Oleh :
Bidang Sosial Ekonomi Pimpinan Daerah HIMA PERSIS Garut
(Ismail Wafa Amarullah)
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di muka
bumi ini.[1]
Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah oleh Allah di muka bumi[2]
karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan. Selain itu, seiring
perkembangan zaman,teori-teori tentang konsep manusiapun hadir dari berbagai
sumber serta para ilmuan yang mempelajari tentang konsep manusia itu sendiri.
oleh karena itu dalam perkembangannya, maka hadirlah istilah-istilah Manusia
sebagai system, adaptif, serta holistic dan berbagi istilah-istilah yang
lainnya oleh karena itu penulis membagi dua, atas penjelasan konsep manusia.
Yaitu ditinjau dari segi pemahan islam dan para ahli psikologi.
Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan karena
selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas.
Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak
pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.[3]
Sikap seseorang biasanya ikut dipengaruhi oleh bagaimana
pandangannya terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Seseorang yang memandang
dirinya sebagai yang berkuasa dan orang lain sebagai yang dikuasai cenderung
bersikap otoriter. Pandangan evolusionisme biologis tentang manusia, bahwa
manusia adalah binatang mamalia yang cerdas, berbeda sekali dengan pandangan
spiritualisme Hindu, bahwa hakekat manusia adalah roh (atman)nya. Kalau
pendidikan atau pembangunan suatu masyarakat di dasarkan kepada pandangan
pertama, yang akan di perhatikan adalah pendidikan, jasmani, dan penalaran.
Kalau pendidikan dan pembangunan itu di dasarkan kepada pandangan
spiritualisme, yang akan diperhatikan tentu hanya pendidikan kerohanian.
Demikianlah seterusnya, perbedaan sikap, orientasi pendidikan dan pembangunan
pada hakekatnya kelanjutan dari bagaimana pandangan yang melaksanakannya
terhadap manusia. Islam juga mengajarkan pandangan tertentu tentang manusia.
Sebelum pandangan Islam ini diuraikan, terlebih dahulu ada baiknya difahami
dulu perbedaan dan kelebihan manusia di banding dengan makhluk lainnya.[4]
1.
Manusia
menurut Islam
Dalam al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia
yaitu insan, basyar dan bani Adam. Kata basyar terambil dari akar kata yang
pada mulanya berarti “penampakan sesuatu yang baik dan indah”. Dari akar kata
yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia disebut basyar karena
kulitnya tampak jelas. Dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain. Al-Qur’an
menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam
bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyah serta
persamaanya dengan manusia seluruhnya, karena Nabi Muhammad SAW diperintahkan
untuk menyampaikan seperti yang terungkap pada al-Qur’an.
“Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang di beri wahyu” (Q.S.
Al-Kahfi, 18 : 110)
Dari sisi lain dapat diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
menggunakan kata basyar dengan mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia
sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Misalnya
Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu
dari sel, kemudian kamu menjadi basyar, kamu bertebaran” (Q.S. Ar- Rum, 30 :
20).
Bertebaran disini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan
seks atau bertebaran karena mencari rizki kedua hal tersebut tidak dilakukan
oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab.
Karena itu Siti Maryam as, mengungkapkan keherananya manakala akan dapat anak
padahal ia tidak pernah disentuh oleh basyar (manusia) yang menggaulinya dengan
berhubungan seks. (Qs Ali Imron, 3 : 47). Begitulah terlihat, penggunaan kata
basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya
mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat). Dan karena itu pula, tugas
khalifah di bebankan kepada basyar (Qs Al Hajr 15 : 28 yang menggunakan
basyar).
Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti
jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandang
al-Qur’an lebih tepat dibanding dengan yang berpendapat bahwa kata insan
terambil dari kata nasiya (lupa, lalai) atau nasa-yanusu (terguncang). Kata
insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya. Jiwa dan raga, psikis dan fisik, manusia yang berbeda antara
seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental)
dan kecerdasan.
Yang jelas sekali kita dapat melihat bahwa al-Qur’an menyebutkan
jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan. Menurut al-Qur’an seluruh
alam raya ini merupakan manifestasi Allah, di dalamnya terdapat tanda-tanda
serta berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’an mendefinisikan dunia
eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiw, dan dengan cara ini
mengingat kita akan pentingnya jiwa manusia itu ungkapan tanda-tanda dan
jiwa-jiwa yang terdapat dalam kepustakaan Islam bersumber dari pertanyaan
sebagai berikut :
“Aku akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Ku dari
yang terbentang di horison ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah
mereka akan kebenaran itu”. (Q.S Fushilat, 41 : 53)
Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena
aktualisasi jiwanya secara positif, sebaliknya berulangkali pula manusia
direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli
alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka
bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai
sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot
menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah” juga karena jiwanya.[5]
2.
Manusia
menurut Psikologi
Manusia sejak semula ada dalam suatu kebersamaan, ia senantiasa
berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah kebersamaan, persahabatan,
lingkungan kerja, rukun warga dan rukun tetangga, dan bentuk-bentuk relasi
sosial lainnya. Dan sebagai partisipan kebersamaan sudah pasti ia mendapat
pengaruh lingkungannya, tetapi sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi dan memberi
corak kepada lingkungan sekitarnya. Manusia dilengkapi antara lain cipta, rasa,
karsa, norma, cita-cita dan nurani sebagai karakteristik kemanusiaannya,
kepadanya diturunkan pula agama agar selain ada relasi dengan sesamanya, juga
ada hubungan degan sang pencipta.[6]
Manusia di bagi atas tiga bagian, diantaranya :
Manusia sebagai system
Manusia sebagai system artinya manusia terdiri dari beberapa unsur.
System yang membentuk suatu totalitas,yakni system adaptif, sis.personal,
sis.interpersonal dan sis.sosial
Manusia sebagai adaftip
Manusia sebagai mahkluk holistik
a. Manusia menurut psikologi Barat
Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah
perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi
ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu
utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Determinan tri-dimentional
organo-biologi, psiko-edukasi dan sosiokultural in dapat dikatakan dianut oleh
semua ahli di dunia psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini untuk ruhani sama
sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan
merupakan penghayatan subjektif semata-mata.
Selain itu psikologi, apapun alirannya menunjukkan bahwa filsafat
manusia yang mendasarinya bercorak anthroposentrisme yang menempatkan manusia
sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama
segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini
menyangkut derajat manusia ke tempat teramat tinggi, ia seakan-akan prima causa
yang unik. Pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan
penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.
Sampai dengan penghujung abad XX ini terdapat empat aliran besar
psikologi :
- Psikoanalisis (psychoanalysis)
- Psikologi perilaku (behavior psychology)
- Psikologi humanistik (humanistic psychology)
- Psikologi transpersonal (transpersonal psychology)
Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan
dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas
tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai
manusia.[7]
Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari 3 kategori : aspek
biologis (struktur ID), psikologis (struktur ego), dan sosiologis (struktur
super ego). Dengan pembagian 3 aspek ini maka tingkatan tertinggi kepribadian
manusia adalah moralitas dan sosialitas, dan tidak menyentuh pada aspek
keagamaan, lebih lanjut Freud menyatakan bahwa tingkatan moralitas digambarkan
sebagai tingkah laku yang irasional, sebab tingkah laku hanya mengutamakan nilai-nilai
luas, bukan nilai-nilai yang berada dalam kesadaran manusia sendiri.[8]
Teori Freud ini banyak mendapat kecaman dari psikolog lain, Paul
Riccoeur misalnya menyatakan bahwa teori Freud telah memperkuat pendapat
orang-orang atheis, tetapi ia belum mampu menyakinkan atau membersihkan imam
orang-orang yang beragama.
Psikolog lain yang membantah teori Freud adalah Allport, menurutnya
pemeluk agama yang sholeh justru mampu mengintegrasikan jiwanya dan mereka
tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara serius. Ringkasnya perlu
adanya aspek agama dalam memahami kepribadian manusia.[9]
b. Manusia menurut psikologi Islam
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa teori Freud tentang
kepribadian manusia mendapat kecaman, maka ditawarkanlah manusia dalam
perspektif psikologi Islam.
Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan
substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui
hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia
atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs. Masing-masing aspek yang berlawanan
ini pada prinsipnya saling membutuhkan, jasad tanpa ruh merupakan substansi
yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi, karena saling
membutuhkan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri yang
berlawanan, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs.
Pembagian substansi tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaly
yang di rujuk dari konsep Ikhwan al-Shafa.
1) Substansi jasmani
Jasad adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme
fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna di banding dengan organisme fisik
makhluk-makhluk lain. Setiap makhluk biotik lahiriyah memiliki unsur material
yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air.[10]
Jisim manusia memiliki natur tersendiri. Al-Farabi menyatakan bahwa
komponen ini dari alam ciptaan, yang memiliki bentuk, rupa, berkualitas,
berkadar, bergerak dan diam serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ.
Begitu juga al-Ghazali memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak,
memiliki ras, berwatak gelap dan kasar,
dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat
bahwa komponen jasad merupakan komponen materi, sedang menurut Ibnu Maskawaih
bahwa badan sifatnya material, Ia hanya dapat menangkap yang abstrak. Jika
telah menangkap satu bentuk kemudian perhatiannya berpindah pada bentuk yang
lain maka bentuk pertama itu lenyap.[11]
2) Substansi rohani
Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi
kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism latief), ada
yang substansi sederhana (jaubar basiib), dan ada juga substansi ruhani (jaubar
ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk
lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh
memiliki arti jaubar (subtance) sedang spirit lebih bersifat aradh (accident).
Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu
Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi yang
memiliki kehidupan dengan daya. Sedang bagi al-Farabi, ruh berasal dari alam
perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad.[12]
Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzy menyatakan pendapatnya bahwa, roh merupakan
jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan
menjalar di dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazaly berpendapat bahwa roh
itu mempunyai dua pengertian : roh jasmaniah dan roh rihaniah. Roh jasmaniah
ialah zat halus yang berpusat diruangan hati (jantung) serta menjalar pada
semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut ke seluruh tubuh, karenanya manusia
bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa
berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh
rohaniah adalah bagian dari yang ghaib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal
dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain
(kepribadiam, ber-ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas
segala tingkah lakunya.
Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa roh itu memang
sesuatu yang ghaib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia, akan tetapi
pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghaib masih terbuka karena tidak ada
nash agama yang menutup kemungkinannya.[13]
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan terdapat poin-poin
penting, yaitu :
1.
Manusia
terdiri dari 2 substansi yaitu substansi jasad dan substansi roh
2.
Manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi.
3.
Hakikat
psikologi Islam dapat dirumuskan yaitu kajian Islam yang berhubungan dengan
aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia agar secara sadar ia dapat membentuk
kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Depag RI
Dr.
Rifaat Syauqi Nawawi, MA., dkk., Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2000.
Bustanuddin
Agus, al-Islam, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993.
Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1995.
Abdul
Mujib, M.Ag, dan Yusuf Muzakir, M.Si., Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Jamaluddin
Kafie, Psikologi Dakwah, Offset Indah, Surabaya, 1993.
[1] Q.S. 95 : 4
[2] Q.S. 2 : 30
[3] Rifaat Syauqi
Nawawi, MA., dkk., Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000, hal. 3
[5] Rifaat Syauqi
Nawawi, MA., dkk., op.cit., hal. 5-7
[6] Hanna Djumhana
Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995,
hal. 48
[7] Ibid., hal. 49
[8] Abdul Mujib,
M.Ag, dan Yusuf Muzakir, M.Si., Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 70
[9] Ibid., hal. 71
[10] Ibid., hal.
38-40
[11] Ibid., hal. 41
[12] Ibid., hal.
41-42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar