Oleh: Irwan Sholeh
(Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam Periode 2010-2012)
Menyusuri Jejak-jejak Hima Persis
Memungut serpihan sejarah Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (Hima Persis) setelah hampir 15 tahun organisasi ini berdiri tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ter-rekamnya perkembangan dan perjalanan Hima Persis dalam teks yang utuh dan lengkap menjadi salah satu faktor penyebabnya. Hampir di setiap acara kaderisasi, rekaman sejarah Hima Persis biasanya disampaikan melalui tradisi lisan. Rupanya tradisi tulisan yang menjadi ciri khas dari dunia intelektualitas belum melekat kuat dalam kultur intelektual Hima Persis. Ini terlihat dari masih sedikitnya produk-produk intelektual dalam bentuk tulisan yang bisa kita temukan di Hima Persis. Meski arus kuat diskusi, dialektika, dan perkembangan pemikiran memang terjadi di Hima Persis, namun sayang tidak terbukukan, sehingga tidak bisa dinikmati oleh tiap generasi.
Untuk melakukan penulisan sejarah setidak-tidaknya kita bisa menggunakan sumber lisan, tulisan, dan visual dalam merekonstruksi masa lampau menjadi sebuah rangkaian cerita yang utuh.[1] Tulisan ini mencoba merekam ulang perjalanan Hima Persis sejak pra-kelahirannya hingga hari ini, tentu saja dengan ikhtiar menelusuri fakta-fakta umum dan tulisan-tulisan kader Hima Persis pada setiap generasinya yang masih tercecer dalam bentuk makalah atau tulisan-tulisan singkat. Maka dengan data yang tersedia, kemudian bisa disusun menjadi cerita yang mengilustrasikan gambaran kondisi yang terjadi dalam sekenario sejarah Hima Persis. Memang, terlalu muda untuk menulis sejarah Hima Persis tapi terlalu tua untuk tidak mengetahuinya.
Jejak Hima Persis yang paling jelas adalah dari sumber lisan para pelaku sejarah di periodenya masing-masing. Pengalaman-pengalaman subjektif itu diutarakan pada setiap kajian atau diskusi yang disampaikan secara turun-temurun. Kita akan melihat bahwa setiap periode memiliki aksentuasi gerakan yang berbeda yang menjadi ciri khasnya. Periodisasi menjadi teknik rekonstruksi dalam sejarah, yang jika tidak dibuat, rekonstruksinya akan mengambang, tidak jelas dan tidak fokus.[2]
Menjelang Fase Kelahiran Hima Persis
Embrio Hima Persis sebetulnya sudah muncul jauh sebelum kelahirannya. Kelompok mahasiswa Persis ini terbentuk secara alamiah atas dasar ikatan emosional yang terjalin karena memiliki “sense of belonging” yang sama, komunitas yang hanya bersifat paguyuban -yang dalam teori sosiologi sering disebut geimenschaft-, belum menjadi organisasi yang terstruktur dan memiliki visi-misi yang jelas. Menurut Ariful Mursyidi,[3] geliat kebangkitan kelompok mahasiswa di lingkungan Persis sesungguhnya sudah mulai nampak sejak masa sebelum 1995, terutama dimotori oleh para mahasiswa alumni Pesantren Persis yang kuliah di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Mereka berinisiatif membentuk kelompok silaturahmi intelektual mahasiswa Persis. Di Bandung dibentuk Himatul ‘Alimin,[4] di Jakarta HIMAPI (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam), dan di Yogyakarta dibentuk LKMPI (Lesehan Komunitas Mahasiswa Persatuan Islam).[5] Pada perkembangan selanjutnya di Jakarta berubah nama menjadi Holistika Jakarta dan di Garut muncul JMPI (Jaringan Mahasiswa Persatuan Islam) Garut.
Komunitas intelektual kampus itu muncul seiring dengan arus intelektualisme pada generasi muda Persis. Seiring perkembangan zaman semakin banyak pula kader muda Persis yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, sehingga seolah-olah wadah intelektual itu menjadi kebutuhan baru di lingkungan Persis. Di Persis sendiri sudah ada organisasi otonom untuk kaum muda Persis yaitu Pemuda Persis yang berdiri semenjak 22 Maret 1936. Namun tampaknya Pemuda Persis belum bisa mewakili peran dan kebutuhan mahasiswa yang memiliki karakter tersendiri. Menurut Uhud Sholehudin —aktivis Pemuda Persis yang juga menjadi penggerak awal Hima Persis—, bahwa saat itu di Pemuda Persis muncul dua faksi (kelompok atau golongan) yang memiliki paradigma berbeda, yaitu kelompok akademis kampus dan kelompok non-akademis kampus. Sebelum kelahiran Hima Persis sebetulnya sempat berkembang wacana di Pemuda Persis untuk membentuk bidang baru yaitu bidang kemahasiswaan untuk menjawab kebutuhan saat itu. Namun arus kontra begitu deras karena kelompok non-akademis kampus masih menjadi mayoritas di Pemuda Persis, atau bahkan dianggap diskriminatif karena membeda-bedakan status akademis dan non-akademis kampus. Akhirnya wacana ini menjadi semakin besar, menjadi wacana pembentukan otonom baru di Persis, yaitu organisasi kemahasiswaan, sebagai agenda yang mendesak untuk menjawab tantangan zaman. Agenda besar itu direspon positif dan direstui pada masa kepemimpinan KH. Abdul Latief Muchtar, MA. (Allâhu yarham) di Pimpinan Pusat Persatuan Islam.
Periode 1996-2000; Dinamika Kelahiran dan Awal Gerakan Mahasiswa Persis
Hima Persis lahir pada 24 Maret 1996 M bertepatan dengan 4 Dzulqa’dah 1416 H di Cianjur,[6] berbarengan dengan saudara kembarnya, yaitu Himi Persis. Di tengah pro dan kontra-nya, Hima Persis hadir di saat yang tepat. Saat itu kepemimpinan Persis dipegang oleh seorang akademisi, yaitu KH. Abdul Latief Muchtar, MA., sosok kharismatik yang mempunyai pemikiran terbuka dari pengalaman intelektual yang kaya. Semasa menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Jakarta, beliau memutuskan untuk mengambil studi di luar negeri. Studi S1-nya diselesaikan di Universitas Darul Ulum Kairo Mesir, kemudian studi tambahan ditempuhnya di Ma’had Dirasah Islamiyah (Institute of Islamic Studies) selama dua tahun. Karena dahaga intelektualnya, beliau melanjutkan studinya ke jenjang magister (S2) di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak cukup sampai di situ, beliau pun melanjutkan ke tingkat S3 di kampus yang sama, namun tidak sempat diselesaikan karena kesibukannya sebagai ketua umum Persis dan Allah SWT. memanggilnya.[7]
Kepemimpinan Ustadz Latief betul-betul membawa semangat intelektualisme baru di Persis. Pembaharuan intelektual yang paling menonjol dari kepemimpinan beliau adalah cita-cita dan pemikirannya untuk mendirikan perguruan tinggi Persis. Hal itu terwujud dengan berdirinya Pesantren Luhur pada tahun 1988 yang kemudian mengalami beberapa penyesuaian nama, antara lain Pondok Pesantren Tinggi (PPT), kemudian Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU), dan terakhir Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persis.[8] Ada mimpi besar beliau yang belum terwujud yaitu mendirikan Universitas A. Hassan atau Universitas Persatuan Islam.
Kontribusi Ustadz Latief sangat besar untuk Hima-Himi Persis, beliau mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis di berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Mahasiswi Persis sebagai tempat berkiprah para mahasiswa/mahasiswi Persis di lingkungan perguruan tinggi.[9] Hal ini juga merupakan bentuk pelebararan sayap dakwah Persis di dunia kampus. Dukungan kuat atas berdirinya Hima-Himi Persis betul-betul ditunjukkan, walaupun konon sempat bergulir sikap oposisi dari Pemuda Persis atas berdirinya Hima Persis sebagai otonom. Pemuda Persis sebagai otonom menilai masih bisa mewadahi kerja-kerja intelektual yang mencakup kalangan mahasiswa. Kritik ini penting untuk dikaji, apakah Hima Persis sudah benar-benar “berbeda” dari Pemuda Persis? Atau justru sasaran dan program gerakannya masih sama? Jika berbeda, tentu saja tidak asal beda, tapi sesuai kebutuhan tuntutan dan peran yang harus dilakukan oleh Hima Persis, di mana peran itu sulit dijalankan oleh otonom lain karena karakternya yang berbeda.[10]
Muktamar I Hima Persis di Cianjur yang terdiri dari perwakilan mahasiswa Persis Bandung, Jakarta dan Yogyakarta memilih Ihsan Setiadi Latief sebagai ketua umum pertama Hima Persis. Yang menarik, Ihsan merupakan putra dari Ustadz Latief, ketua umum Persis. Saat itu hubungan organisasi Hima Persis dengan Persis memang seolah hubungan ayah dan anak, anak yang baru lahir yang sangat memerlukan perlindungan ekstra dari orang tuanya. Setidaknya Hima Persis bisa melewati badai kritik di tahun pertamanya, sedang tahun 1997 Ustadz Latief sudah berpulang ke rahmatullâh.
Ada isu yang sensitif pada masa lahirnya Hima Persis, yaitu integrasi Hima Himi Persis secara struktur-formal, mengingat secara realistis perjuangan mahasiswa Persis belum bisa optimal jika dipisah.[11] Alasan utama ialah keterbatasan SDM, ditambah tidak biasanya dalam kultur organisasi mahasiswa di Indonesia untuk memisahkan mahasiswa-mahasiwi secara struktural. Hal tersebut dianggap tabu dan sensitif di kalangan keluarga besar Persis karena alasan-alasan syar’i, sehingga organisasi perempuan di Persis memang terpisah dan mandiri. Meski begitu, Hima-Himi Persis selalu bisa sinergis dalam gerakan dan program-programnya dengan tidak melanggar batasan-batasan syar’i.
Periode pertama ini memang yang terberat karena Hima Persis memulai semuanya dari nol. Ihsan Setiadi Latief dkk. harus fokus mempersiapkan software organisasi, termasuk membangun infrastruktur bangunan organisasinya. Yang pasti, Hima Persis bukanlah sebatas paguyuban mahasiswa Persis tetapi sudah menjadi organisasi yang mempunyai tujuan yang jelas, dengan visi “sebagai wadah pembentuk kader Ulul Albab” dan misi membentuk kader agen perubahan, mencetak kader ulama intelektual, dan melakukan secara aktif prinsip amar ma’rûf nahyi munkar.[12] Hima Persis juga ikut menyambut revolusi gerakan mahasiswa 1998 yang mengusung agenda Reformasi, peristiwa bersejarah yang merubah drastis iklim politik di Indonesia.
Sebagai komunitas mahasiswa Islam yang lahir dari rahim Jam’iyyah Persatuan Islam, Hima Persis tentu harus mampu menangkap isi dan substansi serta ruh perjuangan Persis. Hima Persis mengejawantah sebagai derivaasi gerakan Persis. Dan landasan ideal dari gerakan Hima Persis dalam mengaktualisasikan keyakinan dan mengartikulasikan gerakannya secara pasti harus dikawal oleh Al-Quran dan Al-Sunnah.[13]
Tugas Hima Persis pertama ini memang berat. Itu terlihat dari kepemimpinan periode ini yang berjalan sekitar empat tahun tanpa pergantian kepemimpinan. Baru pada tahun 2000 Hima Persis memulai periodesasinya sebagaimana normalnya organisasi mahasiswa, karena kepemimpinan empat tahun terlalu lama bagi organisasi mahasiswa. Pada fase selanjutnya, Hima Persis bergerak maju menuju kesempurnaan, sebagaimana gerak sejarah. Hima Persis berhasil memberikan warna baru dalam gerakan intelektual Persis sebagai salah satu gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.
Periode 2000-2002; Penegasan Intelektualitas, Dinamika Pergerakan, dan Ideologisasi
Tidak banyak data tentang periode ini, tapi cukup banyak cerita fenomenal pada periode kepemimpinan ini. Terpilihnya Khaerudin Amin[14] sebagai ketua umum membawa perubahan besar di Hima Persis. Khaerudin Amin dikenal sebagai ideolog Hima Persis. Khaerudin ini memunculkan sifat strong leadership di Hima Persis dengan tipikal kepemimpinannya yang kuat dan tegas. Pada periode ini mulai dibangun nalar kritis mahasiswa Persis terhadap pemerintah. Bahkan sikap kritis itu juga kadang ditunjukkan kepada Persis sebagai organisasi induknya, sehingga hubungan Hima Persis dan Persis pada periode ini kurang harmonis.
Penegasan intelektualitas sangat terlihat pada periode ini. Itu terlihat dari lambang Hima Persis yang pada periode ini dimodifikasi dengan ditambahkannya “gambar buku yang terbuka” sebagai simbol intelektualitas. Hal itu ditegaskan pula dengan terbitnya produk pemikiran kader Hima Persis untuk pertama kalinya dalam bentuk jurnal, yaitu Jurnal Ulul Albab (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan). Menurut Khaerudin Amin, PP. Hima Persis berupaya mengkodifikasi pemikiran generasi muda Persis untuk memperkuat pekikan perubahan dan menghantam kebekuan kondisi. Jurnal ini ditujukan untuk menjadi gerbang yang akan menampilkan pemikiran dan gagasan generasi muda Persis dalam memberikan kontribusi secara maksimal bagi tegaknya ‘izzul Islâm wa al-muslimîn.[15]
Pada periode ini Hima persis juga terlibat aktif dalam dinamika pergerakan mahasiswa. Hima Persis menceburkan diri dalam arus demontrasi merespon isu-isu sosial, keagamaan, dan politik, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap masyarakat lemah, dan aktif melakukan advokasi untuk kaum mustadh’afin (orang-orang yang dilemahkan dan dimiskinkan oleh sistem yang korup dan zhalim). Hal ini lebih mudah dilakukan karena pada masa reformasi, keterbukaan dan kebebasan menyampaikan pendapat tidak dilarang seperti pada masa orde baru Presiden Soeharto.
Proses ideologisasi yang paling menonjol dalam periode ini adalah munculnya jargon “ilmiah, progresif, dan revolusioner”. Lam-lam Pahala menafsirkannya sebagai dasar perjuangan Hima Persis. “Ilmiah”, menekankan kekuatan intelektualitas yang meletakkan fondasi pemikiran berbasis realitas dan objektifitas secara ilmu, sebagai kelompok intelektual yang mampu menampilkan rasionalisasi Al-Quran dan Quranisasi rasio.[16] “Progresif”, kritik-progres yang menjadi ciri Ulul Albab, Hima Persis mesti tampil dalam upaya mengkritisi setiap isu, wacana, paham, hingga kebijakan.[17] “Revolusioner”, bermakna revolusioner-damai, perubahan itu harus total dan penuh keberanian dan diarahkan pada aspek pemikiran maupun gerakan. Damai bermakna perubahan itu dilakukan secara pandai, santun, dan terkelola dengan baik; tidak dilakukan dengan anarkis, chaos, penuh kekerasan atau bahkan premanisme yang hanya akan mengotori pesan perubahan itu sendiri.[18]
Periode 2002-2005; Internalisasi, Komunikasi Gerakan, serta Tradisi Diskusi dan Aksi
Tipikal kepemimpinan yang ditampilkan oleh Latief Awaludin yang terpilih menggantikan Khaerudin Amin sangat berbeda. Ia menampilkan karakter yang lebih persuasif, luwes, dan mudah bergaul. Dalam periode ini, hubungan Hima Persis dengan keluarga besar Persis begitu harmonis. Inilah masa internalisasi yang cukup baik yang dilakukan Hima Persis. Periode ini mencoba memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat Persis, salah satunya adalah sebagai bentuk tanggung jawab intelektualnya dengan memperkenalkan kembali pemikiran tokoh-tokoh besar Persis seperti pemikiran KH. Isa Anshari, ditambah dengan tradisi diskusi tema-tema lainnya.[19] Barangkali Hima Persis pada periode inilah yang pertama kali memperkenalkan dan mendekatkan Persis pada tradisi aksi turun ke jalan, contohnya dengan mengajak keluarga besar Persis merespon isu kenaikan BBM dan TDL sebagai persoalan sosial-keumatan.[20]
Periode ini pun berhasil membangun komunikasi gerakan dengan organisasi mahasiswa, OKP, dan ormas lain di tingkat nasional, seperti IMM, IPNU, PMII, GMNI, HMI, HMI MPO, PII, KAMMI, GPI, Gema Pembebasan, NU, MUI, dan lembaga lainnya, selain juga merintis jaringan Hima Persis dengan organisasi internasional dengan menghadiri agenda World Asembly Moslem Youth (WAMY), Perhimpunan Pelajar Islam Asia Tenggara, dan menghadiri seminar MABIMS di Singapura.[21]
Hasilnya, Hima Persis bisa membangun tradisi diskusi dan aksi dengan sinergitas gerakan dalam merespon isu-isu dan persoalan bangsa atau keumatan seperti masalah kenaikan BBM dan TDL, agresi Amerika terhadap Irak, masalah korupsi, kondisi politik pemerintahan, aksi sosial untuk Bencana Tsunami Aceh, dan aksi damai mendesak negara-negara Asia-Afrika untuk bergabung membebaskan bangsa Palestina dari penjajahan Israel di sela-sela Peringatan Konferensi Asia-Afrika di Bandung.[22] Pada periode ini Hima Persis mulai membangun komunikasi gerakan dengan media dan tokoh nasional, serta mengenalkan sejak dini Hima Persis kepada pra-kader, yaitu santri dalam Silaturahmi Santri Nasional dari perwakilan pesantren Persis se-Indonesia tahun 2005.
Periode 2005-2008; Penguatan Intelektual, Pembenahan Organisasi, dan Kaderisasi
Masih segar dalam ingatan, kepemimpinan yang ditampilkan periode 2005-2008 membawa perubahan radikal terhadap kehidupan organisasi Hima Persis. Pendewasaan organisasi mulai tampak dengan terpilihnya Lam-lam Pahala pada Muktamar IV tahun 2005 di Jakarta. Kepemimpinan kabinet yang dipimpinnya dikenal dengan kabinet intel-X (baca: intelek), karena ingin benar-benar menampilkan Hima Persis sebagai gerakan intelektual, sehingga tradisi diskusi, seminar, bedah buku, bedah pemikiran, audiensi dengan media dan tokoh nasional, digalakan secara masif.
Periode ini pun berusaha melakukan perbaikan organisasi, dari mulai yang bersifat administratif, penataan ulang struktur organisasi, perumusan konsep atau sistem kurikulum kaderisasi, hingga ekspansi wilayah gerakan Hima Persis ke luar Jawa. Ini menepis anggapan selama ini bahwa gerakan Hima Persis hanya di Jawa Barat atau Bandung. Pelebaran sayap kader ini dilakukan dengan membentuk PW. Hima Persis Jawa Barat, PW. Hima Persis DKI Jakarta, dan PW. Hima Persis Maluku. Perbaikan sistem organisasi pun mulai dilakukan dengan cara yang modern, seperti membuat website Hima Persis sebagai media komunikasi di dunia maya (internet).
Dengan rampungnya konsep kaderisasi —walaupun dirasa masih banyak kekurangan—, penguatan dan kaderisasi besar-besaran dilakukan pada periode ini secara mekanis di daerah-daerah yang sudah dibentuk. Kampanye dan sosialisasi Hima Persis yang masif pun dilakukan pada periode ini dengan berhasil mengumpulkan + 700 santri perwakilan dari 28 Pesantren Persis se-Indonesia dalam Silaturahmi Santri Nasional.[23] Dalam momentum ini, Hima Persis merumuskan ide besar untuk memunculkan gagasan Ikatan Pelajar Persis.
Tradisi aksi pun tidak ditinggalkan. Banyak isu yang direspon dengan aksi pada periode ini, seperti aksi tolak Presiden Amerika George W. Bush ke Indonesia, RUU APP, Ahmadiyyah, serta isu sosial-politik lainnya.[24]
Pada periode ini pun Hima Persis mulai melakukan diplomasi intelektualnya dengan organisasi lintas negara dalam bentuk-bentuk kerjasama intelektual, dimulai dengan komunikasi dengan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), membicarakan pembaharuan Islam Melayu. Periode ini pun berhasil melakukan rekonsiliasi dengan komunitas Mahasiswa Persis di luar Hima Persis, yaitu ikut meleburnya Holistika Jakarta dan JMPI Garut menjadi Hima Persis.
Periode 2008-2010; Nasionalisasi dan Diplomasi Intelektual Lintas Negara
Terpilihnya Lam-lam Pahala sebagai ketua umum Hima Persis untuk kedua kalinya pada Muktamar V Hima Persis tentu saja tidak terlepas dari pro dan kontra karena pemimpin yang sama dalam dua periode yang berbeda merupakan hal yang tabu, tidak lazim, dan tidak biasa dalam organisasi kader. Ini menimbulkan anggapan bahwa tidak ada proses kaderisasi dan regenerasi estafeta kepemimpinan di Hima Persis atau Hima Persis belum mapan sebagai organisasi kader.[25]
Terlepas dari pro dan kontra, nampaknya banyak orang juga yang percaya dengan ungkapan “pemimpin yang tepat selalu datang di saat yang tepat”. Relevansi dengan kembali terpilihnya Lam-lam Pahala sebagai ketua tentu saja bukan proses kebetulan karena dipilih melalui mekanisme yang sah, valid, resmi, dan legal. Lam-lam Pahala dipercaya kembali memegang amanah sebagai ketua umum karena kesuksesannya pada periode sebelumnya. Apalagi ada tanggung jawab besar yang tidak bisa dilepas begitu saja, yaitu membidani proses lahirnya Ikatan Pelajar Persis yang Lam-lam Pahala menjadi salah satu pilar konseptornya.[26]
Obsesi yang ada pada Hima Persis periode ini adalah duduk sejajar dengan organisasi mahasiswa di tingkat nasional dan melebarkan sayap Hima Persis ke Asia Tenggara. Karena itu, ekspansi wilayah gerakan Hima Persis benar-benar menjadi program prioritas. Periode ini berhasil menorehkan tinta emas dengan memiliki satu PWK. Hima Persis di Malaysia, enam PW. Hima Persis (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Riau), serta 30 level di bawahnya yang terdiri dari PJM dan PK yang tersebar di enam provinsi tersebut.[27] Sementara tradisi aksi terus berjalan merespon isu-isu sosial-politik nasional dan internasional yang terjadi.
Diplomasi intelektual lintas negara semakin kuat pada periode ini. Selain memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), beberapa kali Hima Persis berkunjung ke Malaysia serta sempat menghadiri Muktamar ABIM, yang dalam momentum itu Hima Persis banyak berkenalan dengan organisasi internasional lainnya, paling tidak untuk konteks Asia Tenggara. Diplomasi intelektual yang dijalin berhasil menghubungkan Hima Persis dengan Himpunan Keilmuan Muda Malaysia (HAKIM) bisa menyelenggarakan Seminar Internasional di Indonesia dengan tema “Dari Islamisasi Sains Menuju Revolusi Peradaban; Merancang Ilmu dan Sain yang Ramah Lingkungan”, dengan mempertemukan narasumber dari intelektual dan cendekiawan Malaysia dan Indonesia. Sudah tiba waktunya bagi ilmuwan muslim untuk memberikan paradigma sains Islami sebagai paradigma sains modern pada milenium baru ini.[28]
Gaya kepemimpinan dua periode Lam-lam Pahala memang merupakan manifesto gerakan Hima Persis yang digagasnya dalam Trias Politika Hima Persis; Intelektualitas, Transformasi Sosial, dan Perubahan Iklim Politik.
Periode 2010-2012; Kepemimpinan Kolektif, Akselerasi Gerakan, dan Modernisasi Organisasi
Kita belum bisa banyak berbicara tentang periode kepemimpinan 2010-2012 yang dipimpin oleh Mohamad Reza Ansori, yang terpilih di Muktamar VI Hima Persis di Tasik, karena periode ini baru berjalan beberapa bulan. Namun kita bisa melihat dalam periode ini akan lebih banyak warna pemikiran karena Hima Persis sudah semakin besar, dinamika organisasi pun semakin kompleks. Perubahan menuju kesempurnaan terus dilakukan Hima Persis diantaranya dengan merubah sistem kepemimpinan menjadi desentralisasi di tingkat pusat dengan adanya ketua I (bag. Internal) dan ketua II (bag. Eksternal). Dengan demikian, akan muncul gaya kepemimpinan kolektif untuk melakukan akselerasi gerakan Hima Persis. Wacana modernisasi organisasi pun menjadi obsesi periode ini dalam rangka menjawab tantangan global modernisasi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Harapan besar periode ini bisa lebih baik dari periode-periode sebelumnya. Wa Allâh a’lâm.
[1] Lihat, Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), cet. ke-1, hal. 31.
[2] Lihat, Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), cet. Ke-1, hal. 40.
[3] Ariful Mursyidi ialah salah satu kader Hima Persis angkatan pertama pada masa kepemimpinan Ihsan Setiadi Latief periode 1996-2000.
[4] Salah satu perintis dan ketua pertama Himatul ‘Alimin ialah Allâhu yarham KH. Entang Muchtar ZA., sebagaimana dituturkan oleh Aay Muhamad Furqon ketika menulis tentang beliau di Majalah Risalah (No. 2 Th. 47 Mei 2009). Beruntung penulis pun pernah bertemu dengan salah satu aktivis Himatul ‘Alimin yaitu Ustadz Zaenal Asikin -yang sekarang menjadi fungsionaris PD. Persis Kota Bandung- ternyata ketika mahasiswa beliau pernah menjabat ketua komisariat Himatul ‘Alimin IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, menurutnya definisi Himatul ‘Alimin itu berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata himmah yang berarti cita-cita dan ‘âlimîn yang berarti orang-orang berilmu (kaum intelektual), dengan nada gurau beliau mengutarakan bahwa istilah tersebut sering menjadi celotehan dari sebuah akronim Himatul ‘Alimin itu, yang menjadi singkatan dari Himpunan Mahasiswa Tamatan atau Lulusan Mu’alimin (Himatul ‘Alimin).
[5] Ariful Mursyidi, “Memperkuat Hima Persis sebagai Kelompok Intelektual Progresif”, (Makalah, disampaikan pada Diskusi PW. Hima Persis Jawa Barat, Ciganitri Kab. Bandung tgl. 10 Oktober 2009), hal. 1.
[6] Qaidah Asasi Hima Persis bab I, pasal 1, ayat 2.
[7] Lihat secara lebih detail, Dadan Wildan, Yang Da’i yang Politikus; Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), cet. ke-2, hal. 142-143.
[8] Ibid., hal. 149.
[9] Ibid., hal. 147-148.
[10] Ariful Mursyidi, op.cit., hal. 1-2.
[11] Lihat, Deden Syarif Hidayat, “Managemen Organisasi Hima Persis”, (Makalah, disampaikan dalam acara KABAH Pimpinan Komisariat UPI, Cikole Lembang tgl. 22 Januari 2006), hal. 2.
[12] Visi Hima Persis mengalami perubahan di Muktamar VI tahun 2010 menjadi “terwujudnya peradaban Ulul Albab”, lihat, Qaidah Asasi dalam Visi-Misi Hima Persis.
[13] Lihat, Lam-lam Pahala, “Hima Persis dan Gerakan Intelektual”, (Makalah, disampaikan dalam acara KABAH Se-Bandung Raya PJM. Hima-Himi Persis Bandung, Kampus STAIPI Bandung tgl. 20-21 Januari 2007), hal. 5.
[14] Setelah masa baktinya selesai di Hima Persis, Khaerudin Amin pun terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (GPI), salah satu diantara sekian banyak kader terbaik Hima Persis.
[15] Lihat, Khaerudin Amin, “Pengantar Ketua Umum Hima Persis”, (Jurnal Ulul Albab No. 1 Tahun I, Januari-Juni 2002), hal. i.
[16] Lam-lam Pahala, op.cit., hal. 6.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Lihat, Laporan Departemen Kajian Ilmiah, LPJ PP. Hima Persis Periode 2002-2005.
[20] Lihat, Laporan Departemen Humas dan Publikasi, Ibid.
[21] Lihat, Laporan Departemen Organisasi, Ibid.
[22] Lihat, Lampiran Beberapa Sikap Hima Persis yang Terekam Media Cetak Sepanjang Periode 2002-2005, Ibid.
[23] Lihat, LPJ PP. Hima Persis Periode 2005-2008, hal. 10.
[24] Lihat, Ibid., hal. 12.
[25] Lihat, Irwan Sholeh, “Hima Persis; Starting New Revolution”, (Artikel dalam buletin MADINAH [Media Dinamika Hima Persis] Bandung, edisi MUSJAM VI tahun 2008), hal. 2.
[26] Ibid.
[27] Lihat, Data Struktur Kepemimpinan Hima Persis, LPJ PP. Hima Persis Periode 2008-2010.
[28] Lihat, Amin Nurdin, “Sebuah Catatan dari Seminar Internasional Hima Persis”, (Artikel dalam Majalah Risalah No. 4 TH. 48 Juli 2010), hal. 69-71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar