Rabu, 24 Oktober 2012

Menikam "Ulul Albab"


Menikam “Ulul Albab”
(Memaknai kembali Diskursus Hima Persis)[1]
Fadjar Goemelar[2]
Pendahuluan
            Belakangan ini perhatian saya sebagai mahasiswa terpusat pada usaha usaha kontemplasi dalam memaknai gerakan kemahasiswaan sebagai sebuah keniscayaan. Hal tersebut menunjukan besarnya hasrat akan interpretasi yang lebih imajinatif tentang hakikat dari urgensi pergerakan mahasiswa itu sendiri. adalah Hima Persis, organisasi kemahasiswaan yang sejak 1996 telah bergulat dengan realitas, segmentasi khas Persis mewarnai sepak terjang jami’yyah ini. Dengan mengusung term “Ulul Albab”[3] Hima Persis mengikrarkan eksistensinya, sebagai klaim atas cita cita luhur yang di formulasikan sebagai ideologi bersama.
            Gagasan besar dari tulisan ini adalah usaha aktualisasi ideologis akan terminologi ulul albab yang sebenarnya bukanlah sekedar ideal yang ke arah itu kita harus menuju, akan tetapi merupakan prototype eksistensial Hima Persis. Itulah pola atau arketipe asli yang menjadi model gerakan Hima Persis. Adapun fokus fokus kajian dalam diskursus ini lebih di titik beratkan pada pencarian makna atas fungsi sosio-politik Hima Persis yang harus diakui merupakan bagian dari realitas kekinian, dengan harapan Hima Persis akan bisa lebih bersikap luwes dan membuka diri untuk mampu berjabat tangan dengan perkembangan modernisasi.
            Tantangan nyata yang dihadapi sebuah ideologi (dalam hal ini Ulul Albab) adalah paradigma pragmatis yang cenderung menjerumuskan kita pada kenyataan bahwa orientasi gerakan mahasiswa menjadi seperti hedonis belaka. Untuk itu, perlu segera dirumuskan kiat penanggulangan yang nyata dan lebih jujur terhadap kapasitas yang dimiliki, karena ketika peran ideologi dalam satu organisasi tidak lagi mempunyai makna atau relevansi, ia akan secara diam diam ditinggalkan dan digantikan oleh konsepsi lain.
            Secara sederhana saya juga ingin jujur bahwa gagasan ini muncul karena adanya perpsektif aral yang menggambarkan bahwa ternyata Hima Persis gagal membawa Konsepsi Ulul Albab ke ranah praktis yang nyata. Ulul Albab masih berupa khayal yang menjelma menjadi cita cita luhur yang sulit untuk di rasionalisasi dan dibawa ke dimensi fisik, tentunya yang menjadi parameter ialah : sejauh mana Ulul Albab benar benar paripurna dalam ide dan dalam realitas adalah pencapaian kongkrit di masyarakat, serta tumbuhnya etos etos intelektual yang “tangguh” di tubuh Hima Persis itu sendiri.

Menikam “Ulul Albab”: Rekonstruksi Substansial Trias Politika Hima Persis
            Sepak terjang Hima Persis memiliki fase fase orientasi yang berbeda di masing masing periode. Yang menarik bagi saya adalah menelaah Hima Persis pada periode kepemimpinan sdr. Lam Lam Pahala (2005 – 2010), karena memiliki masa kepemimpinan yang panjang, maka saya asumsikan bahwa ada pengaruh yang pekat bagi Hima Persis di masa selanjutnya, pandangan tersebut juga tanpa sedikitpun niatan untuk menafikan jasa jasa dan kinerja dari pemimpin Hima Persis pada periodesasi sebelum atau sesudahnya.
            Gaya kepemimpinan dua periode Lam-lam Pahala (2005 – 2010) memang merupakan manifesto gerakan Hima Persis dengan digagasnya dalam Trias Politika Hima Persis; Intelektualitas, Transformasi Sosial, dan Perubahan Iklim Politik.[4] Sampai disini, rasanya cukup aman untuk menyatakan bahwa ada proses ideologisasi yang terlalu penting untuk dilewatkan dalam dialek pencarian jati diri Hima Persis.
            Tanda Tanya yang semakin besar bagi saya, setiap kali mengarungi gejolak ke-Hima Persisan adalah apakah konsepsi Trias Politika tersebut memang benar benar relevan di masa sekarang ?. lalu apakah Trias politika tersebut telah benar benar difahami oleh Hima Persis secara keseluruhan ?. lalu bagaimana cara menerjemahkan konsepsi tersebut secara nyata, mengingat bahwa konteks gerakan mahasiswa itu selalu dinamis.
            Pertanyaan pertanyaan diatas yang membuat saya sangsi pada konsistensi Hima Persis dalam kaitannya dengan usaha pergulatan politik di Indonesia. Maka terlebih dahulu saya akan mengajak untuk sama sama mengarungi Terminologi Trias Politika. Dalam tulisannya yang berjudul Diskursus Hima Persis, Sdr Lam Lam Pahala mengemukakan bahwa :

Dalam mapping [pemetaan] gerakan mahasiswa terpetakan kedalam tiga kategori; pertama, gerakan intelektual. Kelompok ini lebih banyak bermain di alam ide, ekspresi keilmuan, diskursus dan negosiasi wacana. Mereka lebih menekankan kepada aspek keilmuan ansich, tidak mencoba untuk turun dari pertapaan keilmuannya dalam perubahan di tengah-tengah masyarakat. Kedua, gerakan sosial. Kelompok ini dalam melakukan perubahannya lebih pada sesuatu yang kongkrit dan terasa oleh masyarakat. Kelompok ini sadar akan dirinya merupakan bagian dari masyarakat dan harus berbuat sesuatu untuk masyarakat, tanpa memperdulikan apa yang menjadi akar permasalahannya. Ketiga, gerakan politik. Dalam kerangka kelompok ketiga ini, mereka senantiasa mengkritisi kebijakan pemerintah, meresfon apa yang menjadi persoalan bangsa dan homework nasional. Sekecil apapun peluang yang nampak, mereka akan manpaatkan, kalau kemudian hal itu bertentangan dengan paradigma gerakannya.[5]

Pesan dari gagasan di atas yang terdiri dari tiga variabel dapat dikatakan bahwa ketiganya tidak bisa berdiri sendiri, Ada semacam keniscayaan untuk melestarikan kesinambungan satu sama lainnya. Dengan demikian, proses kontemplasi untuk memahami gerakan Hima Persis haruslah terlebih dahulu memahami ketiga platform diatas.
Tetapi pada kenyataannya, saya merasa sedikit sangsi khususnya pada poin ketiga; yaitu terkait fungsi politik Hima Persis yang dikatakan bahwa kelompok gerakan politik ini harus senantiasa mengkritisi kebijakan pemerintah, merespon persoalan bangsa, dan mampu untuk berontak menyikapi tantangan paradigmanya. Sebenarnya yang terpenting adalah merasionalisasikan paradigma tersebut kedalam bentuk yang lebih kongkrit dan jelas, tentunya paparan saya ini akan cenderung membawa kepada kesimpulan bahwa sudah saatnya Hima Persis bersikap lebih luwes dengan membuka diri untuk mempertimbangkan terjun ke ranah politik praktis.
Gagasan yang saya promosikan ini bukan tanpa alasan, karena ternyata Hima Persis pada saat pertama kemunculannya (Orde Baru) mengalami pergeseran kontekstual ideologi terkait relevansinya dengan Hima Persis masa sekarang (era demokrasi). Seperti yang dikemukakan Huntinton (1991) bahwa mekanisme transisi politik dari pemerintahan ortoriter ke demokratis dengan mengajukan empat model perubahan politik. Pertama, model transformasi (transformation). Dalam hal ini, inisiatif demokratisasi berasal dari pemerintah. Pemerintahlah yang melakukan liberalisasi sistem politik. Biasanya model ini terjadi di negara yang pemerintahannya sangat kuat, sementara masyarakat sipilnya lemah. Transisi yang terjadi di Taiwan pada awal tahun 1990-an, ketika pemerintah Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang demokratis kira-kira masuk dalam model ini. Juga proses perubahan transisi politik yang terjadi di Spanyol dan Brazil.
Kedua, model replasi (replacement). Model ini terjadi ketika pemerintah yang berkuasa dipaksa untuk meletakkan kekuasaannya dan kemudian digantikan oleh kekuatan oposisi. Berbeda dengan model pertama di atas, model ini terjadi di negara yang pemerintahannya mulai lemah, sedangkan masyarakat sipilnya tubuh menjadi kuat. Rejim Marcos di Filipina yang dipaksa turun oleh rakyatnya dan kemudian digantikan oleh Cory Aquino merupakan contoh yang tepat untuk model ini, selain Jerman Timur dan Portugal.
Ketiga, model transplasi (transplacement). Model ini merupakan gabungan dari dua model yang sudah disebutkan di atas. Model ini terjadi karena pemerintah yang berkuasa masih kuat, sementara pihak oposisi belum terlalu solid untuk menjatuhkannya. Maka diupayakanlah berbagai proses negosiasi antara pihak pemerintah dan pihak oposisi tentang bagaimana langkah-langkah yang harus diambil bersama untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis secara gradual. Lech Walesa di Polandia agaknya mempraktekkan model ini dengan cara melakukan negosiasi dengan pihak militer untuk mewujudkan demokratisasi. Hal yang sama terjadi di Bolivia dan Nicaragua.
Keempat, model intervensi (intervention). Model ini terjadi disebabkan oleh keterlibatan pihak eksternal yang turut campur. Contoh kasus yang paling tepat barangkali adalah intervensi angkatan perang AS terhadap pemerintahan Panama dengan tuduhan keterlibatan jaringan perdagangan obat bius. Intervensi akhirnya mendorong dilaksanakan pemilu yang demokratis.[6]
Berdasarkan penjelasan diatas dapat saya katakan bahwa pergerakan mahasiswa berbeda pada setiap masa transisi, sangat bervariasi. Kalau kita hubungkan dengan konteks orde baru dimana Hima Persis ini lahir, maka atmosfir sosial pada saat itu seolah memenjarakan mahasiswa dalam kotak kotak kepentingan pembangunan, merampas hak hak mahasiswa sebagai pelopor pembaharuan.
bersamaan dengan berlangsungnya proses restrukturisasi politik rezim Orde Baru (1973), yang berakibat pada pembatasan jumlah partai politik hanya menjadi tiga (PPP, Golkar dan PDI), kalangan generasi baru para pemikir dan aktivis Muslim memutuskan untuk mengartikulasikan gagasan Islam politik melalui mekanisme-mekanisme yang lebih luas. Dalam hal ini, saluran-saluran tambahan yang paling banyak digunakan adalah LSM, media massa, penerbitan-penerbitan, lembaga-lembaga negara, dan pusat-pusat kekuasaan lainnya yang terkait. Menggunakan lembaga-lembaga tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan sosial-politik Islam merupakan langkah logis. Bahkan, itu juga mencerminkan konsekuensi alamiah dari pertumbuhan intelektualisme baru. Karena generasi para pemikir dan aktivis Muslim yang baru muncul ini sudah siap terlibat dalam diskursus baru mengenai Islam politik, maka pemanfaatan jalur-jalur lain yang mungkin (selain partai-partai politik) sebagian besar didasarkan kepada mekanisme yang memiliki afinitas langsung dengan basis sosial-intelektual mereka. Selain karena struktur politik rezim Orde Baru, pilihan mereka akan arena kegiatan sosial-politik yang beragam tersebut secara langsung dipengaruhi oleh meningkatnya ekspose mereka kepada pendidikan dan komunikasi modern.[7]
Dengan demikian, pandangan bahwa harus adanya kontekstualisasi yang akurat di tubuh Hima Persis merupakan suatu keharusan yang urgen. Etos politik pada era demokrasi ini memungkinkan setiap lapisan masyarakat termasuk mahasiswa untuk terlibah aktif didalamnya, namun dengan catatan bahwa kritisasi saja tidak cukup, harus ada langkah kongkret yang ditempuh (tentunya dengan konsekuensi yang harus dihadapi).

Memaknai kembali Diskursus Hima Persis
            Dalam dialek penegasan eksistensi dan fungsi Hima Persis didalam ranah sosial politik, nampaknya Hima Persis harus me-rekonstruksi kembali gagasan besar ideologinya yang sebenarnya bukanlah Ulul Albab, melainkan semangat tajdid(pembaharuan). Semangat tajdid itulah yang melatarbelakangi lahirnya Hima Persis, lahirnya Persis. Lalu pertanyaannya adalah, apakah tajdid berakhir begitu saja ketika hasrat pembaharuan telah diterjemahkan dalam bentuk jami’yyah legal-formal ?, diartikulasikan dalam bentuk “terbentuknya kader Ulul Albab” ?.
            Saya rasa agenda selanjutnya bagi Hima Persis adalah mulai mempertimbangkan untuk terjun ke dunia politik yang lebih riil, yang lebih dari sekedar kritisasasi dan responsif akan isu isu sosial. Karena, Pendekatan politik Islam dewasa ini, seperti yang belakangan dikembangkan oleh generasi baru kaum intelektual dan aktivis Muslim, cenderung semakin inklusif atau integratif. Watak inklusif atau integratif pendekatan tersebut khususnya tampak dalam (1) cara para pemikir dan aktivis Islam politik sekarang mengekspresikan gagasan sosial-politik mereka; dan (2) bagai-mana mereka berupaya merealisasikan tujuan-tujuan sosial-politik Islam.[8] Dengan demikian, usaha Hima Persis dalam merealisasikan tujuan sosial politik-nya tidak lagi berada dalam paradigma aksi kritikal, namun harus mampu memiliki kekuatan politik sehingga benar benar bisa direalisasikan.
            Jika selama ini paradigma yang dibangun adalah bagaimana agar dapat senantiasa mengawal political willpemerintah berdasarkan ideologi ideal yang dimiliki, maka sudah saatnya Hima Persis merebut peranan dan memiliki political will sendiri dalam rangka mengejawantahkan bekal intelektualitas dan kepekaan moral yang telah ditempa dalam pergolakan ber-Hima Persis.



Penutup
Pada akhirnya saya ingin menyatakan bahwa diskursus idiologis Hima Persis sebagai artikulator utama bagi agenda sosial politik Mahasiswa Persis belum sepenuhnya menjawab tantangan tantangan yang ada, selama belum adanya langkah politis yang nyata.
Keberadaan terminologi Ulul Albab jangan sampai tidak di terjemahkan secara paripurna, karena hal tersebut akan mengundang asumsi bahwa Ulul Albab di Hima Persis hanya merupakan bentuk Marginalisasi Libido ber-politik Jami’yyah-nya.
Hima Persis harus memaknai dasar dasar utama gerakannya untuk memungkinkan organisasi ini berfungsi secara progres. Dengan demikian, secara sederhana pendekatan yang harus dilakukan adalah beberapa hal berikut : pertama, merekonstruksi kembali fungsi sosio politiknya, yang selama ini terkekang oleh platform gerakan intelektualisme yang abstrak. Kedua, menerjemahkan kembali semangat tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya itulah ciri khas Persatuan Islam. Pembaharuan yang dimaksud lebih merupakan penekanan pada harus adanya proses Re-thingking Ulul Albab, atas perannya sebagai ideologi gerakan yang seharusnya membawa pada pencapaian pencapaian yang kongkret.
 wallahu a’lam bil haq 





[1] Disampaikan pada KABAH VII Hima Persis DKI Jakarta 19 – 21 Oktober 2012
[2] Mahasiswa Filsafat UIN Jakarta.
[3] Konsepsi tentang ulul albab seperti dikemukakan oleh Quraish Shihab, beliau  menyatakan bahwa jika ditinjau secara etimologis, kata albab adalah bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. (lihat : Muhamad Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah Jilid I. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Hlm. 394)
[4] Lihat, Irwan Sholeh, Serpihan Sejarah Hima Persis. www.Himapersis.com, Maret 2011
[5]Lam lam pahala. Makalah : Diskursus Hima Persis
[6] Huntington, S.P (1991) Gelombang Demokrasi Ketiga, terjemah dari The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Jakarta : Pustaka Utama graffiti
[7] Lihat : Effendi, Bahtiar. Islam Dan Negara : Transformasi Gagasan Dan Praktik Politik Islam Di Indonesia. Yayasan Abad Demokrasi. Jakarta. 2011.
[8] Effendi, Bahtiar. Islam Dan Negara : Transformasi Gagasan Dan Praktik Politik Islam Di Indonesia. Yayasan Abad Demokrasi. Jakarta. 2011.

Tidak ada komentar: