Selasa, 09 Juni 2015

Peranan Mahasiswa Islam dan Gejolak Politik Bangsa (Membangun Masa Depan Islam Indonesia)

Dilan Imam Adilan
Pimpinan Redaksi Buletin RADIKAL, Kadept.Kaderisasi HIMA Persis Garut, Alumnus Kampus Bening STAIPI Garut


Banyak kalangan menganggap persoalan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini ialah kekalahan politik. Maka penyelesaian yang ditawarkan pun tak jauh dari perkara berebut kekuasaan.[1]
Munculnya pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin ummat, melainkan juga tidak memiliki akhlaq yang luhur, kapasitas intelektual dan spiritual mencukupi, yang sangat diperlukan dalam sebuah kepemimpinan.[2] Para pemimpin ini kebingungan dan keliru dalam mengambil kebijakan yang pada akhirnya menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Hal ini kemudian ditambah dengan ketiadaan adab[3] dalam tubuh masyarakat.
Maka benarlah apa yang disabdakan Nabi dalam sebuah hadis, bahwa kondisi pemimpinmu mencerminkan kondisi rakyat yang dipimpinnya (Kama Takunu Yuwalla alaikum).[4] Hadis tersebut menyiratkan bahwa spiritualitas, etik moral masyarakat yang bagus, maka yang akan tampil sebagi pemimpin mereka adalah orang yang punya karakteristik seperti itu.[5]
Apa peranan Mahasiswa Islam sesungguhnya dalam menghadapi gejolak politik bangsa? Sejauh mana persiapan kita membangun masa depan Islam di Indonesia? semoga tulisan sederhana ini membuka keran gagasan kawan-kawan selanjutnya..
****

Memainkan Peranan Sesungguhnya
Mahasiswa sebagai katalisator bagi masyarakat atas kebijakan penguasa  mempunyai peranan penting untuk menyalurkan aspirasinya. Mengingat mahasiswa mempunyai potensi-potensi dan ide yang dapat membantu kemajuan negara secara umum. Gerakan Mahasiswa secara historis tampil ke muka sebagai penumbang rezim anti rakyat, korup, yang gagal dalam menjalankan peranannya sebagai memimpin bangsa.[6] Mereka hadir di garda terdepan berjuang demi perubahan dan berkata tidak pada ketidakadilan. Kebenaran dan keadilan tidak bisa dibungkam oleh siapapun termasuk rezim Jokowi yang ditopang para Kapitalis. Semakin kuat rakyat dibungkam, maka akan semakin keras berteriak.[7]
Mahasiswa Islam (secara khusus) berperan untuk menganalisis dan menggiring opini publik [8]terhadap pemahaman yang benar terhadap gejolak politik bangsa ini. Selain itu, mahasiswa Islam sebagaimana analisis Alam Permana[9]mengenai Q.S Ali Imron : 190-191, bahwa Ulul Albab atau dalam hal ini mahasiswa Islam adalah orang yang senantiasa merenungi ayat-ayat Allah. Serta, makna yang terkandung dalam ayat ini yaitu tuntutan bagi orang yang sholat untuk menyebar atau melakukan perubahan baik nasib pribadi terlebih masyarakat secara komunal.
Julien Benda berkata,“Alih-alih kaum intelektual memegang tinggi kemanusiaan yang menjadi dasar segala Ilmu, telah menyesuaikan diri pada berbagai macam aliran egoisme dan kepentingan disebelah masyarakat atau di luar kepentingan masyarakat. Orang terpelajar tidak saja dikalahkan, tapi juga di pungut, orang terpelajar disewa oleh penguasa.”
Mahasiswa Islam bukan menjadi “pengkhianat Intelektual”, mahasiswa Islam berkorban untuk kepentingan masyarakat dan agama, dan bukan malah menyerahkan diri pada penguasa yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing.[10]

     
Sistem Politik dan Gejala Politik Bangsa
Jika ditilik dari perspektif sistem, sistem politik adalah subsitem dari sistem sosial. Pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya.[11]
Namun realitas politik bangsa kita dewasa umumnya cenderung machiavellistik sehingga ukuran efektivitas system politik bergeser, dari kesejahteraan rakyat menjadi kemampuan untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
(1)Fungsi Artikulasi Kepentingan[12]
Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan pemerintah.
Pemerintah dalam mengeluarkan suatu keputusan dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru menyulitkan masyarakat.  Oleh karena itu warga negara atau setidak-tidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang untuk mengangkat kepentingan dan tuntutan kelompoknya, agar dapat dimasukkan ke dalam agenda kebijaksanaan negara. Wakil kelompok yang mungkin gagal dalam melindungi kepentingan kelompoknya akan dianggap menggabungkan kepentingan kelompok, dengan demikian keputusan atau kebijaksanaan tersebut dianggap merugikan kepentingan kelompoknya.
Bentuk artikulasi yang paling umum di semua sistem politik adalah pengajuan permohonan secara individual kepada para anggota dewan (legislatif), atau kepada Kepala Daerah, Kepala Desa, dan seterusnya. Kelompok kepentingan yang ada untuk lebih mengefektifkan tuntutan dan kepentingan kelompoknya, mengelompokkan kepentingan, kebutuhan dan tuntutan kemudian menyeleksi sampai di mana hal tersebut bersentuhan dengan kelompok yang diwakilinya.
Artikulasi kepentingan sudah ada sepanjang sejarah dan kelompok kepentingan akan semakin tumbuh seiring semakin bertambahnya kepentingan manusia, jadi kelompok kepentingan hanya ingin mempengaruhi pembuatan keputusan dari luar, sedangkan partai politik dari dalam.

(2)Fungsi Agregasi Kepentingan[13]
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.
Agregasi kepentingan dijalankan dalam "sistem politik yang tidak memperbolehkan persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat atas, mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai kebutuhan dari rakyat dan konsumen".
Dalam masyarakat demokratis, Partai menawarkan program politik dan menyampaikan usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar (bargaining) pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan tersebut mendukung calon yang diajukan.
Agregasi kepentingan dalam sistem politik di Indonesia berlangsung dalam diskusi  lembaga legislatif. DPR berupaya merumuskan tuntutan dan kepentingan-kepentingan yang diwakilinya. Semua tuntutan dan kepentingan seharusnya tercakup dalam usulan kebijaksanaan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang. Namum penetapan kebijaksanna (UU) bukanlah hak semata-mata pihak legislatif. DPR bersama Presiden memiliki hak untuk mengesahkan Undang-Undang. Kedudukan DPR dan Presiden dalam fungsi agregasi kepentingan adalah sama, sebab kedua lembaga ini berhak untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU).
Tentu saja akan terjadi persaingan ketat untuk mengangkat gagasan dan memenuhi tuntutan-tuntutan kelompoknya, akan tetapi dengan adanya prinsip musyawarah dan mufakat (yang dirasa pasti akan sulit mengingat DPR mewakili KMP sebagai oposisi pemerintah, dan Presiden mewakili KIH sebagai pemegang kekuasaan di kabinet Indonesia) sangat banyak membantu persaingan antara wakil partai dalam agregasi kepentingan.

        Analisis Hancurnya Suatu Bangsa
Sistem dan gejala Politik di bangsa Indonesia “kiwari” mutlak bukan hanya salah para penguasa. Ada keterkaitan yang begitu mendalam, antara religiutas masyarakat yang memudar hingga hilangnya keimanan dan ketakutan akan siksa/adzab Nya, mendewakan harta dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan (machiavellis). Analisis al Qur’an tentang hancurnya suatu bangsa terikat dengan beberapa aspek. Diantaranya ; Pertama, Dominasi Hedonisme[14] dalam tatanan sosial kemasyarakatan (Lihat: al Qur’an surat At Taubah : 24) Kedua, Para elite (penguasa) yang tidak amanah (Lihat : Shahih Bukhari, Kitabul Ilmi hadis 1). Akan tetapi dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran peradaban atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlaq.  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
” Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam.”.
Apabila iman kepada Allah SWT sudah rusak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah SWT. Story umat terdahulu yang hancur peradabannya berserak dalam al Qur’an dan menjadi tadzkirah bagi kita semua (Lihat: an Nahl : 36).

Membangun Masa Depan Islam Indonesia
Selanjutnya, berbicara tentang bagaimana membangun masa depan Islam Indonesia yang ideal, yang penting dilakukan adalah bagaimana membenahi kondisi internal ummat Islam dan lembaga-lembaga yang fundamen dalam membangun pondasi peradaban. (Lembaga pendidikan, dan lembaga dakwah salah satunya). Dari perguruan tinggi Islam misalnya  ; diharapkan akan lahir mahasiswa Islam yang dapat menjadi kader ummat yang mencintai ilmu (ilmiah), Ibaadurahmaan, (religius), progressif profesional dan zuhud. Menyebar ke berbagai sub tatanan masyarakat : sosial, budaya, politik, ekonomi, dsb.
Pakar sejarah Arnold Toynbee, juga menemukan bahwa antara kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada kelompok yang disebut sebagai creative minorities. Kelompok ini memiliki kemapanan spritual yang mendalam atau motivasi agama (religious motivation), bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama. Jika kaum Muslim Indonesia mampu mewujudkan creative minorities, maka ada harapan besar untuk membawa ummat Islam dan juga negara Indonesia ke tahap yang lebih gemilang di masa depan.[15]
Creative minorities adalah mereka yang mengambil “bagian” dari potongan-potongan tugas yang diemban mahasiswa sebagai Agent of Change di masyarakat. Pembagian tugas ini jelas harus ada, dan jika mahasiswa Islam yang hendak bertugas membangun peradaban masa depan yang gemilang. Terhipnotis godaan duniawi sesaat, maka berpalinglah arah gerakan kader dari esensi perjuangan hakiki.
Sekali lagi, masa depan Islam di Indonesia akan sangat tergantung pada kualitas perjuangan umat Islam itu sendiri. Peradaban Islam akan terwujud jika kaum Muslimin bersungguh-sungguh menekuni berbagai bidang dan mengambil tugas masing-masing. Mahasiswa Islam contohnya membina diri sebagai Creative Minorities, dalam ranah politik ; partai-partai Islam  dan politisi Muslim memiliki etik moral yang tinggi, menjadi teladan dalam pemikiran dan perilaku. Dalam ranah ekonomi, lembaga dan pelaku ekonomi syariah benar-benar menjadikan iman, ilmu, dan ketakwaan sebagai landasan perekonomian, bukan pragmatisme ekonomi. Sesungguhnya Islam itu ya’lu (tinggi) dan rahmat bagi seluruh alam. Siapa yang meragukan?
Wawlaahu a’laam bi shawaab.



[1] Prof Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Syed M Naquib Al Attas., terj Hamid Fahmy Zarkasy dkk. (Bandung : Mizan). hlm.65.
[2] Prof Syed Muhammad Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj.Haidar Bagir (Bandung : Penerbit Mizan, 1990) hlm.53
[3] Syed Naquib al Attas seringkali mendengungkan istilah “Adab” dengan definisi : Tindakan yang benar terhadap segala hal dengan landasan Ilmu. Orang beradab mengetahui bahwa berbohong itu salah maka ia meninggalkannya ; orang yang beradab mengetahui bahwa berprilaku “korupsi” itu perbuatan nista maka dia meninggalkannya. Dapat kita cermati, bahwa realitas yang terjadi kini masyarakat (termasuk para pejabat publik, para pemimpin di parlemen, dan di setiap lini masyarakat) ketidak tahuan atau ketidak mau tahuan akan sesuatu agar dapat bertindak “benar”menyebabkan ketiadaan adab (The Lost of Adab). (Lihat, Prof Syed Muhammad Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, ibid.hlm.452).
[4] Lihat, Abu Abdullah al Hakim, al Mustadrak ala Shahihain, (Beirut ; Dar el Kotob Ilmiyyah, 1990).no.hadis.4698 juz.3 hlm.156, lihat juga; Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178, Syadzaraat Adz Dzahab 1/51.
[5] KH Shiddiq Amien, “ISLAM’ dari Akidah hingga Peradaban,”( Jakarta :Penerbit Suluk, 2010) hlm.45. Lihat juga QS.Al An’aam : 129, yang artinya : Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. “
[6]Peranan Mahasiswa di era Soekarno di masa pra-kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan (mahasiswa yang berhasil mengusir penjajah dengan berdiplomasi di meja perundingan), di era Soeharto 1960-an (era Soe Hok Gie) s.d 1998 mahasiswa berhasil menggulingkan rezim Soeharto  (Orde Lama-Orde Baru) sampai di era Reformasi. Saat ini, atmosfer untuk menggulingkan pemerintahan pak Jokowi sedang dibangun dengan aksi mahasiswa di beberapa daerah maupun nasional.
[7] Upaya rezim yang kini berkuasa salah satunya memback up media untuk tidak mempublikasi demo mahasiswa menentang Jokowi-JK. Sebagaimana dilansir milis-milis di internet, media social seakan mengungkap “dosa besar” rezim Jokowi agar masyarakat buta terhadap perkembangan pemerintahan yang semakin jelas kebingungan nya memimpin rakyat Indonesia. Sebagaimana diungkap oleh Arbi Muslim aktivis ITB tahun 80’an, “Jika aksi mahasiswa IPB pada kamis (19/3/2015) tidak di ekspos media mainstream berarti isu yang berkembang ada pengusaha yang melakukan pembungkaman media terhadap aksi penurunan Jokowi-JK benar adanya dan merupakan sebuah tindak kejahatan pers”. Lanjutnya,”Berarti pers telah menjadi salah satu instrumen Kapitalis yang membungkam suara-suara Rakyat”.Lihat selengkapnya di; www.kompasislam.com, fenomena ini seperti halnya yang terjadi pada “Arab Spring” dimana peran media sosial, internet mampu menumbangkan rezim-rezim otoriter yang berkuasa.
[8] Sebagaimana paparan, Tatang Muttaqin dalam Komunikasi Politik (1) Pentingnya opini publik karena adanya perubahan yang cepat dalam konteks global sehingga pembentukan suatu opini dalam politik menjadi penting (2) Pembentukan opini publik terkait dengan sensor dan privasi ; kontak dan kesempatan ; waktu dan perhatian ; kecepatan, kata-kata, dan kejelasan makna. Signifikansi pembentukan opini publik juga terkait dengan : (1) Stereotip yang merupakan strategi pembelan diri (2) Penggalangan kepentingan (3) Perekayasaan kehendak bersama sehingga kehendak sebagian dalam hal ini pemimpin, bisa menjadi “kehendak bersama” (4) Pencitraan sebagai orang yang demokratis yang menekankan pada pentingnya penghargaan individual (egosentris) sehingga terbentuk masyarakat mandiri. Pembentukan opini publik membutuhkan dukungan media di dalamnya dikupas “konsep publik yang membeli”, pembaca tetap, hakikat berita, pertautan berita, kebenaran-kesimpulan. Disamping mengoptimalkan media massa, pembentukan opini juga dilakukan melalui ”pengaturan intelijen’ untuk mengorek, menyusup, memecah-belah.
[9] Alam Permana, “Mahasiswa; Identitas Politic Kaum Intelektual”,dalam Buletin RADIKAL edisi.04-Desember 2014.hlm.17.
[10]M Hatta “Tanggung Jawab Kaum Intelegensia” dalam Aswab Mahasin – Ismed Narsir (Peny.), Cendikiawan dan Politik, (Jakarta:LP3ES, 1984), hal.3
[11]Dilihat dari perspektif sistem kehidupan politik bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya pendekatan institusional dengan menekankan kelembagaan sehingga terpetakan pola dan struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai institusi negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari satu sitem politik. Dengan mengubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik. (Lihat : Komunikasi Politik, Tatang Muttaqin, Bappenas.go.id).
Kenyataan yang terjadi rezim Jokowi saat ini, saat model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) kedalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik “ seharusnya” adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Program yang digulirkan pemerintah pun (KIS,KIP, BPJS, dsb) adalah program kepemimpinan periode sebelumnya yang sempat diniatkan namun baru sekarang terealisasikan terlepas berbagai polemik didalamnya
[12] Tatang Muttaqin,”Komunikasi Politik,”hlm.3-4
[13]Tatang Muttaqin,”Komunikasi Politik”,hlm.4-5
[14] Hidup untuk kesenangan materi saja.
[15] Adian Husaini,dalam sebuah artikel “Indonesia Masa Depan: Perspektif Peradaban Islam”­ (Hamid Fahmi Zarkasy dkk, “Membangun Peradaban dengan Ilmu” (Depok : KALAM UI,thn.2010) hlm.64

Jumat, 29 Mei 2015

Konsep Manusia Perspektif Islam

Oleh :
Bidang Sosial Ekonomi Pimpinan Daerah HIMA PERSIS Garut
(Ismail Wafa Amarullah)



Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di muka bumi ini.[1] Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah oleh Allah di  muka bumi[2] karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan. Selain itu, seiring perkembangan zaman,teori-teori tentang konsep manusiapun hadir dari berbagai sumber serta para ilmuan yang mempelajari tentang konsep manusia itu sendiri. oleh karena itu dalam perkembangannya, maka hadirlah istilah-istilah Manusia sebagai system, adaptif, serta holistic dan berbagi istilah-istilah yang lainnya oleh karena itu penulis membagi dua, atas penjelasan konsep manusia. Yaitu ditinjau dari segi pemahan islam dan para ahli psikologi.
Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.[3]
Sikap seseorang biasanya ikut dipengaruhi oleh bagaimana pandangannya terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Seseorang yang memandang dirinya sebagai yang berkuasa dan orang lain sebagai yang dikuasai cenderung bersikap otoriter. Pandangan evolusionisme biologis tentang manusia, bahwa manusia adalah binatang mamalia yang cerdas, berbeda sekali dengan pandangan spiritualisme Hindu, bahwa hakekat manusia adalah roh (atman)nya. Kalau pendidikan atau pembangunan suatu masyarakat di dasarkan kepada pandangan pertama, yang akan di perhatikan adalah pendidikan, jasmani, dan penalaran. Kalau pendidikan dan pembangunan itu di dasarkan kepada pandangan spiritualisme, yang akan diperhatikan tentu hanya pendidikan kerohanian. Demikianlah seterusnya, perbedaan sikap, orientasi pendidikan dan pembangunan pada hakekatnya kelanjutan dari bagaimana pandangan yang melaksanakannya terhadap manusia. Islam juga mengajarkan pandangan tertentu tentang manusia. Sebelum pandangan Islam ini diuraikan, terlebih dahulu ada baiknya difahami dulu perbedaan dan kelebihan manusia di banding dengan makhluk lainnya.[4]
1.      Manusia menurut Islam
Dalam al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia yaitu insan, basyar dan bani Adam. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “penampakan sesuatu yang baik dan indah”. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas. Dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyah serta persamaanya dengan manusia seluruhnya, karena Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan seperti yang terungkap pada al-Qur’an.
“Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang di beri wahyu” (Q.S. Al-Kahfi, 18 : 110)
Dari sisi lain dapat diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata basyar dengan mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Misalnya Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari sel, kemudian kamu menjadi basyar, kamu bertebaran” (Q.S. Ar- Rum, 30 : 20).
Bertebaran disini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran karena mencari rizki kedua hal tersebut tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu Siti Maryam as, mengungkapkan keherananya manakala akan dapat anak padahal ia tidak pernah disentuh oleh basyar (manusia) yang menggaulinya dengan berhubungan seks. (Qs Ali Imron, 3 : 47). Begitulah terlihat, penggunaan kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat). Dan karena itu pula, tugas khalifah di bebankan kepada basyar (Qs Al Hajr 15 : 28 yang menggunakan basyar).
Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dibanding dengan yang berpendapat bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa, lalai) atau nasa-yanusu (terguncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya. Jiwa dan raga, psikis dan fisik, manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental) dan kecerdasan.
Yang jelas sekali kita dapat melihat bahwa al-Qur’an menyebutkan jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan. Menurut al-Qur’an seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah, di dalamnya terdapat tanda-tanda serta berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’an mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiw, dan dengan cara ini mengingat kita akan pentingnya jiwa manusia itu ungkapan tanda-tanda dan jiwa-jiwa yang terdapat dalam kepustakaan Islam bersumber dari pertanyaan sebagai berikut :
“Aku akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Ku dari yang terbentang di horison ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah mereka akan kebenaran itu”. (Q.S Fushilat, 41 : 53)
Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif, sebaliknya berulangkali pula manusia direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah” juga karena jiwanya.[5]
2.      Manusia menurut Psikologi
Manusia sejak semula ada dalam suatu kebersamaan, ia senantiasa berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah kebersamaan, persahabatan, lingkungan kerja, rukun warga dan rukun tetangga, dan bentuk-bentuk relasi sosial lainnya. Dan sebagai partisipan kebersamaan sudah pasti ia mendapat pengaruh lingkungannya, tetapi sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi dan memberi corak kepada lingkungan sekitarnya. Manusia dilengkapi antara lain cipta, rasa, karsa, norma, cita-cita dan nurani sebagai karakteristik kemanusiaannya, kepadanya diturunkan pula agama agar selain ada relasi dengan sesamanya, juga ada hubungan degan sang pencipta.[6]
Manusia di bagi atas tiga bagian, diantaranya :
Manusia sebagai system
Manusia sebagai system artinya manusia terdiri dari beberapa unsur. System yang membentuk suatu totalitas,yakni system adaptif, sis.personal, sis.interpersonal dan sis.sosial
Manusia sebagai adaftip
Manusia sebagai mahkluk holistik
a. Manusia menurut psikologi Barat
Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Determinan tri-dimentional organo-biologi, psiko-edukasi dan sosiokultural in dapat dikatakan dianut oleh semua ahli di dunia psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini untuk ruhani sama sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata-mata.
Selain itu psikologi, apapun alirannya menunjukkan bahwa filsafat manusia yang mendasarinya bercorak anthroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini menyangkut derajat manusia ke tempat teramat tinggi, ia seakan-akan prima causa yang unik. Pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.
Sampai dengan penghujung abad XX ini terdapat empat aliran besar psikologi :
- Psikoanalisis (psychoanalysis)
- Psikologi perilaku (behavior psychology)
- Psikologi humanistik (humanistic psychology)
- Psikologi transpersonal (transpersonal psychology)
Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.[7]
Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari 3 kategori : aspek biologis (struktur ID), psikologis (struktur ego), dan sosiologis (struktur super ego). Dengan pembagian 3 aspek ini maka tingkatan tertinggi kepribadian manusia adalah moralitas dan sosialitas, dan tidak menyentuh pada aspek keagamaan, lebih lanjut Freud menyatakan bahwa tingkatan moralitas digambarkan sebagai tingkah laku yang irasional, sebab tingkah laku hanya mengutamakan nilai-nilai luas, bukan nilai-nilai yang berada dalam kesadaran manusia sendiri.[8]
Teori Freud ini banyak mendapat kecaman dari psikolog lain, Paul Riccoeur misalnya menyatakan bahwa teori Freud telah memperkuat pendapat orang-orang atheis, tetapi ia belum mampu menyakinkan atau membersihkan imam orang-orang yang beragama.
Psikolog lain yang membantah teori Freud adalah Allport, menurutnya pemeluk agama yang sholeh justru mampu mengintegrasikan jiwanya dan mereka tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara serius. Ringkasnya perlu adanya aspek agama dalam memahami kepribadian manusia.[9]
b. Manusia menurut psikologi Islam
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa teori Freud tentang kepribadian manusia mendapat kecaman, maka ditawarkanlah manusia dalam perspektif psikologi Islam.
Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs. Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan, jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi, karena saling membutuhkan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri yang berlawanan, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Pembagian substansi tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaly yang di rujuk dari konsep Ikhwan al-Shafa.
1) Substansi jasmani
Jasad adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna di banding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setiap makhluk biotik lahiriyah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air.[10]
Jisim manusia memiliki natur tersendiri. Al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari alam ciptaan, yang memiliki bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Begitu juga al-Ghazali memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak, memiliki ras, berwatak gelap  dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi, sedang menurut Ibnu Maskawaih bahwa badan sifatnya material, Ia hanya dapat menangkap yang abstrak. Jika telah menangkap satu bentuk kemudian perhatiannya berpindah pada bentuk yang lain maka bentuk pertama itu lenyap.[11]
2) Substansi rohani
Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism latief), ada yang substansi sederhana (jaubar basiib), dan ada juga substansi ruhani (jaubar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh memiliki arti jaubar (subtance) sedang spirit lebih bersifat aradh (accident).
Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya. Sedang bagi al-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad.[12]
Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzy menyatakan pendapatnya bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian : roh jasmaniah dan roh rihaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat diruangan hati (jantung) serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut ke seluruh tubuh, karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghaib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain (kepribadiam, ber-ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya.
Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa roh itu memang sesuatu yang ghaib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia, akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghaib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang menutup kemungkinannya.[13]
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan terdapat poin-poin penting, yaitu :
1.      Manusia terdiri dari 2 substansi yaitu substansi jasad dan substansi roh
2.      Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi.
3.      Hakikat psikologi Islam dapat dirumuskan yaitu kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI
Dr. Rifaat Syauqi Nawawi, MA., dkk., Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Bustanuddin Agus, al-Islam, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993.
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Abdul Mujib, M.Ag, dan Yusuf Muzakir, M.Si., Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, Offset Indah, Surabaya, 1993.





[1] Q.S. 95 : 4
[2] Q.S. 2 : 30
[3] Rifaat Syauqi Nawawi, MA., dkk., Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 3
[4] Bustanuddin Agus, al-Islam, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993, hal. 18-19
[5] Rifaat Syauqi Nawawi, MA., dkk., op.cit., hal. 5-7
[6] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal. 48
[7] Ibid., hal. 49
[8] Abdul Mujib, M.Ag, dan Yusuf Muzakir, M.Si., Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 70
[9] Ibid., hal. 71
[10] Ibid., hal. 38-40
[11] Ibid., hal. 41
[12] Ibid., hal. 41-42
[13] Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, Offset Indah, Surabaya, 1993, hal. 15