Selasa, 26 Mei 2015

Membangun Peradaban dari Masjid

Oleh :
Ketua Pimpinan Daerah HIMA PERSIS Garut
(Sunarya,S.Pd.i, alumnus Kampus Bening STAIPI Garut)

            Masjid  adalah  simbol  keislaman.  Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam, karena masjid merupakan bentuk ketundukan umat kepada Allah swt. Kata masjid terulang 28 kali dalam Alquran dalam berbagai bentuk. Secara bahasa masjid berasal dari kata sajada-yasjudu-sujudan yang secara etimologis beraarti patuh; taat; tunduk dengan penuh hormat. Meletakkan dahi, kedua  tangan,  lutut, dan  kaki  ke  bumi, atau bersujud adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari makna-makna tersebut. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk shalat dinamai masjid, “tempat bersujud”.
Dalam  pengertian  sehari-hari,  masjid merupakan  bangunan  tempat  shalat  kaum Muslim. Tapi karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid menjadi  tempat  melakukan  segala  aktivitas  yang mengandung kepatuhan kepada Allah swt. Alquran menegaskan: “ Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah sesuatu didalamnya selain Allah.” (QS. Jinn {72} : 18). Rasulullah saw. bersabda:“Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan  sarana  penyucian  diri”.  (HR  Bukhari  dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah)
Masjid bukan sekadar tempat sujud dan sarana penyucian atau bertayamum (wudhu dengan debu suci). Masjid adalah tempat  Muslim  bertolak,  sekaligus  pelabuhan tempatnya  bersauh  dalam  ketaatan  kepada Allah swt. Umat muslim harus bisa memaksimalkan keberadaan masjid sebagai  pusat  aktivitas  yang  menawarkan kegiatan-kegiatan alternatif dalam berdakwah. Contoh yang telah ada adalah kegiatan berdakwah melalui media televisi komunitas atau radio komunitas, seperti TV komunitas Masjid Jogokarian  di  Yogyakarta  (MJTV)  dan  PAL TV di Masjid Sadzudarain di Palmerah Jakarta.
            Masjid memiliki peran sangat penting bagi masyarakat muslim sejak periode nabi Muhammad Saw. dan sejak masa awal eksistensi masyarakat muslim di Madinah. Ketika hijrahnya dari Makkah ke Madinah, beliau membangun masjid sebagai upaya konkret yang pertama bagi peradaban Islam. Sejak periode penting ini masjid yang ia bangun dipandang sebagai pusat utama bagi beragam aktifitas masyarakat muslim. Dengan kata lain masjid menjadi pusat komunitas dan naungan bagi segala bentuk program dan aktifitas sosial dan pendidikan masyarakat muslim.
Menurut Jusuf Kalla, sebgaimana dikutip oleh republika, manajemen masjid ke depan musti dimakmurkan dan kemakmuran umat. Sehingga kehadiran masjid sebagai pusat kegiatan masyarakat, memakmurkan kegiatan ubudiyah, menjadikan masjid sebagai tempat rekreasi rohani jamaah, menjadikan masjid untuk merujuk persoalan umat, dan menjadikan masjid sebagai pesantren serta kampus masyarakat.
''Fungsi masjid tak sekadar tempat ibadah salat (ubudiyah). Urusan muamalah, seperti, sosial, ekonomi, kesehatan, kemasyarakatan, pun bisa dipecahkan dari masjid,'' kata Jusuf Kalla ketika tampil sebagai pembicara Manajemen Masjid (Republika, 10 November 2013)
Penjelasan di atas menggambarkan betapa masjid pada awal sejarah penyebaran Islam memiliki peran penting dan menjadi basis utama bagi segala aktifitas umat muslim dalam proses pengembangan ajaran-ajaran Islam dan berfungsi secara aktif dalam pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Masjid pada periode tersebut tak hanya menjadi tempat suci untuk pelaksanaan ibadah-ibadah yang bersifat mahdhah seperti shalat, berdzikir dan membaca al Qur’an tetapi berfungsi secara lebih luas dan beragam. Quraish Shihab bahkan mencatat beberapa peranan strategis yang dimiliki masjid nabawi, antara lain : sebagai tempat ibadah (shalat, zikir), tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya), tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan tahanan, dan pusat penerangan atau pembelaan agama.

A.    MASJID DALAM MASA PERIOE AWAL ISLAM
Pada periode awal Islam yaitu pada masa Rasulullah Saw. masjid memiliki peran signifikan dan strategis baik ketika di Makkah atau di Madinah. Di Makkah, masjid al Haram menjadi tempat sosialisasi wahyu dari Allah secara terbuka sehingga mengundang reaksi keras dari golongan musyrikin Quraisy seperti dialami oleh Abdullah ibn Mas’ud. Demikian pula sewaktu nabi singgah di Quba dalam perjalanannya ke Yatsrib, selama 4 (empat) hari beliau mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun oleh nabi pada tahun ke- 13 kenabiannya atau tahun ke- 1 hijriah (28 Juni 622 M). Masjid Quba ini merupakan tempat peribadatan umat Islam pertama yang kemudian menjadi model atau pola dasar bagi umat Islam dalam membangun masjid-masjid di kemudian hari. Masjid Quba disamping sebagai tempat peribadatan yang menjadi fungsi utamanya, juga sebagai tempat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Untuk itu, Rasulullah menempatkan Mu’adz ibn Jabal sebagai imam sekaligus guru agama di majid Quba ini. Selain itu, Rasulullah sendiri kerap berkunjung ke masjid ini, baik dengan mengendarai unta ataupu berjalan kaki, dan menunaikan shalat.
Kemudian setibanya di Yatsrib, langkah pertama yang dilakukan Rasulullah Saw. adalah membangun masjid yang sangat sederhana, berukuran 35 x 30 m2. Dengan berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang dikeringkan, tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya. Masjid ini kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Nabawi. Di sebelah timur masjid, dibangun tempat tinggal Rasulullah yang tentunya lebih sederhana lagi dari masjid, dan di sebelah barat dibangun sebuah ruangan khusus untuk orang-orang miskin muhajirin, yang kemudian dikenal dengan sebutan al shuffah.
Di Masjid Nabawi inilah, seperti dijelaskan Quraish Shihab, fungsi-fungsi penting yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim pada masa itu dijalankan dengan baik karena Rasulullah sendiri yang secara langsung memimpin pemberdayaan masjid sebagai tempat dan basis utama mengelola masyarakat muslim dengan sebaik-baiknya yang di kemudian hari melahirkan sebuah masyarakat ideal yang disebut masyarakat madani.[1]
Selain dari dua masjid di atas, Rasulullah dan para sahabat juga membangun dan memperhatikan beberapa masjid dalam waktu yang berbeda antara lain : masjid Qiblatain, masjid Salman, masjid Sayyidina Ali, masjid Ijabah, masjid Raya, masjid Suqiya, masjid Fadikh, masjid Bani Quraizhah, Masjid Afr dan masjid al Aqsha yang notebene masjid tertua kedua setelah masjid al haram di Makkah.
Pada masa Khulafa al Rasyidin juga dibangun beberapa masjid baru di wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai. Di Bayt al Maqdis, misalnya, khalifah Umar ibn Khattab membangun sebuah masjid yang berbentuk lingkaran (segi delapan), dindingnya terbuat dari tanah liat, tanpa atap, tepatnya di atas bukit Muriah. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama masjid Umar. Di Kufah pada tahun 17 H Sa’ad ibn Abi Waqqash, sebagai panglima perang, membangun sebuah masjid dengan bahan-bahan bangunan dari Persia lama dari Hirah dan selesai dibangun pada tahun 18 H. Masjid ini sudah memiliki mihrab dan menara. Di kota Basrah, pada tahun 14 H juga dibangun sebuah masjid oleh ‘Utbah ibn Ghazwan. Di Madain, pada tahun 16 H. Sa’ad ibn Abi Waqqash menjadikan sebuah gedung sebagai masjid. Di Damaskus, pada tahun 14 H. gereja St. John dibagi dua, sebagian (sebelah timur) menjadi milik muslim dan dibuat sebagai masjid oleh Abu Ubaidah ibn Jarrah. Di Fustat, Mesir, pada tahun 21 H. Amr ibn ‘Ash, ketika menjadi panglima perang untuk menaklukan daerah tersebut membangun  masjid al ‘Atiq. Secara fisik masjid tersebut sudah berkembang lebih maju dibandingkan masjid-masjid lain yang telah ada.

B.     MASJID DAN PENDIDIKAN

Pada masa nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq masjid masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa ada pemisahan yang jelas antara keduanya hingga masa Amirul Mukminin, Umar ibn Khattab. Pada masanya, di samping atau di beberapa sudut masjid dibangun kuttab-kuttab untuk tempat belajar anak-anak. Kuttab atau maktab “berasal dari kata dasar ‘kataba’ yang artinya menulis atau tempat menulis, jadi kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam kuttab telah ada di negeri arab meskipun belum banyak dikenal oleh masyarakat”. Ahmad Syalabi menulis bahwa “kuttab adalah tempat memberi pelajaran menulis, dimana tempat belajar membaca dan menulis ini teruntuk bagi anak-anak”.
Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari Jum’at adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat Jum’at. Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar diliburkan pada waktu dzuhur hari kamis, agar mereka bersiap-siap menghadapi hari Jum’at. Usul ini kemudian menjadi tradisi hingga sekarang.Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid menyelenggarakan kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan model pembelajaran yang memiliki bentuk atau format tersendiri yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim pada masa itu yang pada masa-masa berikutnya terus mengalami inovasi dan pembaruan. Hasil inovasi dan pembaruan tersebut sebagai konsekwensi dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan dan peningkatan.        
      Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat ‘atau singkatnya: Halaqa. Halaqa, dieja Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang didefinisikan sebagai ‘pertemuan orang yang duduk membentuk lingkaran.
Lingkaran (halaqa) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam, sejak masa Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para pengikutnya baik pria maupun wanita. Dalam halaqa tradisional, guru duduk di atas bantal membelakangi dinding atau pilar. Para siswa duduk dalam setengah lingkaran di sekitar guru, sesuai peringkat pengetahuannya. Pada awal Islam, para guru di halaqa termasuk laki-laki dan perempuan. Situs pertama untuk kalangan belajar berada di masjid (masjid). Guru terkenal dikaitkan dengan kota dan masjid tertentu, dan biasanya juga untuk nama pilar bagi ulama terkenal yang duduk di sana. Lingkaran belajar juga diadakan di lembaga lain dan rumah. Siswa melakukan perjalanan untuk duduk dalam lingkaran seorang sarjana terkenal. Tradisi merekam pemaparan pengajar berkembang menjadi pengajaran yang lebih sistematis. Metode yang dilakukan para guru dalam mengampu mata pelajaran, memungkinkan siswa mereka untuk mengajukan pertanyaan dan menguji pengetahuan mereka. Kesuksesan belajar dihargai dengan surat, atau sertifikat belajar (ijazah). Tradisi halaqa formal dan informal berlanjut sampai hari ini dalam kebudayan Muslim.
Meski belum terstruktur, kelompok belajar yang disebut halaqa ini pada akhirnya berkembang menjadi lembaga formal. Pada mulanya seorang guru menjadi syaikh secara alami. Pada tahap selanjutnya dengan persiapan formal seorang syaikh halaqa dapat diangkat menjadi pengurus masjid. Pada akhirnya, syaikh halaqa berkembang menjadi penafsir yang menetapkan hukum sebagaimana termaktub dalam al Qur`an dan hadits. Pada tahap selanjutnya para ulama secara khusus diangkat menjadi guru agama dan memimpin berbagai halaqa sehingga sejarah lembaga pendidikan tinggi berikutnya berawal pada terbentuknya berbagai halaqa lainnya di berbagai masjid.
Di dalam format pendidikan masjid berupa halaqa tersebut terdapat beberapa subjek pengajar yang masing-masing secara hirarkis memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dan saling mendukung, yaitu : 1. Syaikh yang berarti guru utama yang juga disebut mudarris dan bertugas menjadi imam masjid pemimpin shalat jama’ah, khotib shalat jum’at, pengajar dan administrator dalam proses pendidikan masjid, 2. Na`ib, sebagai asisten syaikh yang sewaktu-waktu menggantikan syaikh dalam mengajar  jika syaikh berhalangan atau menunjuknya untuk mengajar, 3. Mu’id, sebagai juru ulang (repetitor) materi-materi yang telah diajarkan oleh syaikh atau mudarris kepada santri atau murid yang tidak sempat mengikuti pertemuan belajar, dan 4. Mufid, sebagai tutor yang bertugas membantu murid-murid yang lebih muda atau pemula tetapi belum dianggap mampu mengulang ceramah mudarris seperti halnya mu’id.
Dalam halaqa yang diselenggarakan di masjid siapapun bisa bergabung baik statusnya sebagai murid yang terdaftar ataupun sekedar pengunjung yang berminat mengikuti kajian. Mereka yang menjadi murid pada halaqa tersebut diberi tugas untuk melakukan pembacaan terhadap sumber-sumber keilmuan penunjang agar tidak mengalami kesulitan dalam memahami uraian mudarris ketika proses kajian berlangsung, juga dituntut untuk berkonsentrasi secara sungguh-sungguh. Kegiatan diskusi aktif pun diintensifkan untuk menggali lebih dalam untuk menangkap wawasan lebih luas tentang ajaran Islam.
Kadang-kadang dalam satu masjid terdapat beberapa halaqa dengan mudarris yang masing-masing mengajara satu ilmu, seperti ilmu tafsir, fiqih, tarikh dan sebagainya. Di masjid Amr ibn ‘Ash (13 H), misalnya, yang mula-mula diajarkan di masjid ini ialah pelajaran agama dan budi pekerti. Kemudian secara berangsur-angsur ditambahkan beberapa mata pelajaran. Pada waktu imam Syafi’i datang ke masjid ini untuk menjadi guru pada tahun 182 H, ia melihat sudah ada delapan buah halaqa yang penuh dengan pelajar. Pada masa Umayyah terdapat masjid sebagai pusat ilmu yakni Cordoba, masjid ash- Shahra, masjid Damaskus, dan masjid Qairawan. Pada masa Abbasiyyah, terdapat juga masjid sebagai pusat ilmu, periode pertama 132-232 H (750-847 M), yakni masjid Basrah, yang didalamnya terdapat halaqa al- Fadh, halaqa al Fiqh, halaqa al- tafsir wa al hadits, halaqa al- Riyadiyyah, halaqa al Sirr wa al- Adab (belum ada madrasah/sekolah).
Beberapa data historis di atas hanyalah menggambarkan sedikit dari puluhan ribu masjid yang secara faktual telah menyelenggarakan proses pendidikan Islam dengan ragam disiplin keilmuan Islam dan memberikan sumbangan penting bagi proses transmisi keilmuan dari periode ke periode. Pemilahan materi ajar pun belum dilakukan secara sistematis dan terstruktur yang pada perkembangan selanjutnya pembakuan kurikulum terstruktur tersebut dilakukan pada lembaga pendidikan Islam yang formal yaitu : madrasah.
Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan fase terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam yang mengubah secara signifikan format penyelenggaraan pendidikan Islam menjadi lebih sistematis dan terstruktur. Format halaqa yang semula digunakan dalam kajian-kajian keilmuan Islam bergeser ke lembaga baru bernama madrasah yang menggunakan sistem kelas dalam praktek pengajaran dan pembelajarannya.
Faktor yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai pengganti fungsi pendidikan masjid adalah kenyataan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan telah melahirkan kelompok intelektual baru, tentunya memajukan dan mengembangkan lembaga pendidikan seperti madrasah merupakan usaha untuk menyediakan lahan baru bagi mereka.



C.     MASJID DAN PEMERINTAHAN
Pada masa perkembangan Islam di Madinah, kegiatan umat muslim terpusat di masjid. Seperti yang telah dipaparkan, masjid menjadi sarana tempat berdiskusi, bertukar pikiran, menyampaikan wahyu, serta pengkajian Aqidah. Selain itu semua kegiatan kepemerintahan Islam juga dilakukan di Masjid. Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat gedung parlemen tempat mengatur segala urusan kepemerintahan. Para sahabat dari berbagai kabilah berkumpul dalam satu majlis yang bertempat di masjid nabawi untuk berdiskusi, bertukar pikiran atau hanya untuk berkumpul bersama Rasulullah.
Namun fungsi masjid sebagai pusat peradaban pada masa Rasulullah ini lambat laun bergeser dengan berdirinya Istana sebagai pusat pemerintah. Semua urusan keduniawian berangsur-angsur bergeser ke istana. Pada saat itu, peran masjid hanya untuk ibadah semata.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, khususnya pada era kerajaan Islam Jawa. Lokasi masjid sebagai tempat ibadah terpisah dari istana. Istana dilambangkan sebagai pusat peradaban manusia dijadikan sebagai pusat pemerintahan . Sedangkan masjid, adalah bagian dari unsur ketuhanan yang hanya digunakan untuk kegiatan ibadah mahdhoh seperti shalat dan dzikir saja.

D.    MASJID DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Masjid sebagai sentral kegiatan umat muslim tidak akan lepas oleh kegiatan ekonomi. Sebuah peradaban akan dianggap berhasil jika ia dapat menghasilkan stabilitas ekonomi pada masyarakatnya. Oleh karena itu pengelolaan masjid masa kini harus mampu mengembalikan peranan masjid dalam mengatasi keterbelakangan umat, khususnya menanggulangi kemiskinan dan kebodohan. Seperti lembaga Baitul Mal pada zaman Rasulullah yang berfungsi mengatur urusan perputaran zakat dan infaq dan penyalurannya kepada faqir miskin.
Masjid seharusnya bisa berperan dalam mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan zakat. Tak hanya zakat fitrah saja yang harus dikelola oleh masjid, namun juga zakat penghasilan, pertanian, perniagaan dan perusahaan.
Di sisi lain, perlu adanya edukasi kepada masyarakat bahwa membayar zakat bisa dilakukan kapan saja, tak harus di bulan Ramadhan. Zakat yang berkaitan dengan bulan Ramadhan hanya zakat fitrah saja. “Zakat-zakat yang lain tidak ada kaitannya dengan bulan Ramadhan, kecuali kalau misalkan haul-nya masa perputaran tahunnya memang jatuh pada bulan Ramadhan. Zakat perniagaan apabila dia sudah berputar satu tahun dianggapnya dia harus mengeluarkan zakat, tidak harus menunggu pada bulan Ramadhan. Zakat pertanian itu kalau di panen harus dikeluarkan zakatnya. Andaikata panennya tiap bulan ya harus mengeluarkan zakat tiap bulan. Begitu aturannya,” ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof KH Ali Mustafa Yaqub, yang juga seorang pakar hadits. (Republika, Jum’at, 3 September 2010).
Edukasi tentang zakat dapat dijelaskan takmir masjid saat sholat Jumat atau acara pengajian rutin. Masjid dapat memanfaatkan media massa dan teknologi informasi sebagai media informasi kepada masyarakat. Yang lebih utama, masjid harus mampu mengelola dan memberdayakan dana zakat tersebut. Penyaluran zakat harus diupayakan tidak bersifat konsumtif yang habis pada waktu itu saja. Jadi, harus diupayakan dana zakat yang diberikan itu berupa pemberian modal kerja, pelayanan kesehatan, program pendidikan, bahkan layanan jenazah gratis bagi kaum dhuafa.


Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang murni lahir dari  umat Islam sendiri yang pada masa awal menjadi institusi sentral dan menjadi basis utama sebagai tempat ibadah, pendidikan, pemerintahan sosial dan peran-peran lain yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan keumatan.
Berbagai fungsi Masjid yang bisa disimpulkan dari pemaparan diatas antara lain :
1.      Masjid sebagai pusat peribadatan (Fungsi Keagamaan)
2.      Masjid sebagai pusat pemerintahan dan peradaban
3.      Masjid sebagai pusat persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah)
4.      Masjid sebagai pusat pendidikan
5.      Masjid sebagai pengumpulan dana (Baitul Mal)
6.      Masjid sebagai simbol persamaan

Pola baku pendidikan pada masjid adalah berupa halaqa (lingkaran studi) yang menyelenggarakan kajian-kajian ilmu-ilmu keislaman seperti al Qur`an, hadits, fiqih, tafsir, ilmu bahasa dan lain sebagainya dengan tokoh guru utama yang disebut syaikh atau mudarris dibantu oleh na`ib, mu`id dan mufid. Masa itu masjid seakan menjadi lembaga pendidikan primadona yang sangat diminati oleh para pencari ilmu dari berbagai daerah. Keahlian dan nama besar syaikh sendiri sebagai pemimpin halaqa menjadi magnet tersendiri yang menentukan apakah halaqa-halaqa tersebut memiliki banyak pengikut ataukah sedikit.
 Namun seiring perkembangan zaman dan merunyaknya tuntutan kehidupan masyarakat muslim yang kompleks posisi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam terganti oleh lembaga pendidikan Islam lain (madrasah) yang muncul kemudian. Sedangkan Fungsi kepemerintahan masjid tergantikan dengan berdirinya Istana.
Meskipun demikian optimalisasi fungsi-fungsi masjid sampai saat ini masih terus dilakukan umat Islam terutama masjid-masjid kota. Tak jarang ditemukan masjid-masjid kota tak hanya diperuntukan sebagai sarana tempat ibadah tetapi pula dilengkapi fasilitas perpustakaan, ruang administrasi, ruang belajar baca tulis al Qur`an. Bahkan pada masjid-masjid tertentu dijadikan sebagai obyek wisata religi yang ramai dikunjungi karena keindahan dan kemegahan arsitektur masjid tersebu, seperti masjid Istiqlal di Jakarta yang diklaim sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara, masjid Dian al Mahri di Depok yang terkenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas, masjid Agung Semarang yang memiliki payung elektrik seperti masjid Nabawi Madinah dan sebagainya.
Salah satu komponen penting dalam pengembangan masjid adalah Remaja Masjid. Remaja masjid menjadi penting untuk menghidupkan masjid karena sifat dasar dari remaja dan pemuda itu sendiri yaitu penuh ide kreatifitas dan inovasi. Sehingga kegiatan masjid akan lebih beraneka dan tidak monoton serta mampu menarik jama’ah dari kalangan muda. Yang tidak kalah penting adalah tujuan untuk kaderisasi, generasi muda yang cinta masjid kelak akan menjadi penerus sebagai pengurus masjid. Tidak hanya menjadi pengurus masjid, optimalisasi masjid untuk menghasilkan generasi cinta masjid diharapkan mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang cinta masjid, seperti halnya sahabat-sahabat Rasulullah SAW.


Daftar Pustaka

________, Masjid Dalam Perspektif Sejarah Intelektual Pendidikan Islam.
https://www.academia.edu/attachments/ 31259586/download_file. Diunduh pada 24 Desember 2013.

JK: Jadikan Masjid Sebagai Solusi Permasalahan Umat
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/11/10/JK-Jadikan-Masjid-Sebagai-Solusi-Permasalahan-Umat. Diakses pada 21 Desember 2013.

Agama Bab 15 : Paradigma Baru Fungsi dan Peran Masjid

Kristono, Anton, Optimalisasi Peran Masjid Sebagai Pusat Pemberdayaan Umat.
http://blog.kompasiana.com/2011/10/Optimalisasi-Peran-Masjid-Sebagai Pusat-Pemberdayaan-Umat. Diakses pada 21 Desember 2013.

Taufik, Ahmad, dkk. 2013. Pendidikan Agama Islam. Surakarta: Yumna Pustaka.




[1]  Istilah masyarakat madani dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid yang memiliki makna masyarakat kota yang memiliki perangai dinamis, sibuk, berfikir logis, berpola hidup praktis, berwawasan luas, dan mencari-cari terobosan baru demi memperoleh kehidupan yang sejahtera. Perangai tersebut didukung dengan mental akhlak karimah.

Tidak ada komentar: