Oleh :
Ketua Pimpinan Daerah HIMA PERSIS Garut
(Sunarya,S.Pd.i, alumnus Kampus Bening STAIPI Garut)
Masjid
adalah simbol keislaman. Ia tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan umat Islam, karena masjid merupakan bentuk ketundukan umat kepada
Allah swt. Kata masjid terulang 28 kali dalam Alquran dalam berbagai bentuk. Secara
bahasa masjid berasal dari kata sajada-yasjudu-sujudan
yang secara etimologis beraarti patuh; taat; tunduk dengan penuh hormat.
Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke
bumi, atau bersujud adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari makna-makna
tersebut. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk shalat
dinamai masjid, “tempat bersujud”.
Dalam
pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan
tempat shalat kaum Muslim. Tapi karena akar katanya mengandung
makna tunduk dan patuh, hakikat masjid menjadi tempat
melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada
Allah swt. Alquran menegaskan: “ Sesungguhnya
masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah sesuatu
didalamnya selain Allah.” (QS. Jinn {72} : 18). Rasulullah saw. bersabda:“Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid
dan sarana penyucian diri”. (HR Bukhari
dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah)
Masjid bukan sekadar
tempat sujud dan sarana penyucian atau bertayamum (wudhu dengan debu suci).
Masjid adalah tempat Muslim bertolak, sekaligus
pelabuhan tempatnya bersauh dalam ketaatan kepada Allah
swt. Umat muslim harus bisa memaksimalkan keberadaan masjid sebagai
pusat aktivitas yang menawarkan kegiatan-kegiatan alternatif
dalam berdakwah. Contoh yang telah ada adalah kegiatan berdakwah melalui media
televisi komunitas atau radio komunitas, seperti TV komunitas Masjid
Jogokarian di Yogyakarta (MJTV) dan PAL TV di Masjid
Sadzudarain di Palmerah Jakarta.
Masjid memiliki peran sangat penting bagi masyarakat
muslim sejak periode nabi Muhammad Saw. dan sejak masa awal eksistensi
masyarakat muslim di Madinah. Ketika hijrahnya dari Makkah ke Madinah, beliau
membangun masjid sebagai upaya konkret yang pertama bagi
peradaban Islam. Sejak periode penting ini masjid yang ia bangun dipandang
sebagai pusat utama bagi beragam aktifitas masyarakat muslim. Dengan kata lain
masjid menjadi pusat komunitas dan naungan bagi segala bentuk program dan
aktifitas sosial dan pendidikan masyarakat muslim.
Menurut
Jusuf Kalla, sebgaimana dikutip oleh republika, manajemen masjid ke depan musti
dimakmurkan dan kemakmuran umat. Sehingga kehadiran masjid sebagai pusat
kegiatan masyarakat, memakmurkan kegiatan ubudiyah, menjadikan
masjid sebagai tempat rekreasi rohani jamaah, menjadikan masjid untuk merujuk
persoalan umat, dan menjadikan masjid sebagai pesantren serta kampus
masyarakat.
''Fungsi
masjid tak sekadar tempat ibadah salat (ubudiyah). Urusan muamalah,
seperti, sosial, ekonomi, kesehatan, kemasyarakatan, pun bisa dipecahkan dari
masjid,'' kata Jusuf Kalla ketika tampil sebagai pembicara Manajemen Masjid
(Republika, 10 November 2013)
Penjelasan
di atas menggambarkan betapa masjid pada awal sejarah penyebaran Islam memiliki
peran penting dan menjadi basis utama bagi segala aktifitas umat muslim dalam
proses pengembangan ajaran-ajaran Islam dan berfungsi secara aktif dalam
pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Masjid pada periode tersebut tak
hanya menjadi tempat suci untuk pelaksanaan ibadah-ibadah yang bersifat mahdhah seperti shalat, berdzikir dan
membaca al Qur’an tetapi berfungsi secara lebih luas dan beragam. Quraish
Shihab bahkan mencatat beberapa peranan strategis yang dimiliki masjid nabawi,
antara lain : sebagai tempat ibadah (shalat, zikir), tempat konsultasi dan
komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya), tempat pendidikan, tempat santunan
sosial, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan
para korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat
menerima tamu, tempat menawan tahanan, dan pusat penerangan atau pembelaan
agama.
A.
MASJID DALAM MASA PERIOE AWAL ISLAM
Pada periode
awal Islam yaitu pada masa Rasulullah Saw. masjid memiliki peran signifikan dan
strategis baik ketika di Makkah atau di Madinah. Di Makkah, masjid al Haram
menjadi tempat sosialisasi wahyu dari Allah secara terbuka sehingga mengundang
reaksi keras dari golongan musyrikin Quraisy seperti dialami oleh Abdullah ibn
Mas’ud. Demikian pula sewaktu nabi
singgah di Quba dalam perjalanannya ke Yatsrib, selama 4 (empat) hari beliau
mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid Quba, masjid yang
pertama kali dibangun oleh nabi pada tahun ke- 13 kenabiannya atau tahun ke- 1
hijriah (28 Juni 622 M). Masjid Quba ini merupakan tempat peribadatan umat
Islam pertama yang kemudian menjadi model atau pola dasar bagi umat Islam dalam
membangun masjid-masjid di kemudian hari. Masjid Quba disamping sebagai tempat
peribadatan yang menjadi fungsi utamanya, juga sebagai tempat pendidikan dan
pengajaran agama Islam. Untuk itu, Rasulullah menempatkan Mu’adz ibn Jabal
sebagai imam sekaligus guru agama di majid Quba ini. Selain itu, Rasulullah
sendiri kerap berkunjung ke masjid ini, baik dengan mengendarai unta ataupu
berjalan kaki, dan menunaikan shalat.
Kemudian
setibanya di Yatsrib, langkah pertama yang dilakukan Rasulullah Saw. adalah
membangun masjid yang sangat sederhana, berukuran 35 x 30 m2. Dengan
berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang dikeringkan, tiangnya dari
batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya. Masjid ini kemudian
dikenal dengan sebutan Masjid Nabawi. Di sebelah timur masjid, dibangun tempat
tinggal Rasulullah yang tentunya lebih sederhana lagi dari masjid, dan di
sebelah barat dibangun sebuah ruangan khusus untuk orang-orang miskin
muhajirin, yang kemudian dikenal dengan sebutan al shuffah.
Di Masjid
Nabawi inilah, seperti dijelaskan Quraish Shihab, fungsi-fungsi penting yang
terkait dengan kehidupan masyarakat muslim pada masa itu dijalankan dengan baik
karena Rasulullah sendiri yang secara langsung memimpin pemberdayaan masjid
sebagai tempat dan basis utama mengelola masyarakat muslim dengan
sebaik-baiknya yang di kemudian hari melahirkan sebuah masyarakat ideal yang
disebut masyarakat madani.[1]
Selain dari
dua masjid di atas, Rasulullah dan para sahabat juga membangun dan memperhatikan beberapa masjid dalam waktu yang berbeda
antara lain : masjid Qiblatain, masjid Salman, masjid Sayyidina Ali, masjid Ijabah, masjid Raya, masjid
Suqiya, masjid Fadikh, masjid Bani Quraizhah, Masjid Afr dan masjid al Aqsha yang notebene masjid tertua
kedua setelah masjid al haram di Makkah.
Pada masa Khulafa al Rasyidin juga dibangun beberapa masjid
baru di wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai. Di Bayt al Maqdis, misalnya,
khalifah Umar ibn Khattab membangun sebuah masjid yang berbentuk lingkaran
(segi delapan), dindingnya terbuat dari tanah liat, tanpa atap, tepatnya di
atas bukit Muriah. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama masjid Umar. Di
Kufah pada tahun 17 H Sa’ad ibn Abi Waqqash, sebagai panglima perang, membangun
sebuah masjid dengan bahan-bahan bangunan dari Persia lama dari Hirah dan
selesai dibangun pada tahun 18 H. Masjid ini sudah memiliki mihrab dan menara.
Di kota Basrah, pada tahun 14 H juga dibangun sebuah masjid oleh ‘Utbah ibn
Ghazwan. Di Madain, pada tahun 16 H. Sa’ad ibn Abi Waqqash menjadikan sebuah
gedung sebagai masjid. Di Damaskus, pada tahun 14 H. gereja St. John dibagi
dua, sebagian (sebelah timur) menjadi milik muslim dan dibuat sebagai masjid
oleh Abu Ubaidah ibn Jarrah. Di Fustat, Mesir, pada tahun 21 H. Amr ibn ‘Ash,
ketika menjadi panglima perang untuk menaklukan daerah tersebut membangun masjid al ‘Atiq. Secara fisik masjid tersebut
sudah berkembang lebih maju dibandingkan masjid-masjid lain yang telah ada.
B. MASJID DAN PENDIDIKAN
Pada masa nabi Muhammad Saw dan
khalifah Abu Bakar Shiddiq masjid masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan
pendidikan Islam tanpa ada pemisahan yang jelas antara keduanya hingga masa
Amirul Mukminin, Umar ibn Khattab. Pada masanya, di samping atau di beberapa
sudut masjid dibangun kuttab-kuttab untuk
tempat belajar anak-anak. Kuttab atau maktab “berasal dari kata dasar ‘kataba’ yang artinya menulis atau tempat
menulis, jadi kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam
kuttab telah ada di negeri arab meskipun belum banyak dikenal oleh masyarakat”.
Ahmad Syalabi menulis bahwa “kuttab adalah tempat memberi pelajaran menulis,
dimana tempat belajar membaca dan menulis ini teruntuk bagi anak-anak”.
Sejak masa inilah pengaturan
pendidikan anak-anak dimulai. Hari Jum’at adalah hari libur mingguan sebagai
persiapan melaksanakan shalat Jum’at. Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan
agar para pelajar diliburkan pada waktu dzuhur hari kamis, agar mereka
bersiap-siap menghadapi hari Jum’at. Usul ini kemudian menjadi tradisi hingga
sekarang. Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid menyelenggarakan kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan model pembelajaran yang memiliki bentuk atau format tersendiri yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim pada masa itu yang pada masa-masa berikutnya terus mengalami inovasi dan pembaruan. Hasil inovasi dan pembaruan tersebut sebagai konsekwensi dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan dan peningkatan.
Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat ‘atau singkatnya: Halaqa. Halaqa, dieja Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang didefinisikan sebagai ‘pertemuan orang yang duduk membentuk lingkaran.
Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat ‘atau singkatnya: Halaqa. Halaqa, dieja Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang didefinisikan sebagai ‘pertemuan orang yang duduk membentuk lingkaran.
Lingkaran
(halaqa) adalah bentuk tertua dari
pengajaran Islam, sejak masa Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan
bagi para pengikutnya baik pria maupun wanita. Dalam halaqa tradisional, guru duduk di atas bantal membelakangi dinding
atau pilar. Para siswa duduk dalam setengah lingkaran di sekitar guru, sesuai
peringkat pengetahuannya. Pada awal Islam, para guru di halaqa termasuk laki-laki dan perempuan. Situs pertama untuk
kalangan belajar berada di masjid (masjid). Guru terkenal dikaitkan dengan kota
dan masjid tertentu, dan biasanya juga untuk nama pilar bagi ulama terkenal
yang duduk di sana. Lingkaran belajar juga diadakan di lembaga lain dan rumah.
Siswa melakukan perjalanan untuk duduk dalam lingkaran seorang sarjana
terkenal. Tradisi merekam pemaparan
pengajar berkembang menjadi pengajaran yang lebih sistematis. Metode yang dilakukan para guru dalam mengampu
mata pelajaran, memungkinkan siswa mereka untuk mengajukan pertanyaan dan
menguji pengetahuan mereka. Kesuksesan belajar
dihargai dengan surat, atau sertifikat belajar (ijazah). Tradisi halaqa formal dan informal
berlanjut sampai hari ini dalam kebudayan Muslim.
Meski belum terstruktur, kelompok belajar yang disebut halaqa ini pada akhirnya berkembang
menjadi lembaga formal. Pada mulanya seorang guru menjadi syaikh secara alami. Pada tahap selanjutnya dengan persiapan formal
seorang syaikh halaqa dapat diangkat
menjadi pengurus masjid. Pada akhirnya, syaikh halaqa berkembang menjadi penafsir yang menetapkan hukum
sebagaimana termaktub dalam al Qur`an dan hadits. Pada tahap selanjutnya para
ulama secara khusus diangkat menjadi guru agama dan memimpin berbagai halaqa sehingga sejarah lembaga
pendidikan tinggi berikutnya berawal pada terbentuknya berbagai halaqa lainnya di berbagai masjid.
Di dalam format pendidikan masjid berupa halaqa tersebut terdapat beberapa subjek
pengajar yang masing-masing secara hirarkis memiliki tugas dan fungsi yang
berbeda dan saling mendukung, yaitu : 1. Syaikh
yang berarti guru utama yang juga disebut mudarris
dan bertugas menjadi imam masjid pemimpin shalat jama’ah, khotib shalat
jum’at, pengajar dan administrator dalam proses pendidikan masjid, 2. Na`ib, sebagai asisten syaikh yang sewaktu-waktu menggantikan syaikh dalam mengajar jika syaikh berhalangan atau menunjuknya
untuk mengajar, 3. Mu’id, sebagai
juru ulang (repetitor) materi-materi yang telah diajarkan oleh syaikh atau mudarris kepada santri atau murid yang tidak sempat mengikuti
pertemuan belajar, dan 4. Mufid, sebagai
tutor yang bertugas membantu murid-murid yang lebih muda atau pemula tetapi
belum dianggap mampu mengulang ceramah mudarris
seperti halnya mu’id.
Dalam halaqa yang
diselenggarakan di masjid siapapun bisa bergabung baik statusnya sebagai murid
yang terdaftar ataupun sekedar pengunjung yang berminat mengikuti kajian.
Mereka yang menjadi murid pada halaqa tersebut
diberi tugas untuk melakukan pembacaan terhadap sumber-sumber keilmuan
penunjang agar tidak mengalami kesulitan dalam memahami uraian mudarris ketika proses kajian
berlangsung, juga dituntut untuk berkonsentrasi secara sungguh-sungguh.
Kegiatan diskusi aktif pun diintensifkan untuk menggali lebih dalam untuk menangkap
wawasan lebih luas tentang ajaran Islam.
Kadang-kadang dalam satu masjid terdapat beberapa halaqa dengan mudarris yang
masing-masing mengajara satu ilmu, seperti ilmu tafsir, fiqih, tarikh dan
sebagainya. Di masjid Amr ibn ‘Ash (13 H), misalnya, yang mula-mula diajarkan
di masjid ini ialah pelajaran agama dan budi pekerti. Kemudian secara
berangsur-angsur ditambahkan beberapa mata pelajaran. Pada waktu imam Syafi’i
datang ke masjid ini untuk menjadi guru pada tahun 182 H, ia melihat sudah ada
delapan buah halaqa yang penuh dengan
pelajar. Pada masa Umayyah terdapat masjid sebagai pusat ilmu yakni Cordoba,
masjid ash- Shahra, masjid Damaskus, dan masjid Qairawan. Pada masa Abbasiyyah,
terdapat juga masjid sebagai pusat ilmu, periode pertama 132-232 H (750-847 M),
yakni masjid Basrah, yang didalamnya terdapat halaqa al- Fadh, halaqa al Fiqh, halaqa al- tafsir wa al hadits, halaqa
al- Riyadiyyah, halaqa al Sirr wa al- Adab (belum ada madrasah/sekolah).
Beberapa data historis di atas hanyalah menggambarkan
sedikit dari puluhan ribu masjid yang secara faktual telah menyelenggarakan
proses pendidikan Islam dengan ragam disiplin keilmuan Islam dan memberikan
sumbangan penting bagi proses transmisi keilmuan dari periode ke periode.
Pemilahan materi ajar pun belum dilakukan secara sistematis dan terstruktur
yang pada perkembangan selanjutnya pembakuan kurikulum terstruktur tersebut
dilakukan pada lembaga pendidikan Islam yang formal yaitu : madrasah.
Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
merupakan fase terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam yang
mengubah secara signifikan format penyelenggaraan pendidikan Islam menjadi
lebih sistematis dan terstruktur. Format halaqa
yang semula digunakan dalam kajian-kajian keilmuan Islam bergeser ke
lembaga baru bernama madrasah yang menggunakan sistem kelas dalam praktek
pengajaran dan pembelajarannya.
Faktor
yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai pengganti fungsi pendidikan masjid
adalah kenyataan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan telah melahirkan kelompok
intelektual baru, tentunya memajukan dan mengembangkan lembaga pendidikan
seperti madrasah merupakan usaha untuk menyediakan lahan baru bagi mereka.
C. MASJID DAN PEMERINTAHAN
Pada
masa perkembangan Islam di Madinah, kegiatan umat muslim terpusat di masjid.
Seperti yang telah dipaparkan, masjid menjadi sarana tempat berdiskusi,
bertukar pikiran, menyampaikan wahyu, serta pengkajian Aqidah. Selain itu semua
kegiatan kepemerintahan Islam juga dilakukan di Masjid. Rasulullah SAW
menjadikan masjid sebagai tempat gedung parlemen tempat mengatur segala urusan
kepemerintahan. Para sahabat dari berbagai kabilah berkumpul dalam satu majlis
yang bertempat di masjid nabawi untuk berdiskusi, bertukar pikiran atau hanya
untuk berkumpul bersama Rasulullah.
Namun
fungsi masjid sebagai pusat peradaban pada masa Rasulullah ini lambat laun
bergeser dengan berdirinya Istana sebagai pusat pemerintah. Semua urusan
keduniawian berangsur-angsur bergeser ke istana. Pada saat itu, peran masjid
hanya untuk ibadah semata.
Hal
yang sama juga terjadi di Indonesia, khususnya pada era kerajaan Islam Jawa.
Lokasi masjid sebagai tempat ibadah terpisah dari istana. Istana dilambangkan
sebagai pusat peradaban manusia dijadikan sebagai pusat pemerintahan .
Sedangkan masjid, adalah bagian dari unsur ketuhanan yang hanya digunakan untuk
kegiatan ibadah mahdhoh seperti
shalat dan dzikir saja.
D. MASJID DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Masjid sebagai sentral
kegiatan umat muslim tidak akan lepas oleh kegiatan ekonomi. Sebuah peradaban
akan dianggap berhasil jika ia dapat menghasilkan stabilitas ekonomi pada
masyarakatnya. Oleh karena itu pengelolaan masjid masa kini harus mampu
mengembalikan peranan masjid dalam mengatasi keterbelakangan umat, khususnya
menanggulangi kemiskinan dan kebodohan. Seperti lembaga Baitul Mal pada zaman Rasulullah yang berfungsi mengatur urusan perputaran
zakat dan infaq dan penyalurannya kepada faqir miskin.
Masjid seharusnya bisa
berperan dalam mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan zakat. Tak hanya zakat
fitrah saja yang harus dikelola oleh masjid, namun juga zakat penghasilan,
pertanian, perniagaan dan perusahaan.
Di
sisi lain, perlu adanya edukasi kepada masyarakat bahwa membayar zakat bisa
dilakukan kapan saja, tak harus di bulan Ramadhan. Zakat yang berkaitan dengan
bulan Ramadhan hanya zakat fitrah saja. “Zakat-zakat yang lain tidak ada kaitannya
dengan bulan Ramadhan, kecuali kalau misalkan haul-nya masa
perputaran tahunnya memang jatuh pada bulan Ramadhan. Zakat perniagaan apabila
dia sudah berputar satu tahun dianggapnya dia harus mengeluarkan zakat, tidak
harus menunggu pada bulan Ramadhan. Zakat pertanian itu kalau di panen harus
dikeluarkan zakatnya. Andaikata panennya tiap bulan ya harus mengeluarkan zakat
tiap bulan. Begitu aturannya,” ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof
KH Ali Mustafa Yaqub, yang juga seorang pakar hadits. (Republika, Jum’at, 3
September 2010).
Edukasi tentang zakat
dapat dijelaskan takmir masjid saat sholat Jumat atau acara pengajian rutin.
Masjid dapat memanfaatkan media massa dan teknologi informasi sebagai media
informasi kepada masyarakat. Yang lebih utama, masjid harus mampu mengelola dan
memberdayakan dana zakat tersebut. Penyaluran zakat harus diupayakan tidak
bersifat konsumtif yang habis pada waktu itu saja. Jadi, harus diupayakan dana
zakat yang diberikan itu berupa pemberian modal kerja, pelayanan kesehatan,
program pendidikan, bahkan layanan jenazah gratis bagi kaum dhuafa.
Masjid merupakan lembaga
pendidikan Islam yang murni lahir
dari umat Islam sendiri yang pada masa
awal menjadi institusi sentral dan menjadi basis utama sebagai tempat ibadah,
pendidikan, pemerintahan sosial dan peran-peran lain yang berhubungan langsung
dengan persoalan-persoalan keumatan.
Berbagai fungsi Masjid yang bisa
disimpulkan dari pemaparan diatas antara lain :
1. Masjid sebagai pusat peribadatan (Fungsi
Keagamaan)
2. Masjid sebagai pusat pemerintahan dan
peradaban
3. Masjid sebagai pusat persaudaraan
(Ukhuwah Islamiyah)
4. Masjid sebagai pusat pendidikan
5. Masjid sebagai pengumpulan dana (Baitul
Mal)
6. Masjid sebagai simbol persamaan
Pola baku pendidikan pada
masjid adalah berupa halaqa
(lingkaran studi) yang menyelenggarakan kajian-kajian ilmu-ilmu keislaman
seperti al Qur`an, hadits, fiqih, tafsir, ilmu bahasa dan lain sebagainya
dengan tokoh guru utama yang disebut syaikh
atau mudarris dibantu oleh na`ib, mu`id dan mufid. Masa itu masjid seakan menjadi lembaga pendidikan primadona
yang sangat diminati oleh para pencari ilmu dari berbagai daerah. Keahlian dan
nama besar syaikh sendiri sebagai
pemimpin halaqa menjadi magnet
tersendiri yang menentukan apakah halaqa-halaqa
tersebut memiliki banyak pengikut ataukah sedikit.
Namun seiring perkembangan zaman dan
merunyaknya tuntutan kehidupan masyarakat muslim yang kompleks posisi masjid
sebagai lembaga pendidikan Islam terganti oleh lembaga pendidikan Islam lain
(madrasah) yang muncul kemudian. Sedangkan Fungsi
kepemerintahan masjid tergantikan dengan berdirinya Istana.
Meskipun demikian optimalisasi
fungsi-fungsi masjid sampai saat ini masih terus dilakukan umat Islam terutama
masjid-masjid kota. Tak jarang ditemukan masjid-masjid kota tak hanya diperuntukan sebagai
sarana tempat ibadah tetapi pula dilengkapi fasilitas perpustakaan, ruang
administrasi, ruang belajar baca tulis al Qur`an.
Bahkan pada masjid-masjid tertentu dijadikan sebagai obyek
wisata religi yang ramai dikunjungi karena keindahan dan kemegahan arsitektur
masjid tersebu, seperti masjid Istiqlal di Jakarta yang diklaim sebagai masjid
terbesar di Asia Tenggara, masjid Dian al Mahri di Depok yang terkenal dengan
sebutan Masjid Kubah Emas, masjid Agung Semarang yang memiliki payung elektrik
seperti masjid Nabawi Madinah dan sebagainya.
Salah satu komponen penting dalam
pengembangan masjid adalah Remaja Masjid. Remaja masjid menjadi penting untuk
menghidupkan masjid karena sifat dasar dari remaja dan pemuda itu sendiri yaitu
penuh ide kreatifitas dan inovasi. Sehingga kegiatan masjid akan lebih beraneka
dan tidak monoton serta mampu menarik jama’ah dari kalangan muda. Yang tidak
kalah penting adalah tujuan untuk kaderisasi, generasi muda yang cinta masjid
kelak akan menjadi penerus sebagai pengurus masjid. Tidak hanya menjadi
pengurus masjid, optimalisasi masjid untuk menghasilkan generasi cinta masjid
diharapkan mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang cinta masjid, seperti
halnya sahabat-sahabat Rasulullah SAW.
Daftar Pustaka
________,
Masjid Dalam Perspektif Sejarah
Intelektual Pendidikan Islam.
https://www.academia.edu/attachments/ 31259586/download_file. Diunduh pada 24 Desember 2013.
JK:
Jadikan Masjid Sebagai Solusi Permasalahan Umat
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/11/10/JK-Jadikan-Masjid-Sebagai-Solusi-Permasalahan-Umat. Diakses pada 21 Desember 2013.
Agama
Bab 15 : Paradigma Baru Fungsi dan Peran Masjid
http://niswiulfini.blogspot.com/2013/07/Agama-Bab-15-Paradigma-Baru-Fungsi-dan-Peran-Masjid.html. Diakses pada 21 Desember 2013.
Kristono,
Anton, Optimalisasi Peran Masjid Sebagai Pusat Pemberdayaan Umat.
http://blog.kompasiana.com/2011/10/Optimalisasi-Peran-Masjid-Sebagai
Pusat-Pemberdayaan-Umat. Diakses pada 21 Desember 2013.
Taufik, Ahmad, dkk. 2013. Pendidikan Agama Islam.
Surakarta: Yumna Pustaka.
[1] Istilah masyarakat madani dipopulerkan oleh Nurcholis
Madjid yang memiliki makna masyarakat kota yang memiliki perangai dinamis,
sibuk, berfikir logis, berpola hidup praktis, berwawasan luas, dan mencari-cari
terobosan baru demi memperoleh kehidupan yang sejahtera. Perangai tersebut
didukung dengan mental akhlak karimah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar