Selasa, 09 Juni 2015

Peranan Mahasiswa Islam dan Gejolak Politik Bangsa (Membangun Masa Depan Islam Indonesia)

Dilan Imam Adilan
Pimpinan Redaksi Buletin RADIKAL, Kadept.Kaderisasi HIMA Persis Garut, Alumnus Kampus Bening STAIPI Garut


Banyak kalangan menganggap persoalan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini ialah kekalahan politik. Maka penyelesaian yang ditawarkan pun tak jauh dari perkara berebut kekuasaan.[1]
Munculnya pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin ummat, melainkan juga tidak memiliki akhlaq yang luhur, kapasitas intelektual dan spiritual mencukupi, yang sangat diperlukan dalam sebuah kepemimpinan.[2] Para pemimpin ini kebingungan dan keliru dalam mengambil kebijakan yang pada akhirnya menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Hal ini kemudian ditambah dengan ketiadaan adab[3] dalam tubuh masyarakat.
Maka benarlah apa yang disabdakan Nabi dalam sebuah hadis, bahwa kondisi pemimpinmu mencerminkan kondisi rakyat yang dipimpinnya (Kama Takunu Yuwalla alaikum).[4] Hadis tersebut menyiratkan bahwa spiritualitas, etik moral masyarakat yang bagus, maka yang akan tampil sebagi pemimpin mereka adalah orang yang punya karakteristik seperti itu.[5]
Apa peranan Mahasiswa Islam sesungguhnya dalam menghadapi gejolak politik bangsa? Sejauh mana persiapan kita membangun masa depan Islam di Indonesia? semoga tulisan sederhana ini membuka keran gagasan kawan-kawan selanjutnya..
****

Memainkan Peranan Sesungguhnya
Mahasiswa sebagai katalisator bagi masyarakat atas kebijakan penguasa  mempunyai peranan penting untuk menyalurkan aspirasinya. Mengingat mahasiswa mempunyai potensi-potensi dan ide yang dapat membantu kemajuan negara secara umum. Gerakan Mahasiswa secara historis tampil ke muka sebagai penumbang rezim anti rakyat, korup, yang gagal dalam menjalankan peranannya sebagai memimpin bangsa.[6] Mereka hadir di garda terdepan berjuang demi perubahan dan berkata tidak pada ketidakadilan. Kebenaran dan keadilan tidak bisa dibungkam oleh siapapun termasuk rezim Jokowi yang ditopang para Kapitalis. Semakin kuat rakyat dibungkam, maka akan semakin keras berteriak.[7]
Mahasiswa Islam (secara khusus) berperan untuk menganalisis dan menggiring opini publik [8]terhadap pemahaman yang benar terhadap gejolak politik bangsa ini. Selain itu, mahasiswa Islam sebagaimana analisis Alam Permana[9]mengenai Q.S Ali Imron : 190-191, bahwa Ulul Albab atau dalam hal ini mahasiswa Islam adalah orang yang senantiasa merenungi ayat-ayat Allah. Serta, makna yang terkandung dalam ayat ini yaitu tuntutan bagi orang yang sholat untuk menyebar atau melakukan perubahan baik nasib pribadi terlebih masyarakat secara komunal.
Julien Benda berkata,“Alih-alih kaum intelektual memegang tinggi kemanusiaan yang menjadi dasar segala Ilmu, telah menyesuaikan diri pada berbagai macam aliran egoisme dan kepentingan disebelah masyarakat atau di luar kepentingan masyarakat. Orang terpelajar tidak saja dikalahkan, tapi juga di pungut, orang terpelajar disewa oleh penguasa.”
Mahasiswa Islam bukan menjadi “pengkhianat Intelektual”, mahasiswa Islam berkorban untuk kepentingan masyarakat dan agama, dan bukan malah menyerahkan diri pada penguasa yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing.[10]

     
Sistem Politik dan Gejala Politik Bangsa
Jika ditilik dari perspektif sistem, sistem politik adalah subsitem dari sistem sosial. Pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya.[11]
Namun realitas politik bangsa kita dewasa umumnya cenderung machiavellistik sehingga ukuran efektivitas system politik bergeser, dari kesejahteraan rakyat menjadi kemampuan untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
(1)Fungsi Artikulasi Kepentingan[12]
Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan pemerintah.
Pemerintah dalam mengeluarkan suatu keputusan dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru menyulitkan masyarakat.  Oleh karena itu warga negara atau setidak-tidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang untuk mengangkat kepentingan dan tuntutan kelompoknya, agar dapat dimasukkan ke dalam agenda kebijaksanaan negara. Wakil kelompok yang mungkin gagal dalam melindungi kepentingan kelompoknya akan dianggap menggabungkan kepentingan kelompok, dengan demikian keputusan atau kebijaksanaan tersebut dianggap merugikan kepentingan kelompoknya.
Bentuk artikulasi yang paling umum di semua sistem politik adalah pengajuan permohonan secara individual kepada para anggota dewan (legislatif), atau kepada Kepala Daerah, Kepala Desa, dan seterusnya. Kelompok kepentingan yang ada untuk lebih mengefektifkan tuntutan dan kepentingan kelompoknya, mengelompokkan kepentingan, kebutuhan dan tuntutan kemudian menyeleksi sampai di mana hal tersebut bersentuhan dengan kelompok yang diwakilinya.
Artikulasi kepentingan sudah ada sepanjang sejarah dan kelompok kepentingan akan semakin tumbuh seiring semakin bertambahnya kepentingan manusia, jadi kelompok kepentingan hanya ingin mempengaruhi pembuatan keputusan dari luar, sedangkan partai politik dari dalam.

(2)Fungsi Agregasi Kepentingan[13]
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.
Agregasi kepentingan dijalankan dalam "sistem politik yang tidak memperbolehkan persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat atas, mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai kebutuhan dari rakyat dan konsumen".
Dalam masyarakat demokratis, Partai menawarkan program politik dan menyampaikan usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar (bargaining) pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan tersebut mendukung calon yang diajukan.
Agregasi kepentingan dalam sistem politik di Indonesia berlangsung dalam diskusi  lembaga legislatif. DPR berupaya merumuskan tuntutan dan kepentingan-kepentingan yang diwakilinya. Semua tuntutan dan kepentingan seharusnya tercakup dalam usulan kebijaksanaan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang. Namum penetapan kebijaksanna (UU) bukanlah hak semata-mata pihak legislatif. DPR bersama Presiden memiliki hak untuk mengesahkan Undang-Undang. Kedudukan DPR dan Presiden dalam fungsi agregasi kepentingan adalah sama, sebab kedua lembaga ini berhak untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU).
Tentu saja akan terjadi persaingan ketat untuk mengangkat gagasan dan memenuhi tuntutan-tuntutan kelompoknya, akan tetapi dengan adanya prinsip musyawarah dan mufakat (yang dirasa pasti akan sulit mengingat DPR mewakili KMP sebagai oposisi pemerintah, dan Presiden mewakili KIH sebagai pemegang kekuasaan di kabinet Indonesia) sangat banyak membantu persaingan antara wakil partai dalam agregasi kepentingan.

        Analisis Hancurnya Suatu Bangsa
Sistem dan gejala Politik di bangsa Indonesia “kiwari” mutlak bukan hanya salah para penguasa. Ada keterkaitan yang begitu mendalam, antara religiutas masyarakat yang memudar hingga hilangnya keimanan dan ketakutan akan siksa/adzab Nya, mendewakan harta dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan (machiavellis). Analisis al Qur’an tentang hancurnya suatu bangsa terikat dengan beberapa aspek. Diantaranya ; Pertama, Dominasi Hedonisme[14] dalam tatanan sosial kemasyarakatan (Lihat: al Qur’an surat At Taubah : 24) Kedua, Para elite (penguasa) yang tidak amanah (Lihat : Shahih Bukhari, Kitabul Ilmi hadis 1). Akan tetapi dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran peradaban atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlaq.  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
” Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam.”.
Apabila iman kepada Allah SWT sudah rusak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah SWT. Story umat terdahulu yang hancur peradabannya berserak dalam al Qur’an dan menjadi tadzkirah bagi kita semua (Lihat: an Nahl : 36).

Membangun Masa Depan Islam Indonesia
Selanjutnya, berbicara tentang bagaimana membangun masa depan Islam Indonesia yang ideal, yang penting dilakukan adalah bagaimana membenahi kondisi internal ummat Islam dan lembaga-lembaga yang fundamen dalam membangun pondasi peradaban. (Lembaga pendidikan, dan lembaga dakwah salah satunya). Dari perguruan tinggi Islam misalnya  ; diharapkan akan lahir mahasiswa Islam yang dapat menjadi kader ummat yang mencintai ilmu (ilmiah), Ibaadurahmaan, (religius), progressif profesional dan zuhud. Menyebar ke berbagai sub tatanan masyarakat : sosial, budaya, politik, ekonomi, dsb.
Pakar sejarah Arnold Toynbee, juga menemukan bahwa antara kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada kelompok yang disebut sebagai creative minorities. Kelompok ini memiliki kemapanan spritual yang mendalam atau motivasi agama (religious motivation), bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama. Jika kaum Muslim Indonesia mampu mewujudkan creative minorities, maka ada harapan besar untuk membawa ummat Islam dan juga negara Indonesia ke tahap yang lebih gemilang di masa depan.[15]
Creative minorities adalah mereka yang mengambil “bagian” dari potongan-potongan tugas yang diemban mahasiswa sebagai Agent of Change di masyarakat. Pembagian tugas ini jelas harus ada, dan jika mahasiswa Islam yang hendak bertugas membangun peradaban masa depan yang gemilang. Terhipnotis godaan duniawi sesaat, maka berpalinglah arah gerakan kader dari esensi perjuangan hakiki.
Sekali lagi, masa depan Islam di Indonesia akan sangat tergantung pada kualitas perjuangan umat Islam itu sendiri. Peradaban Islam akan terwujud jika kaum Muslimin bersungguh-sungguh menekuni berbagai bidang dan mengambil tugas masing-masing. Mahasiswa Islam contohnya membina diri sebagai Creative Minorities, dalam ranah politik ; partai-partai Islam  dan politisi Muslim memiliki etik moral yang tinggi, menjadi teladan dalam pemikiran dan perilaku. Dalam ranah ekonomi, lembaga dan pelaku ekonomi syariah benar-benar menjadikan iman, ilmu, dan ketakwaan sebagai landasan perekonomian, bukan pragmatisme ekonomi. Sesungguhnya Islam itu ya’lu (tinggi) dan rahmat bagi seluruh alam. Siapa yang meragukan?
Wawlaahu a’laam bi shawaab.



[1] Prof Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Syed M Naquib Al Attas., terj Hamid Fahmy Zarkasy dkk. (Bandung : Mizan). hlm.65.
[2] Prof Syed Muhammad Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj.Haidar Bagir (Bandung : Penerbit Mizan, 1990) hlm.53
[3] Syed Naquib al Attas seringkali mendengungkan istilah “Adab” dengan definisi : Tindakan yang benar terhadap segala hal dengan landasan Ilmu. Orang beradab mengetahui bahwa berbohong itu salah maka ia meninggalkannya ; orang yang beradab mengetahui bahwa berprilaku “korupsi” itu perbuatan nista maka dia meninggalkannya. Dapat kita cermati, bahwa realitas yang terjadi kini masyarakat (termasuk para pejabat publik, para pemimpin di parlemen, dan di setiap lini masyarakat) ketidak tahuan atau ketidak mau tahuan akan sesuatu agar dapat bertindak “benar”menyebabkan ketiadaan adab (The Lost of Adab). (Lihat, Prof Syed Muhammad Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, ibid.hlm.452).
[4] Lihat, Abu Abdullah al Hakim, al Mustadrak ala Shahihain, (Beirut ; Dar el Kotob Ilmiyyah, 1990).no.hadis.4698 juz.3 hlm.156, lihat juga; Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178, Syadzaraat Adz Dzahab 1/51.
[5] KH Shiddiq Amien, “ISLAM’ dari Akidah hingga Peradaban,”( Jakarta :Penerbit Suluk, 2010) hlm.45. Lihat juga QS.Al An’aam : 129, yang artinya : Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. “
[6]Peranan Mahasiswa di era Soekarno di masa pra-kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan (mahasiswa yang berhasil mengusir penjajah dengan berdiplomasi di meja perundingan), di era Soeharto 1960-an (era Soe Hok Gie) s.d 1998 mahasiswa berhasil menggulingkan rezim Soeharto  (Orde Lama-Orde Baru) sampai di era Reformasi. Saat ini, atmosfer untuk menggulingkan pemerintahan pak Jokowi sedang dibangun dengan aksi mahasiswa di beberapa daerah maupun nasional.
[7] Upaya rezim yang kini berkuasa salah satunya memback up media untuk tidak mempublikasi demo mahasiswa menentang Jokowi-JK. Sebagaimana dilansir milis-milis di internet, media social seakan mengungkap “dosa besar” rezim Jokowi agar masyarakat buta terhadap perkembangan pemerintahan yang semakin jelas kebingungan nya memimpin rakyat Indonesia. Sebagaimana diungkap oleh Arbi Muslim aktivis ITB tahun 80’an, “Jika aksi mahasiswa IPB pada kamis (19/3/2015) tidak di ekspos media mainstream berarti isu yang berkembang ada pengusaha yang melakukan pembungkaman media terhadap aksi penurunan Jokowi-JK benar adanya dan merupakan sebuah tindak kejahatan pers”. Lanjutnya,”Berarti pers telah menjadi salah satu instrumen Kapitalis yang membungkam suara-suara Rakyat”.Lihat selengkapnya di; www.kompasislam.com, fenomena ini seperti halnya yang terjadi pada “Arab Spring” dimana peran media sosial, internet mampu menumbangkan rezim-rezim otoriter yang berkuasa.
[8] Sebagaimana paparan, Tatang Muttaqin dalam Komunikasi Politik (1) Pentingnya opini publik karena adanya perubahan yang cepat dalam konteks global sehingga pembentukan suatu opini dalam politik menjadi penting (2) Pembentukan opini publik terkait dengan sensor dan privasi ; kontak dan kesempatan ; waktu dan perhatian ; kecepatan, kata-kata, dan kejelasan makna. Signifikansi pembentukan opini publik juga terkait dengan : (1) Stereotip yang merupakan strategi pembelan diri (2) Penggalangan kepentingan (3) Perekayasaan kehendak bersama sehingga kehendak sebagian dalam hal ini pemimpin, bisa menjadi “kehendak bersama” (4) Pencitraan sebagai orang yang demokratis yang menekankan pada pentingnya penghargaan individual (egosentris) sehingga terbentuk masyarakat mandiri. Pembentukan opini publik membutuhkan dukungan media di dalamnya dikupas “konsep publik yang membeli”, pembaca tetap, hakikat berita, pertautan berita, kebenaran-kesimpulan. Disamping mengoptimalkan media massa, pembentukan opini juga dilakukan melalui ”pengaturan intelijen’ untuk mengorek, menyusup, memecah-belah.
[9] Alam Permana, “Mahasiswa; Identitas Politic Kaum Intelektual”,dalam Buletin RADIKAL edisi.04-Desember 2014.hlm.17.
[10]M Hatta “Tanggung Jawab Kaum Intelegensia” dalam Aswab Mahasin – Ismed Narsir (Peny.), Cendikiawan dan Politik, (Jakarta:LP3ES, 1984), hal.3
[11]Dilihat dari perspektif sistem kehidupan politik bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya pendekatan institusional dengan menekankan kelembagaan sehingga terpetakan pola dan struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai institusi negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari satu sitem politik. Dengan mengubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik. (Lihat : Komunikasi Politik, Tatang Muttaqin, Bappenas.go.id).
Kenyataan yang terjadi rezim Jokowi saat ini, saat model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) kedalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik “ seharusnya” adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Program yang digulirkan pemerintah pun (KIS,KIP, BPJS, dsb) adalah program kepemimpinan periode sebelumnya yang sempat diniatkan namun baru sekarang terealisasikan terlepas berbagai polemik didalamnya
[12] Tatang Muttaqin,”Komunikasi Politik,”hlm.3-4
[13]Tatang Muttaqin,”Komunikasi Politik”,hlm.4-5
[14] Hidup untuk kesenangan materi saja.
[15] Adian Husaini,dalam sebuah artikel “Indonesia Masa Depan: Perspektif Peradaban Islam”­ (Hamid Fahmi Zarkasy dkk, “Membangun Peradaban dengan Ilmu” (Depok : KALAM UI,thn.2010) hlm.64

Tidak ada komentar: