kepada pengembangan manusia sendiri ( Ar-Ra’du : 11)[4]. Intellegensi adalah kapasitas untuk menangkap secara peka dan tajam- dalam keadaan berkembang- dan untuk melakukan aktivitas mental lainnya. Bukan saja menangkap, melainkan juga mengolah dan memanfaatkannya dalam tindakan.
Istilah intelektual muncul di Barat, dicetuskan salah satunya oleh J.M. Burn[5], “Orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis; orang yang coba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitik dan normatifnya.” Dibeberapa literatur lain diterangkan, seperti analisis Quraish Syihab dalam “Membumikan Al Quran”menjelaskan bahwa kata intelektual berasal dari bahasa Inggris, “Intellectual”, yang menurut Idiomatic and Syntatic English Dictionary- berarti, “having or shoowing ghood mental powers and understanding” (memiliki atau menunjukkan kekuatan-kekuatan mental dan pemahaman baik). Sedangkan kata “intellect” diartikan sebagai “the power of the mind by which we know, reason and think,”(kekuatan pikiran yang dengannya kita mengetahui, menalar, dan berpikir), dalam perbendaharaan bahasa Indonesia secara umum diartikan sebagai “para pemikir yang mempunyai kemampuan analisis dalam masalah-masalah tertentu”.)[6]
Dalam bahasa Inggris intellectual memang tidak pernah khusus kaum terpelajar. Intellectual selalu berarti kaum terpelajar plus (+) plusnya itu dia terikat dengan nilai-nilai tertentu dan berusaha memperjuangkan nilai-nilai itu (ilmuwan yang terikat dengan nilai-nilai tertentu) Burns menyebutkan devoote of ideas,orang yang mengabdikan hidupnya untuk pengetahuan-pengetahuan tertentu.
Untuk memahami siapakah yang dimaksud intelektual muslim, kita tarik pemahaman kita pada QS. Ali Imran:190-195, secara umum pandangan tentang siapa mereka, di analisis pada beberapa karakter : Pertama, berzikir atau mengingat Tuhan dalam segala kondisi dan situasi, kedua ; memperhatikan fenomena alam raya, ketiga ; berusaha berkreasi dalam bentuk nyata. Kita semua dapat menarik kesimpulan,bahwa peran mereka tidak hanya terbatas pada perumusan dan pengarahan tujuan-tujuan, tetapi sekaligus aplikatif memberikan contoh pelaksanaan serta sosialisasinya di tengah masyarakat. Seseorang yang memperoleh kemampuan berpikir dengan hasil-hasil tersebut diatas dinamai oleh Al Qur’an sebagai ulama atau cendekiawan, apapun disiplin ilmu yang ditekuninya.[7]
Dr. Jalaluddin Rakhmat mengemukakan bahwa Intelektual Islam itu sebagai Hommes Enganges, yaitu manusia yang terikat pada satu keyakinan, manusia yang comitted. Dalam konteks Islami mungkin dikenal dengan istilah Dai’ seorang intelektual muslim pewaris nabi, dengan tuntutan untuk memiliki sifat-sifat seorang Nabi : shiddiq,amanah,tabligh,dan fathonah. Tingkatan paling tinggi adalah Nabi Saw, kemudian disusul Khulafaur Rasyidin, ulama mujtahidin, dan seterusnya sampai tingkatan lebih rendah.Akan tetapi secara umum, ditinjau secara tinjauan sosiologis, seorang intelektual muslim dituntut untuk memiliki sifat-sifat pribadi yang baik sesuai dengan nilai-nilai Islam, memiliki ilmu yang tinggi dan diakui oleh masyarakat. Pengakuan masyarakat disini lebih bersifat kredensial dan fungsional.
C. Kewajiban Intelektual
Kita semua sebagai individual muslim dibebankan kewajiban sebagai seorang intelektual’, ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Katakanlah inilah jalanku memanggil kepada Allah diatas keteranganku dan orang-orang yang mengikutiku, “ Ibnu Katsir menulis, Allah swt berfirman kepada Rasul Nya untuk menyampaikan kepada manusia inilah jalan hidupnya yakni, “Thariqatnya, perilakunya, dan sunnatnya, yaitu dakwah suatu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah berdasarkan keterangan, keyakinan, dan bukti aqli dan syar’i. Kalau kita tarik kesimpulannya bahwa dakwah bukanlah fardhu kifayah, tapi fardhu ain’ yang dibebankan kepada setiap pengikut Rasulullah Saw, kata Rasulullah saw, ‘anaa wa manittabaani’ (aku dan orang-orang yang mengikutiku, dengan kata lain yang tidak berdakwah itu tidak mengikuti Rasulullah Saw.)
Islam menganjurkan kepada kita sebagai orang-orang yang berilmu untuk menyampaikan kebenaran, melanjutkan khitthah para Rasul, dalam QS. At Taubah : 122,[8] dijelaskan bahwa harus ada stratafikasi dalam pembagian tugas dijalan Allah, bukan hanya berperang dengan pedang tapi berperang lewat pena,menuntut ilmu agar suatu saat kelak kembali mengajarkan masyarakat dan menumbuhkan tradisi ilmu yang kuat sehingga tercipta peradaban baru yang unggul dari Barat. Ilmuwan Muslim memperoleh ilmunya dengan mempergunakan sumber daya masyarakat muslim seperti contohnya mendapat beasiswa dari pemerintah, maka secara tidak langsung proses tersebut memberikan alur bahwa seorang Intelektual akan sangat diharapkan kembali terjun di masyarakat mengajarkan dan mengamalkan keilmuan yang didapat.
Tolak ukur sederhana mengenai kewajiban yang tidak mampu dijalankan seorang Intelektual, jika seseorang yang mereka hanya sibuk dengan tugas-tugas di kampus, sebagai pengajar, peneliti, mereka yang tidak terpanggil untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam, mereka memandang islam sebagai konvensi sosial bukan sebagai elan vital dalam perubahan sosial, tidaklah dapat disebut sebagai intelektual muslim.
Dalam buku Burns yang sebelumnya telah dikutip, disebutkan bahwa Intelektual itu sebagai Transforming leader[9], sebagai pemimpin yang mengubah, bukan sebagai transactional leader, pemimpin transaksional. Termasuk pemimpin transaksional menurut Burns adalah pemimpin-pemimpin politik atau disebut juga politisi. Mereka menjadi pemimpin setelah melakukan transaksi-tawar menawar. Intelektual bukan transaksional leader. Dia tidak melakukan transaksi, dia tidak bargaining, dia tidak menaruh kepentingan tertentu. Dia hadir utnuk merubah masyarakatnya, dia transforming leader. The Concept of Intellectual Leadership brings in whole concern purpose ground from value, dengan kata lain, intelektual adalah ilmuwan yang menjadi ideologi sekaligus.
D. Peran dan Tanggung Jawab Intelektual
Peran dan tanggung jawab Intelektual Islam ditafsirkan di dalam Al Qur’an sebagai peran dan tanggung jawab generasi Ulul Albab yang disebut enam belas kali didalam Al Qur’an, tafsirannya dapat kita diambil dalam QS.Ar Ra’du ayat 20-24. Mahmud Hizazi memberi judul dalam tafsiran ayat ini dengan tulisan man hum ulul-albab wa ma jaza’uhum. Disebutkan tanda-tanda Ulul Albab sebagai berikut :
الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ [الرعد/20]
Tanda-tanda seorang kader Ulul Albab yaitu konsepsinya, diantaranya sosok yang memenuhi janji Allah swt dan tidak memutuskan mitsaq, bila kita menilik tafsirannya Muhammad Hizazi menyebutkan bahwa yang disebut mitsaq ialah apa yang mengikat diri seseorang dalam hubungan mereka dengan Tuhan, antara mereka dengan diri mereka, dan antara mereka dengan diri mereka, dan antara mereka dengan manusia yang lain. Mitsaq juga dapat diterjemahkan pula sebagai commitment, keterikatan kepada nilai-nilai. Oleh karena itu tanggung jawab seorang intelektual muslim yang pertama dia harus memilih mengingatkan dirinya dengan nilai-nilai Islam, dia harus engages dia tidak bisa netral. Dia harus mitsaq yang berarti tetap setia kepada commitment yang telah dipilihnya.
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَل [الرعد/21]
Poin selanjutnya yaitu sosok yang mampu menyambungkan apa-apa yang Allah perintahkan menyambungkannya. Dalam tafsir The Holy Qur’an dari Yusuf Ali, menyambungkan itu Join faith with practice, Love of God with love of Man, menghubungkan kelompok-kelompok Islam yang bertentangan sehingga tumbuh ukhuwwah Islamiyyah, menghubungkan ummat dengan iman mereka, menghubungkan ulama diniyyah dengan ulama ukhrowiyyah, menghubungkan ilmu dengan agama, menghubungkan ibadah dengan mu’amalah. Disini intelektual Islam sebagai integrator, katalis, pemersatu muwahhid.
وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ [الرعد/21]
Ayat ini menyangkut akhlaq seorang Intelektual muslim, dalam memikul tanggung jawab diatas seorang intelektual Islam hanya takut kepada Allah saja. Dengan demikian tidak disebut intelektual Muslim kalau masih takut kepada atasannya, atau kepada siapa saja selain Allah. Dia hanya takut kepada Allah saja, dia bersedia menentang Zeit Geist yang dominan di zamannya, dia sanggup memikul resiko, dia hanya takut kepada saat harus mempertanggungjawabkan usahanya di akhirat nanti. Selain itu dia juga harus sabar, tekun, konsisten, teguh pendirian, dan ikhlas karena Allah swt.
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ [الرعد/22]
Selanjutnya, usaha untuk menjadi seorang Intelektual Islam hendaknya mampu bersikap sabar dan hanya berharap segala sesuatu karena Allah, tidak pernah lepas komunikasi dengan Allah swt dalam lima waktu yang konsisten (solat). Mendirikan sholat bukan saja dia hanya memelihara shalat, tapi memakmurkannya seperti menjadikan masjid pusat kegiatan, disanalah awal mula pergerakan intelektual islam dalam upaya Islamisasi.
وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَة [الرعد/22]
Metode selanjutnya, adalah metoda yang kedua yang dipergunakan intelektual islam, yaitu menggalakkan infaq. Al Qur’an menyebutkan infaq yang terang-terangan atau tersembunyi. Gerakan islam harus sanggup mandiri dengan dana yang diperoleh dari infaq anggota-anggota gerakan islam.
وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ [الرعد/22]
Yang terakhir menurut Mahmud Hizazi, yaitu melawan akhlaq yang tercela dengan akhlaq yang terpuji, menundukkan argumentasi kotor lawan dengan argumentasi yang lebih kuat dan shahih, menandingi promosi materialisme dan kapitalisme dengan kekuatan aqidah dan keteguhan moral. Jadi sebenarnya kaum intelektual tidak pernah ekstrem, dia selalu menolak yang jelek dengan cara-cara yang paling baik.
Apa yang diutarakan oleh Mahmud Hizazi soal peran dan tanggung jawab Intelektual Islam dalam tafsiran Ulul Albab ini setidaknya menjadi gambaran ringkas akan peran dan tanggung jawab kita sebagai kader Ulul Albab yang berintegritas dan punya loyalitas tinggi sebagai kader Intelektual Islam.[10]
E. Pelacuran Intelektual dan Pertandingan Wacana
Saya berani sematkan kata “pelacuran intelektual”, karena apa? di era globalisasi, modernisasi dewasa ini banyak (yang mengaku) para Intelektual Islam ”menyelingkuhi” begitu sakralnya wacana Ilmu syar’i dengan pola dekontruksi yang berbahaya seperti Sdr. Ulil Abshar Abdhalla, ada kutipan tentang beberapa tulisannya ;
“Agnostisisme” Intelektual
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
12/12/2005
“Saya kira tugas kesarjanaan memang bukanlah semata-mata 'merawat' tradisi yang sudah ada, atau menghafal apa-apa yang kita warisi dari para leluhur. Sebaliknya, membuka wilayah-wilayah baru dalam warisan yang sudah ada itu. Tanpa itu, dunia keilmuan tak akan berkembang. Tentu saja, usaha membuka hal-hal yang baru itu tidaklah mungkin jika semata-mata dilandasi oleh motif ideologis, yakni untuk membela posisi-posisi sosial-politik tertentu, atau bahkan agama tertentu.”
Kata “agnostik” di sini harap tidak dikaitkan dengan istilah ilhad dalam bahasa Arab. Menjadi agnostik dalam dunia akademik berarti bahwa anda siap mengosongkan diri dari pendapat dan predisposisi tertentu saat menghadapi objek yang sedang anda kaji. Anda terjun di sana bukan dengan “kesimpulan” yang sudah jadi, tetapi dengan pikiran kosong yang secara kritis mencoba membangun kesimpulan akhir berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Itulah agnostisisme intelektual, dan itulah prasyarat penting bagi seorang sarjana.
Di lingkungan kita, terutama di lingkungan akademik Islam, etos yang berkembang tampaknya lain sama sekali, yaitu etos yang, meminjam istilah Prof. Naguib Alatas dari Malaysia, disebut restatement atau taqrir. Yakni, etos mengulang sesuatu yang sudah ada dalam tradisi. Oleh karena itu, ukuran kesuksesan dalam tradisi akademik, terutama di lingkungan perguruan tinggi Islam, adalah kepersisan. Makin persis apa yang anda pikirkan dan tuliskan dengan apa yang ada dalam tradisi, makin suskes jalan anda sebagai seorang sarjana. Begitu anda membuka horison “lain” dan kemudian sampai kepada kesimpulan yang “berbeda” maka anda akan berhadapan dengan tembok tradisi.[]
Ulil Abshar-Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal, mahasiswa Boston University berani mendekontruksi bangunan mapan yang telah dibuat oleh para ulama masa lampau yang begitu jauh kapasitas keilmuan dan wara’ ataupun ketakwaan nya dengan dimiliki seorang Ulil. Wacana yang mereka pertandingkan mengenai pola sekulerisasi dan liberisasi di dunia Intelektualisme Islam sangat berbahaya jika kita tidak mempunyai filter dan anti virus yang mumpuni yang mampu menangkal virus yang mereka sebarkan.
Disinilah mungkin peran kader HIMA Persis dalam rangka menangkal wacana liberal yang mereka gulirkan dalam tataran Intelektual Islam dan memformat pertandingan wacana baru yang berbahaya dalam pemikiran Inteletual Islam.
F. Krisis Ilmu
Mungkin analisa, yang sama-sama kita rasakan betapa statis dan lemahnya ghirah jiwa intelektual dalam diri kita salah satu faktor penyebabnya adalah bergugurannya para Intelektual Muslim (alim ulama), tidak ada yang mampu mengangkat kebodohan di tataran kehidupan sosial masyarakat. Penyebab lainnya yaitu krisis ilmu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mundur-majunya peradaban yang sekarang kita hadapi.
Semangat untuk tholabul ilmi harus senantiasa kita cash setiap saat, dengan tanpa lelah kita ikuti kajian-kajian keilmuan yang menambah wawasan intelektual kita karena salah satu faktor dari suburnya keimanan kita adalah pasokan Ilmu yang intens kita terima setiap saat, selanjutnya dengan paparan tradisi Intelektual Islam mungkin akan menambah semangat kita.
G. Tradisi Intelektual Islam
Menarik jika merujuk fakta sejarah, bahwa salah satu cikal bakal tradisi intelektual islam adalah berdirinya kelompok belajar atau madrasah Ashabu Suffah[11]di Madinah. Karena objek kajiannya berpusat pada wahyu yang begitu luas dan kompherenshif tentu saja tidak bisa disamakan dengan materi diskusi di lonia yang katanya ditengarai sebagai tempat cikal bakal tradisi intelektual Yunani dan kebudayaan Barat secara generalisir (the cradle the western civilization), para alumni Ashabu Suffah adalah pakar hadis yang kompeten terbaik sepanjang masa katakanlah Abu Hurairah, Abu Dzar Al Ghifari, Salman Al Farisi, Abdullah bin Mas’ud dll. Mereka semua merekam hadis nabi dalam hafalan-hafalan mereka. Setelah mereka, tidak lebih dari dua abad muncul kemudian generasi-generasi emas selanjutnya seperti Abu Hanifah (w 150/767) , Hasan Al Bashri (w 110/728), Asy Syafii’(w 204/819), dll.
Framework yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan tentu pada awalnya merupakan kerangka konsep keilmuan Islam (worldview) yaitu pandangan hidup yang memiliki konsep-konsep canggih yang menjadi asas epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut. Produk konsep tersebut menghasilkan berbagai disiplin ilmu, ; Tafsir, Hadis, Falak, Hisab, Kalam, Tasawuf, dan banyak lain sebagainya. Menelusur lebih dalam lagi, bahwa kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan dalam islam dirasakan oleh seluruh masyarakat di dunia seperti sumbangsih terhadap masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah di Andalusia, para intelektual Islam menghasilkan sumbangsih besar yang dicatat sejarah hingga kini.
Sebenarnya, banyak sekali karakteristik majunya peradaban Intelektual Islam seperti semaraknya kegiatan intelektual seperti penerjemahan karya Yunani ke berbagai bahasa, munculnya fan ilmu modern seperti Ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang, kedokteran, ilmu hukum waris, geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, logika termasuk ilmu fisika, pertanian, metafisika, ramalan, dan ilmu kimia.
Namun, seperti yang di teorikan oleh Ibnu Khaldun diatas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukan satu-satunya faktor tumbuh kembang suatu peradaban. Kemampuan berorganisasi dalam kekuatan politik dan militer serta kesanggupan untuk meningkatkan taraf kehidupan merupakan salah satu juga penunjang terbentuknya pemikiran dan peradaban.
H. Peradaban Ulul Albab dan Progress HIMA Persis di masa depan
Telah kita ketahui pada umumnya bahwa peradaban adalah hasil sebuah kegemilangan intelektual sebuah bangsa atau budaya, sehingga kalaulah menyebut peradaban Yunani maka kita simpulkan bahwa peradaban Yunani adalah merupakan hasil jenius bangsa Yunani, peradaban Islam adalah merupakan hasil dari para jenius umat islam, begitu pula dengan peradaban Barat yang sekarang sedang menghegemoni dunia.[12]
Dan sebuah peradaban tidak akan pernah hadir jika tidak ada upaya yang luar biasa dalam dunia ilmu pengetahuan, sebuah upaya untuk mencerdaskan. Hal ini berlaku, sepenuhnya untuk peradaban Islam yang pernah jaya dan memimpin dunia untuk masa yang cukup panjang, sebelum kemudian peradaban Barat mengambil alih kepemimpinan pada masa modern sekarang. Landasan yang menjadi substansi terwujudnya peradaban nampak dari tanda -tandanya, menurut Ibnu Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran dll. Jadi dapat kita pegang benang merahnya bahwa maju dan mundurnya suatu peradaban berkaitan dengan maju atau mundurnya ilmu pengetahuan.
Namun, ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktiv mengembangkannya. Oleh karena itu, suatu peradaban harus dimulai dari suatu komunitas kecil. Komunitas kecil yang suatu saat menjadi besar seperti komunitas di perkotaan yang mampu menegmbangkan kegiatan teknologi, ekonomi, budaya dan sastra dll semua itu merupakan pertanda akan tanda lahirnya suatu peradaban. Suatu peradaban tanda-tandanya adalah adanya komunitas aktiv dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan. Selain itu menurut para sarjana muslim kontemporer asas dari peradaban itu sendiri adalah agama, menolak agama adalah suatu kebiadaban.[13]
Sayyid Quthb menyatakan bahwa keimanan merupakan sumber peradaban. Prinsip-prinsipnya adalah ketaqwaan kepada Allah swt, keyakinan kepada keesaan Allah, supremasi kemanusiaan diatas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsi manusia sebagai khalifah Allah dibumi berdasarkan petunjuk dan perintah Nya. Sejalan dengan Sayyid Quthb, syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Contohnya bangsa-bangsa purbakala, Yunani, Mesir, India dan lain-lain, membangun peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan, atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriah (outward manifestasion)
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, agama serta kepercayaan membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya. Pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap peradaban dunia. Syed Naquib al Attas yang mengenalkan worldview Islam mempresentasikan bahwa yang disebut worldview ialah, “Pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang tampak oleh mata hati kita dan menjelaskan hakikat wujud,”[14] Jadi, sebagaimana peradaban lain, substansi peradaban Islam adalah pokok ajaran Islam bukan hanya pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai. Akan tetapi, merupakan supersistem terutama pandangan tentang Tuhan. Oleh karena itu pondasi bagi tata pikir adalah Teologi (aqidah), dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim.
Suatu peradaban akan mewujud jika manusia didalam peradaban itu memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupan, dan tentu yang paling urgen dalam membangun sebuah peradaban ialah intelektualisme yang mengakar di jiwa serta di implimentasikan dengan worldview (konsep nilai) Islam yang murni.
Progress HIMA Persis di masa depan dengan misi terwujudnya peradaban Ulul Albab, adalah misi besar prestisius organisasi kemahasiswaan Islam di Indonesia. Bila mengukur kadar layaknya disebut peradaban tentu harus berlandaskan asasnya yaitu Ilmu pengetahuan (terwujudnya kader HIMA Persis yang berjiwa Intelektual) menjadi organisasi atau komunitas aktiv dan kreatif menghasilkan produk keilmuan (karya ilmiah dll) dan menjadikan worldview Islam sebagai sumber pandangan hidup berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wata’alaa.
Wallahu a’laam bi shawaaab.
Disajikan pada acara MAKKAH, HIMA PERSIS GARUT
di Sadang awal bulan Juli, 2012.
(Penulis sekarang masih aktif menjabat sebagai Ketua Pimpinan Komisariat STAI Persis Garut)
Footnotes :
[1] Dr. Yusuf Qardhawi dkk, Kebangkitan Islam dalam Perbincangan para Pakar,Gema Insani Press, Jakarta :1998, hlm.39
[2] لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ [التين/4
“Dan sungguh kami telah ciptakan Manusia dalam sebaik-baiknya bentuk”.
[3] وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [النحل/78
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut Ibu-ibu sekalian, tidak mengetahui sesuatupun , dan kami jadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati supaya kalian bersyukur.”
[4] إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah satu kaum sehingga kaum itu merubah diri mereka sendiri”
[5] Dr. Amien Rais dkk, Intelektual Muslim,Penerbit Karya kita, Bandung:tt. hlm.7
[6] Dr. M.Quraish Shihab,”Membumikan Al Qur’an”,Mizan, Bandung : 1999, hlm.389.
[7] Ibid hlm.389
[8] وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ [التوبة/122[
“Dan tidaklah kondisi kaum Mu’min pergi semuanya ke medan perang, mengapa tidak pergi dari tiap golongan diantara mereka beberapa golongan dianatara mereka menjadi generasi “Tafaqquh fii Dien”(golongan yang memperdalam agama) untuk memberi peringatan terhadap kaumnya, apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya “.
[9] Dr. Amien Rais dkk, Intelektual Muslim,Penerbit Karya kita, Bandung:tt. hlm.7
[10] Ibid,hlm.10
[11] Ashabu Suffah’ Ialah para sahabat Nabi Saw yang membuat sebuah komunitas keilmuan ,tinggal di mihrob mesjid dengan jumlah anggota tetap sekitar 70-an. Mendapat pasokan makanan dari para donatur kaya di kalangan sahabat.
Dr.Hamid Fahmi Zarkasy dkk,Membangun Peradaban dengan Ilmu, Penerbit KALAM Indonesia, Depok : 2010,hlm.146-147.
[12] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Mizan, Bandung : 1994, hlm.11
[13] Dr.Hamid Fahmi Zarkasy dkk,Membangun Peradaban dengan Ilmu,hlm.141
[14] Ibid, hlm.145.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Quranul Kariim. Software PC
________________Dr. Yusuf Qardhawi dkk, Kebangkitan Islam dalam Perbincangan para Pakar,Gema Insani Press, Jakarta :1998.
_______________Dr. Amien Rais dkk, Intelektual Muslim,Penerbit Karya kita, Bandung:tt.
______________________Dr. M.Quraish Shihab,”Membumikan Al Qur’an”,Mizan, Bandung : 1999._________________________
________Dr.Hamid Fahmi Zarkasy dkk,Membangun Peradaban dengan Ilmu, Penerbit KALAM Indonesia, Depok : 2010.
________Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Mizan, Bandung : 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar