Dilan Imam Adilan
Pimpinan Redaksi Buletin RADIKAL, Kadept.Kaderisasi
HIMA Persis Garut, Alumnus Kampus Bening STAIPI Garut
Banyak kalangan
menganggap persoalan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini ialah kekalahan
politik. Maka penyelesaian yang ditawarkan pun tak jauh dari perkara berebut
kekuasaan.[1]
Munculnya
pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin ummat, melainkan juga tidak
memiliki akhlaq yang luhur, kapasitas intelektual dan spiritual mencukupi, yang
sangat diperlukan dalam sebuah kepemimpinan.[2] Para pemimpin ini
kebingungan dan keliru dalam mengambil kebijakan yang pada akhirnya menyebabkan
kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Hal ini kemudian ditambah dengan ketiadaan
adab[3] dalam tubuh masyarakat.
Maka
benarlah apa yang disabdakan Nabi dalam sebuah hadis, bahwa kondisi pemimpinmu
mencerminkan kondisi rakyat yang dipimpinnya (Kama Takunu Yuwalla alaikum).[4] Hadis tersebut menyiratkan
bahwa spiritualitas, etik moral masyarakat yang bagus, maka yang akan tampil
sebagi pemimpin mereka adalah orang yang punya karakteristik seperti itu.[5]
Apa peranan
Mahasiswa Islam sesungguhnya dalam menghadapi gejolak politik bangsa? Sejauh
mana persiapan kita membangun masa depan Islam di Indonesia? semoga tulisan
sederhana ini membuka keran gagasan kawan-kawan selanjutnya..
****
Memainkan
Peranan Sesungguhnya
Mahasiswa sebagai katalisator bagi
masyarakat atas kebijakan penguasa mempunyai peranan penting untuk menyalurkan
aspirasinya. Mengingat mahasiswa mempunyai potensi-potensi dan ide yang dapat
membantu kemajuan negara secara umum. Gerakan Mahasiswa secara historis tampil
ke muka sebagai penumbang rezim anti rakyat, korup, yang gagal dalam
menjalankan peranannya sebagai memimpin bangsa.[6]
Mereka hadir di garda terdepan berjuang demi perubahan dan berkata tidak pada
ketidakadilan.
Kebenaran
dan keadilan tidak bisa dibungkam oleh siapapun termasuk rezim Jokowi yang
ditopang para Kapitalis. Semakin kuat rakyat dibungkam, maka akan semakin keras
berteriak.[7]
Mahasiswa
Islam (secara khusus) berperan untuk menganalisis dan menggiring opini publik [8]terhadap pemahaman yang benar
terhadap gejolak politik bangsa ini. Selain itu, mahasiswa Islam sebagaimana
analisis Alam Permana[9]mengenai Q.S Ali Imron :
190-191, bahwa Ulul Albab atau dalam hal ini mahasiswa Islam adalah orang yang
senantiasa merenungi ayat-ayat Allah. Serta, makna yang terkandung dalam ayat
ini yaitu tuntutan bagi orang yang sholat untuk menyebar atau melakukan
perubahan baik nasib pribadi terlebih masyarakat secara komunal.
Julien Benda
berkata,“Alih-alih kaum intelektual memegang tinggi kemanusiaan yang menjadi
dasar segala Ilmu, telah menyesuaikan diri pada berbagai macam aliran egoisme
dan kepentingan disebelah masyarakat atau di luar kepentingan masyarakat. Orang
terpelajar tidak saja dikalahkan, tapi juga di pungut, orang terpelajar disewa
oleh penguasa.”
Mahasiswa
Islam bukan menjadi “pengkhianat Intelektual”, mahasiswa Islam berkorban untuk
kepentingan masyarakat dan agama, dan bukan malah menyerahkan diri pada
penguasa yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing.[10]
Jika ditilik
dari perspektif sistem, sistem politik adalah subsitem dari sistem sosial.
Pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem
yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan
yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya.[11]
Namun realitas politik bangsa
kita dewasa umumnya cenderung machiavellistik
sehingga ukuran efektivitas system politik bergeser, dari kesejahteraan rakyat
menjadi kemampuan untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang
demokratis dan sistem
politik yang otoriter.
Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses
penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil
kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan
kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan
pemerintah.
Pemerintah dalam mengeluarkan suatu keputusan dapat bersifat menolong
masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru menyulitkan
masyarakat. Oleh karena itu warga negara atau setidak-tidaknya wakil dari
suatu kelompok harus berjuang untuk mengangkat kepentingan dan tuntutan
kelompoknya, agar dapat dimasukkan ke dalam agenda kebijaksanaan negara. Wakil
kelompok yang mungkin gagal dalam melindungi kepentingan kelompoknya akan
dianggap menggabungkan kepentingan kelompok, dengan demikian keputusan atau
kebijaksanaan tersebut dianggap merugikan kepentingan kelompoknya.
Bentuk artikulasi yang paling umum di semua sistem politik adalah
pengajuan permohonan secara individual kepada para anggota dewan (legislatif),
atau kepada Kepala Daerah, Kepala Desa, dan seterusnya. Kelompok kepentingan
yang ada untuk lebih mengefektifkan tuntutan dan kepentingan kelompoknya,
mengelompokkan kepentingan, kebutuhan dan tuntutan kemudian menyeleksi sampai
di mana hal tersebut bersentuhan dengan kelompok yang diwakilinya.
Artikulasi kepentingan sudah ada sepanjang sejarah dan kelompok
kepentingan akan semakin tumbuh seiring semakin bertambahnya kepentingan
manusia, jadi kelompok kepentingan hanya ingin mempengaruhi pembuatan keputusan
dari luar, sedangkan partai politik dari dalam.
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang
dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi
alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.
Agregasi kepentingan dijalankan dalam "sistem politik yang tidak memperbolehkan
persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat
atas, mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai kebutuhan dari
rakyat dan konsumen".
Dalam masyarakat demokratis, Partai menawarkan program politik dan menyampaikan
usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk
jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar (bargaining)
pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan tersebut mendukung
calon yang diajukan.
Agregasi kepentingan dalam sistem politik di Indonesia berlangsung dalam
diskusi lembaga legislatif. DPR berupaya
merumuskan tuntutan dan kepentingan-kepentingan yang diwakilinya. Semua
tuntutan dan kepentingan seharusnya tercakup dalam usulan kebijaksanaan untuk
selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang. Namum penetapan kebijaksanna (UU) bukanlah hak semata-mata pihak
legislatif. DPR bersama Presiden memiliki hak untuk mengesahkan Undang-Undang.
Kedudukan DPR dan Presiden dalam fungsi agregasi kepentingan adalah sama, sebab
kedua lembaga ini berhak untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU).
Tentu saja akan terjadi persaingan ketat untuk
mengangkat gagasan dan memenuhi tuntutan-tuntutan kelompoknya, akan tetapi
dengan adanya prinsip musyawarah dan mufakat (yang dirasa
pasti akan sulit mengingat DPR mewakili KMP sebagai oposisi pemerintah, dan
Presiden mewakili KIH sebagai pemegang kekuasaan di kabinet Indonesia) sangat banyak membantu persaingan antara wakil partai
dalam agregasi kepentingan.
Analisis Hancurnya Suatu Bangsa
Sistem dan gejala Politik di bangsa Indonesia
“kiwari” mutlak bukan hanya salah para penguasa. Ada keterkaitan yang begitu
mendalam, antara religiutas masyarakat yang memudar hingga hilangnya keimanan
dan ketakutan akan siksa/adzab Nya, mendewakan harta dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan kekuasaan (machiavellis). Analisis al Qur’an tentang
hancurnya suatu bangsa terikat dengan beberapa aspek. Diantaranya ; Pertama,
Dominasi Hedonisme[14]
dalam tatanan sosial kemasyarakatan (Lihat: al Qur’an surat At Taubah : 24) Kedua,
Para elite (penguasa) yang tidak amanah (Lihat : Shahih Bukhari, Kitabul
Ilmi hadis 1). Akan tetapi dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran
peradaban atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlaq. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
” Apabila umatku sudah
mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam.”.
Apabila iman kepada Allah SWT sudah rusak, maka
secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah
SWT. Story umat terdahulu yang hancur peradabannya berserak dalam al
Qur’an dan menjadi tadzkirah bagi kita semua (Lihat: an Nahl : 36).
Membangun
Masa Depan Islam Indonesia
Selanjutnya,
berbicara tentang bagaimana membangun masa depan Islam Indonesia yang ideal,
yang penting dilakukan adalah bagaimana membenahi kondisi internal ummat Islam
dan lembaga-lembaga yang fundamen dalam membangun pondasi peradaban. (Lembaga
pendidikan, dan lembaga dakwah salah satunya). Dari perguruan tinggi Islam
misalnya ; diharapkan akan lahir mahasiswa
Islam yang dapat menjadi kader ummat yang mencintai ilmu (ilmiah), Ibaadurahmaan,
(religius), progressif profesional dan zuhud. Menyebar ke berbagai sub tatanan
masyarakat : sosial, budaya, politik, ekonomi, dsb.
Pakar
sejarah Arnold Toynbee, juga menemukan bahwa antara kematian dan kebangkitan
satu peradaban baru, ada kelompok yang disebut sebagai creative minorities.
Kelompok ini memiliki kemapanan spritual yang mendalam atau motivasi agama
(religious motivation), bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari
reruntuhan peradaban lama. Jika kaum Muslim Indonesia mampu mewujudkan creative
minorities, maka ada harapan besar untuk membawa ummat Islam dan juga negara
Indonesia ke tahap yang lebih gemilang di masa depan.[15]
Creative
minorities adalah mereka yang mengambil “bagian” dari potongan-potongan tugas
yang diemban mahasiswa sebagai Agent of Change di masyarakat. Pembagian
tugas ini jelas harus ada, dan jika mahasiswa Islam yang hendak bertugas membangun
peradaban masa depan yang gemilang. Terhipnotis godaan duniawi sesaat, maka
berpalinglah arah gerakan kader dari esensi perjuangan hakiki.
Sekali lagi,
masa depan Islam di Indonesia akan sangat tergantung pada kualitas perjuangan
umat Islam itu sendiri. Peradaban Islam akan terwujud jika kaum Muslimin bersungguh-sungguh
menekuni berbagai bidang dan mengambil tugas masing-masing. Mahasiswa Islam
contohnya membina diri sebagai Creative Minorities, dalam ranah politik ;
partai-partai Islam dan politisi Muslim
memiliki etik moral yang tinggi, menjadi teladan dalam pemikiran dan perilaku.
Dalam ranah ekonomi, lembaga dan pelaku ekonomi syariah benar-benar menjadikan
iman, ilmu, dan ketakwaan sebagai landasan perekonomian, bukan pragmatisme
ekonomi. Sesungguhnya Islam itu ya’lu (tinggi) dan rahmat bagi seluruh alam.
Siapa yang meragukan?
Wawlaahu
a’laam bi shawaab.
[1] Prof Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Syed M Naquib Al Attas., terj Hamid Fahmy Zarkasy
dkk. (Bandung : Mizan). hlm.65.
[2] Prof Syed Muhammad Naquib Al
Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj.Haidar Bagir (Bandung :
Penerbit Mizan, 1990) hlm.53
[3] Syed Naquib al Attas seringkali
mendengungkan istilah “Adab” dengan definisi : Tindakan yang benar terhadap
segala hal dengan landasan Ilmu. Orang beradab mengetahui bahwa berbohong itu
salah maka ia meninggalkannya ; orang yang beradab mengetahui bahwa berprilaku
“korupsi” itu perbuatan nista maka dia meninggalkannya. Dapat kita cermati,
bahwa realitas yang terjadi kini masyarakat (termasuk para pejabat publik, para
pemimpin di parlemen, dan di setiap lini masyarakat) ketidak tahuan atau
ketidak mau tahuan akan sesuatu agar dapat bertindak “benar”menyebabkan
ketiadaan adab (The Lost of Adab). (Lihat, Prof Syed Muhammad Naquib Al
Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, ibid.hlm.452).
[4] Lihat, Abu Abdullah al Hakim, al
Mustadrak ala Shahihain, (Beirut ; Dar el Kotob Ilmiyyah, 1990).no.hadis.4698
juz.3 hlm.156, lihat juga; Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178, Syadzaraat
Adz Dzahab 1/51.
[5] KH Shiddiq Amien, “ISLAM’
dari Akidah hingga Peradaban,”( Jakarta :Penerbit Suluk, 2010) hlm.45. Lihat
juga QS.Al An’aam : 129, yang artinya : “Dan
demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman
bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. “
[6]Peranan Mahasiswa di era Soekarno
di masa pra-kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan (mahasiswa yang berhasil
mengusir penjajah dengan berdiplomasi di meja perundingan), di era Soeharto
1960-an (era Soe Hok Gie) s.d 1998 mahasiswa berhasil menggulingkan rezim
Soeharto (Orde Lama-Orde Baru) sampai di
era Reformasi. Saat ini, atmosfer untuk menggulingkan pemerintahan pak Jokowi
sedang dibangun dengan aksi mahasiswa di beberapa daerah maupun nasional.
[7] Upaya rezim yang kini berkuasa
salah satunya memback up media untuk tidak mempublikasi demo mahasiswa
menentang Jokowi-JK. Sebagaimana dilansir milis-milis di internet, media social
seakan mengungkap “dosa besar” rezim Jokowi agar masyarakat buta terhadap
perkembangan pemerintahan yang semakin jelas kebingungan nya memimpin rakyat Indonesia.
Sebagaimana diungkap oleh Arbi Muslim aktivis ITB tahun 80’an, “Jika aksi
mahasiswa IPB pada kamis (19/3/2015) tidak di ekspos media mainstream berarti
isu yang berkembang ada pengusaha yang melakukan pembungkaman media terhadap
aksi penurunan Jokowi-JK benar adanya dan merupakan sebuah tindak kejahatan
pers”. Lanjutnya,”Berarti pers telah menjadi salah satu instrumen Kapitalis
yang membungkam suara-suara Rakyat”.Lihat selengkapnya di; www.kompasislam.com,
fenomena ini seperti halnya yang terjadi pada “Arab Spring” dimana peran media
sosial, internet mampu menumbangkan rezim-rezim otoriter yang berkuasa.
[8] Sebagaimana paparan, Tatang
Muttaqin dalam Komunikasi Politik (1) Pentingnya opini publik karena
adanya perubahan yang cepat dalam konteks global sehingga pembentukan suatu
opini dalam politik menjadi penting (2) Pembentukan opini publik terkait dengan
sensor dan privasi ; kontak dan kesempatan ; waktu dan perhatian ; kecepatan,
kata-kata, dan kejelasan makna. Signifikansi pembentukan opini publik juga
terkait dengan : (1) Stereotip yang merupakan strategi pembelan diri (2)
Penggalangan kepentingan (3) Perekayasaan kehendak bersama sehingga kehendak
sebagian dalam hal ini pemimpin, bisa menjadi “kehendak bersama” (4) Pencitraan
sebagai orang yang demokratis yang menekankan pada pentingnya penghargaan
individual (egosentris) sehingga terbentuk masyarakat mandiri. Pembentukan
opini publik membutuhkan dukungan media di dalamnya dikupas “konsep publik yang
membeli”, pembaca tetap, hakikat berita, pertautan berita,
kebenaran-kesimpulan. Disamping mengoptimalkan media massa, pembentukan opini
juga dilakukan melalui ”pengaturan intelijen’ untuk mengorek, menyusup,
memecah-belah.
[9] Alam Permana, “Mahasiswa;
Identitas Politic Kaum Intelektual”,dalam Buletin RADIKAL edisi.04-Desember
2014.hlm.17.
[10]M Hatta “Tanggung
Jawab Kaum Intelegensia” dalam Aswab Mahasin – Ismed Narsir (Peny.), Cendikiawan
dan Politik, (Jakarta:LP3ES, 1984), hal.3
[11]Dilihat dari perspektif sistem
kehidupan politik bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya pendekatan
institusional dengan menekankan kelembagaan sehingga terpetakan pola dan
struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik.
Hubungan antara berbagai institusi negara sebagai pusat kekuatan politik
misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan
kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari satu sitem politik. Dengan
mengubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan
politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik. (Lihat : Komunikasi
Politik, Tatang Muttaqin, Bappenas.go.id).
Kenyataan yang terjadi rezim
Jokowi saat ini, saat model sistem politik yang paling sederhana akan
menguraikan masukan (input) kedalam sistem politik, yang mengubah melalui
proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya
dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik
lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintahan
untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka
efektifitas sistem politik “ seharusnya” adalah kemampuannya untuk menciptakan
kesejahteraan bagi rakyat. Program yang digulirkan pemerintah pun (KIS,KIP,
BPJS, dsb) adalah program kepemimpinan periode sebelumnya yang sempat diniatkan
namun baru sekarang terealisasikan terlepas berbagai polemik didalamnya
[15] Adian Husaini,dalam sebuah
artikel “Indonesia Masa Depan: Perspektif Peradaban Islam” (Hamid Fahmi
Zarkasy dkk, “Membangun Peradaban dengan Ilmu” (Depok : KALAM
UI,thn.2010) hlm.64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar