Oleh :
Nashruddin Syarief
(Doktor Bidang Pemikiran Islam, Pimred RISALAH, Dosen Kampus Bening STAIPI Garut)
Istilah korupsi memang tidak
ditemukan dalam khazanah fiqih Islam. Tetapi tidak berarti bahwa syari’at Islam
abai sama sekali dari kejahatan besar yang satu ini. Dalam konteks ini, maka
Fiqih Korupsi harus dirumuskan. Selain memberikan kepastian kejahatan korupsi
dalam timbangan syari’at Islam, juga memberikan kepastian kepada umat Islam apa
saja yang masuk kategori korupsi.
Korupsi adalah satu kata yang sangat sering didengar
oleh masyarakat. Saking seringnya terdengar melalui pemberitaan di media, maka
semakin muak juga masyarakat mendengarnya. Alih-alih menjadi perhatian, terlalu
seringnya pemberitaan tentang itu malah menjadikannya sering diabaikan. Tetapi
ini juga menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi penyakit masyarakat yang
mewabah. Tidak hanya para penjahat yang sudah terbiasa dengan kejahatan, tetapi
para intelektual dan tokoh agama pun turut terlibat dalam kejahatan yang satu
ini.
Kejahatan korupsi sungguh luar biasa, menjadikan
negara lumpuh wibawa dan rakyat sengsara. Dampak negatifnya menimpa secara
merata pada semua lapisan masyarakat. Seandainya korupsi tidak ada, atau
minimalnya hanya terjadi pada satu dua tempat tidak secara massif seperti saat
ini, pasti rakyat akan mendapatkan penghidupan yang layak; keadilan akan
dirasakan semua pihak, karena tidak ada lagi keberpihakan atas nama kedekatan
atau besarnya sogokan; kedisiplinan dan etos kerja yang merupakan penunjang
utama kesejahteraan masyarakat akan terwujud secara merata di setiap individu
karena penghargaan yang diterima benar sesuai dengan etos kerja yang
diwujudkan, bukan sesuai dengan seberapa besar tip yang akan diterima atau
penggelapan yang mahir dilakukan.
Fakta bahwa kebanyakan koruptor adalah seorang muslim,
tidak bisa dianggap sepi begitu saja. Memang benar jika jawabannya karena
kebetulan mayoritas penduduk negeri ini muslim, sebab di Amerika yang mayoritas
Kristen kebanyakan koruptor tentunya dari kalangan Kristen. Akan tetapi umat
Islam tidak sepantasnya menjadikan jawaban tersebut sebagai dalih pembiaran.
Sebab walau bagaimanapun faktanya korupsi lebih massif dilakukan (lebih banyak
terjadi dan melibatkan semua lapisan masyarakat) daripada pembunuhan. Tidak
mustahil salah satu penyebabnya karena korupsi tidak dianggap dosa besar
sebagaimana halnya pembunuhan. Jika untuk membunuh masih banyak masyarakat yang
merasa berdosa besar, lalu kenapa untuk korupsi tidak merasa berdosa besar. Ini
menunjukkan juga bahwa pemahaman korupsi dalam tinjauan syari’at Islam masih
sangat minim, dan itu artinya kajian-kajian “fiqih korupsi” di kalangan umat
Islam masih sering diabaikan.
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio,
dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik (id.wikipedia.org). Secara istilah, korupsi berarti
“penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi” (Transparency International
Indonesia [www.ti.or.id]). Sebagaimana dijelaskan oleh Atip Latifulhayat, Ph.D,
pakar hukum dari Universitas Padjadjaran, korupsi sebenarnya bukan persoalan
yang berkaitan dengan uang. Kerugian Negara berupa uang adalah akibat dari
korupsi saja. Korupsi pada hakikatnya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau
wewenang, selingkuh kekuasaan/abuse of power dan penyalahgunaan
kepercayaan dari rakyat/abuse of trust (Majalah Risalah edisi Juli 2010,
hlm. 5).
Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya dalam UU No. 20 Tahun 2001
Pasal 2 s.d 16, perbuatan-perbuatan yang termasuk korupsi adalah:
- Melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
- Menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri.
- Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri, penyelenggara negara,
hakim, atau advokat dengan maksud supaya yang diberi tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya.
- Pemborong,
ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, juga pengawas
yang membiarkannya. Termasuk barang-barang lainnya untuk keperluan Negara.
- Menggelapkan
uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan
uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
- Memalsu
buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
- Menggelapkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di
muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
membiarkan, atau membantunya.
- Menerima
hadiah atau janji karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya.
- Memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
- Menggunakan
tanah negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
- Turut
serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
- Melakukan
percobaan, pembantuan, permufakatan jahat, memberikan kesempatan, sarana,
atau keterangan untuk tindak pidana korupsi.
Dari uraian jenis-jenis tindak pidana korupsi di atas,
kita bisa menyimpulkan bahwa yang termasuk korupsi itu adalah penggelapan,
pemalsuan, pemerasan, pemotongan, perbuatan curang, suap menyuap, dan
gratifikasi (hadiah terkait jabatan) yang semuanya berujung pada menguntungkan
diri sendiri.
Tinjauan Fiqih Islam
Sebagai sebuah modus pidana baru, korupsi tidak
ditemukan padanannya yang sama persis dalam khazanah fiqih Islam, tepatnya
dalam hal ta’rif (definisi) dan maudlu’ (materi)-nya.
Meski demikian, dilihat dari karakteristik tindak pidananya, korupsi ini
sepadan dengan perbuatan pidana yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam fiqih
Islam, yaitu: ghashb (mengambil hak orang lain), risywah (suap), ghulul
(penyelewengan jabatan untuk keuntungan pribadi), dan fasad (merusak).
Ghashb
Ghashb artinya mengambil hak orang lain. Dalam tema ini
terdapat juga perbuatan jahat lain yang serupa tapi tak sama dengan ghashb, yaitu
khianat (menipu/menggelapkan), ikhtilas (mencopet), intihab (merampas),
dan sariqah (mencuri). Pengertian dan batasan makna dari kelima
perbuatan jahat ini akan diuraikan berikut ini.
Ghashb sebagaimana didefinisikan oleh para ulama Syafi’iyyah
dan Hanabilah adalah:
اَلْغَصْبُ: اَلْاِسْتِيْلاَءُ
عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ (مِنْ مَالٍ أَوِ اخْتِصَاصٍ) عُدْوَاناً
Menguasai hak orang lain (harta atau kepemilikan
lainnya) secara paksa (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 5 : 709).
Dalam al-Qur`an, istilah ghashb ditemukan dalam
surat al-Kahfi:
(Khidlr berkata kepada Musa:) Adapun bahtera itu
adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera (QS. al-Kahfi [18] : 79).
Dalam hadits, istilah ghashb ditemukan dalam
riwayat berikut:
من غَصَبَ
رَجُلا أَرْضًا ظُلْمًا لَقِيَ اللَّهَ وهو عليه غَضْبَانُ
Siapa yang merampas tanah seseorang dengan zhalim, ia
pasti bertemu Allah dalam keadaan murka kepadanya (Al-Mu’jamul-Kabir bab ‘Abdul-Malik
ibn ‘Umari ‘an ‘Alqamah ibn Wa`il no. 24. Tetapi dalam sanadnya ada rawi
bernama Yahya al-Himmani yang dinilai dla’if oleh al-Haitsami [Jami’ul-Ahadits
no. 23035]).
Hadits shahih yang semakna dengan riwayat di atas
adalah:
مَنْ ظَلَمَ
مِنْ الْأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Siapa yang zhalim dalam hal tanah meskipun sedikit, pasti akan dibebankan
kepadanya tujuh bumi (Shahih al-Bukhari kitab al-mazhalim bab itsmi
man zhalamah syai`an minal-ardli no. 2452).
Dua hadits di atas menggambarkan betapa besarnya dosa ghashb.
Hukuman untuk ghashb ini adalah mengembalikan apa yang telah
diambilnya. Jika yang diambilnya itu telah rusak atau habis, maka pelaku ghashb
harus menggantinya. Nabi saw bersabda:
لاَ
يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا وَمَنْ أَخَذَ
عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا
Janganlah salah seorang dari kalian mengambil harta
saudaranya, baik itu main-main atau sungguh-sungguh. Dan siapa yang mengambil
tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya (Sunan Abi Dawud kitab al-adab bab
man ya`khudzus-syai`a ‘alal-mizah no. 5005; Sunan at-Tirmidzi kitab al-fitan
bab dima`ukum wa amwalukum ‘alaikum haramun no. 2160).
Masuk dalam kategori mengambil hak orang lain ini
khianat (menipu/menggelapkan), ikhtilas (mencopet), dan intihab
(merampas), sebab pada ketiga amal ini telah terjadi pengambilan hak orang
lain. Hukumannya pun sama, harus mengembalikan lagi barang yang diambilnya.
Akan tetapi, perbuatan-perbuatan jahat tersebut tidak bisa disamakan statusnya
dengan sariqah (mencuri), sebab untuk sariqah hukumannya potong
tangan, sementara untuk ghashb, khianat (menipu/menggelapkan), ikhtilas
(mencopet), dan intihab (merampas) tidak ada hukuman potong tangan.
Nabi saw bersabda:
لَيْسَ عَلَى
الْخَائِنِ قَطْعٌ وَلاَ عَلَى الْمُخْتَلِسِ قَطْعٌ
Tidak ada hukuman potong tangan untuk
khianat/menipu/menggelapkan dan ikhtilas/mencopet (Sunan Abi Dawud kitab al-hudud
bab al-qath’ fil-khulsah wal-khiyanah no. 4395; Shahih Ibn Hibban
kitab al-hudud bab haddis-sariqah no. 4458. Al-Albani dan Syu’aib
al-Arnauth menilai hadits ini shahih).
لَيْسَ عَلَى
الْمُنْتَهِبِ قَطْعٌ وَمَنِ انْتَهَبَ نُهْبَةً مَشْهُورَةً فَلَيْسَ مِنَّا
Tidak ada hukuman potong tangan untuk
intihab/merampas. Siapa yang merampas terang-terangan maka ia bukan dari
golongan kami (Sunan Abi Dawud kitab al-hudud bab al-qath’ fil-khulsah
wal-khiyanah no. 4393).
Wahbah az-Zuhaili menjelaskan khianat sebagai
berikut:
وَالْخَائِنُ: هُوَ الَّذِي
يُضْمِرُ مَا لاَ يُظْهِرُهُ فِي نَفْسِهِ. وَالْمُرَادُ بِهِ: هُوَ الَّذِي
يَأْخُذُ الْمَالَ خُفْيَةً مِنْ مَالِكِهِ مَعَ إِظْهَارِهِ لَهُ النَّصِيْحَةَ
وَالْحِفْظَ
Orang yang khianat adalah orang yang menyembunyikan
dalam hati apa yang berbeda dengan yang diperlihatkan. Maksudnya mengambil
harta secara sembunyi-sembunyi dengan berpura-pura memperlihatkan kejujuran dan
ketelitian (al-Fiqhul-Islami
wa Adillatuhu 6 : 93).
Sementara ikhtilas dan intihab adalah:
اَلْاِخْتِلاَسُ
أَنْ يَسْتَغْفِلَ صَاحِبُ الْمَالِ فَيَخْطَفُهُ وَيَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ جَهْراً
Ikhtilas: Menunggu pemilik harta lengah, lalu
mengambilnya dan pergi segera, secara terang-terangan (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 6
: 93).
اَلْاِنْتِهَابُ: مَأْخُوْذٌ
مِنَ النَّهْبَةِ وَهِيَ الْغَارَةُ وَالسَّلْبُ، وَالْمُرَادُ بِهِ: اَلَّذِي
يَأْخُذُ الْمَالَ عَلَى جِهَةِ الْغَلْبَةِ وَالْقَهْرِ
Intihab asal katanya nahbah yaitu menyerang dan
mengambil. Maksudnya: Orang yang mengambil harta dengan menyerang dan memaksa (al-Fiqhul-Islami
wa Adillatuhu 6 : 94).
Meski tidak ada hukuman potong tangan, bukan berarti
tidak ada hukuman sama sekali. Sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam hadits
riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi di atas, setiap perbuatan mengambil hak orang
lain, hukumannya harus mengembalikan apa yang sudah diambilnya, atau disita
secara paksa aset yang dimiliki sebagai ganti dari hak orang lain yang sudah
diambilnya. Di samping itu, untuk menimbulkan efek jera bisa juga diterapkan
hukuman lain berdasarkan kebijakan pemimpin (ta’zir) seperti dera dan
penjara (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 6 : 95).
Sementara sariqah (mencuri), hukumannya
potong tangan. Definisi lebih jelas dari sariqah itu sendiri, dijelaskan
Wahbah az-Zuhaili sebagai berikut:
اَلسَّرِقَةُ: هِيَ أَخْذُ
مَالِ الْغَيْرِ عَلَى الْخُفْيَةِ وَالْاِسْتِتَارِ
Sariqah: Mengambil harta orang lain secara
diam-diam dan sembunyi-sembunyi (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 6 : 92).
Wahbah az-Zuhaili menjelaskan lebih lanjut bahwa yang
dimaksud dengan khufyah (diam-diam pada barang yang sembunyi) adalah
ketika mengawali sampai mengakhiri pencurian, dan itu ditujukan pada
barang/uang/harta yang ada pada tempat penyimpanannya yang biasa. Contohnya,
orang yang masuk ke rumah orang lain secara sembunyi-sembunyi, lalu mengambil
uang/barang bukan miliknya yang tersimpan pada tempatnya yang biasa dan tersembunyi,
dan keluar dengan sembunyi-sembunyi pula. Dari definisi ini bisa diketahui
bahwa letak perbedaan sariqah dengan khianat (menipu), ikhtilas
(menggelapkan), dan intihab (menjarah) adalah pada kriteria khufyah-nya.
Untuk sariqah ini, Al-Qur`an dan hadits
sudah menjelaskan hukumannya sebagai berikut:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana (QS.
al-Ma`idah [5] : 38).
Penyebutan secara khusus “perempuan yang mencuri”
dalam ayat di atas, menurut al-Hafizh Ibn Katsir, karena memang hukum potong
tangan ini sudah diberlakukan sejak zaman Jahiliyyah, hanya perempuan yang
mencuri sering tidak dikenai hukuman. Maka dari itu, orang-orang Quraisy di
waktu Fath Makkah pernah meminta keringanan hukuman kepada Rasulullah saw untuk
seorang wanita terhormat dari Makhzumiyyah yang mencuri, karena berasumsi
wanita bisa dibebaskan dari hukuman potong tangan. Agar permohonan mereka
dikabulkan, Usamah ibn Zaid yang disayangi oleh Nabi saw pun diminta oleh
mereka untuk turut mengajukan permohonan tersebut. Akan tetapi Rasul saw
menolaknya dengan keras:
“Kenapa kamu berani memberikan bantuan dalam urusan
hukum Allah?” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah: “Wahai manusia, sungguh sesatnya
orang-orang sebelum kalian adalah apabila yang mencuri orang-orang mulia/tokoh,
dibiarkan, tapi jika yang mencuri orang lemah/rakyat kecil, hukuman ditegakkan.
Demi Allah, seandainya saja Fathimah putri Muhammad mencuri, pasti Muhammad
akan potong tangannya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-hudud bab karahiyatis-syafa’at
fil-hadd no. 6788)
Waktu itu juga, kata ‘Urwah, Rasul saw memerintahkan
wanita yang mencuri itu dipotong tangannya. Tidak lama dari itu, kata ‘Aisyah,
Rasul saw berhubungan baik dengan wanita tersebut, dan menyatakan kepadanya
bahwa ia telah bertaubat dengan sebenar-benarnya (Fathul-Bari kitab al-hudud
bab karahiyatis-syafa’at fil-hadd)
Perihal nishab (batas minimal berlaku) hukuman
potong tangan ini, Nabi saw menjelaskan:
تُقْطَعُ
الْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا
Tangan itu dipotong karena mencuri ¼ dinar ke atas (Shahih
al-Bukhari kitab al-hudud bab qaulil-‘Llah ta’ala was-sariqu
was-sariqatu no. 6789).
Dalam riwayat Muslim, batasan minimal ini kalimatnya
lebih jelas lagi:
لاَ تُقْطَعُ
يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِى رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا
Tidak dipotong tangan pencuri kecuali karena mencuri ¼
dinar ke atas (Shahih Muslim kitab al-hudud bab haddis-sariqah wa nishabiha no.
4494-4496).
Dalam kaitan hadits ini, Imam al-Bukhari mengutip
sebuah riwayat yang menyatakan bahwa ‘Ali memotong tangan pencuri pada
pergelangan tangannya. Juga riwayat dari Qatadah (tabi’in) yang menyatakan
bahwa yang dipotong itu tangan kirinya. Sementara itu, ukuran ¼ dinar jika
diuangkan saat ini kurang lebih Rp. 600.000,-. Penjelasannya: 1 dinar itu
artinya 1 keping uang emas. Jika diukurkan pada timbangan gram emas hari ini
adalah 4,5 gram. Ini merujuk pada hadits Nabi saw tentang nishab zakat
simpanan emas sebanyak 20 dinar yang jika diukurkan pada timbangan emas hari
ini adalah 90 gram (Sunan Abi Dawud kitab az-zakat bab fiz-zakat
as-sa`imah no. 1575). Jika 20 dinar = 90 gram, maka 1 dinar = 4,5 gram, dan
¼ dinar = 1,125 gram. Jika harga emas 24 karat 1 gramnya Rp. 500.000,- maka
1,125 gram kurang lebih Rp. 600.000,-.
Terdapat juga riwayat lain yang menyatakan bahwa Nabi
saw pernah memotong tangan pencuri yang terbukti mencuri senilai 3 dirham (uang
perak).
Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw
memotong (tangan pencuri) yang mencuri sebuah alat pelindung tubuh yang
harganya tiga dirham (Shahih al-Bukhari kitab al-hudud bab qaulil-‘Llah
ta’ala was-sariqu was-sariqatu no. 6795-6798)
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Aisyah di
atas yang menyatakan ¼ dinar, sebab 3 dirham itu senilai dengan ¼ dinar
(Fathul-Bari).
Berdasarkan uraian di atas, maka bisa dipastikan
korupsi termasuk pada ghashb dan khianat, tepatnya dalam hal
aspek pemerasan, pemotongan secara paksa, penggelapan dan pemalsuan. Tidak
termasuk pada sariqah karena memang tidak ada upaya mengambil secara khufyah
(diam-diam) pada barang/uang yang tersimpan pada suatu tempat. Tidak
termasuk ikhtilas, karena bukan aktivitas mencopet. Dan tidak termasuk intihab
karena bukan perbuatan merampas secara paksa dengan menyerang lawan. Meski
tidak masuk pada kategori sariqah, ikhtilas, dan intihab, tetap
saja perbuatan korupsi ini dosa dan harus dikenai hukuman pengembalian secara
paksa dan penyitaan.
Perbuatan ghashb dan khianat biasa
dilakukan dalam penggelapan pajak, pendapatan asli daerah (PAD), Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), penggelapan dana non budgeting lembaga pemerintah yang bukan
departemen termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di samping itu, ghashb dan khianat bisa
juga terjadi pada lembaga non pemerintah, lembaga sosial, yayasan, masjid,
madrasah dan sebagainya. Bentuknya, mengambil hak orang lain melalui
penggelapan, pemotongan anggaran pengeluaran dan penggelembungan harga. Misal,
anggaran membeli kusen untuk masjid yang normalnya 3 juta, ditulisnya 3,5 juta
dengan tujuan yang setengah jutanya masuk kantong pribadi. Atau juga memotong
anggaran, contohnya anggaran pembangunan madrasah yang tertulis di laporan 100
juta, padahal yang terpakai 95 juta, yang 5 jutanya masuk kantong pribadi. Bisa
juga bentuknya manipulasi harga, contohnya membeli peralatan untuk kantor
harganya 5 juta, tetapi minta kepada penjualnya agar dituliskan di bon/kwitansi
5,5 juta, dengan dalih yang setengah jutanya uang lelah. Atau seorang karyawan
toko/sopir yang mengaku kepada majikannya mendapatkan uang 100 ribu, padahal ia
dapat 105 ribu, yang 5 ribunya ia tidak laporkan kepada majikannya.
Praktik ghashb bisa juga dilakukan dengan cara
pemerasan atau pemotongan hak orang lain secara paksa. Contohnya, seorang
karyawan yang sudah resmi lulus tes diminta uang 5 juta, jika tidak memberi,
namanya akan dicoret. Atau bantuan untuk pembangunan satu madrasah tertulis di
kwitansinya 100 juta, tetapi pihak madrasah hanya bisa menerima 80 juta. Jika
madrasah tersebut tidak menerima adanya potongan, maka dana bantuan akan
diserahkan kepada yang lain. Model seperti ini bukan termasuk suap-menyap (risywah),
karena tidak ada kerelaan dari dua belah pihak. Melainkan satu pihak memaksa,
dan satu pihaknya lagi terpaksa/terzhalimi. Dosanya, hanya ada pada yang meng-ghashb.
Meski demikian yang terzhalimi wajib amar ma’ruf nahyi munkar dengan
melaporkannya pada ombudsman, KPK, Komisi Yudisial, media cetak/elektronik,
situs jejaring sosial (milis, facebook, twitter, dsb), atau ormas/LSM yang
bergerak di bidang pengawasan. Mendiamkannya begitu saja berarti sama dengan
ridla dan mendukung perbuatan laknat tersebut.
Semua yang diuraikan di atas termasuk perbuatan ghashb
dan khianat yang dosanya besar sekali dan mesti diberi hukuman
pengembalian harta, penyitaan dan penjara dalam waktu yang lama.
Risywah
Risywah dalam bahasa Melayu disebut rasuah, sedang
dalam bahasa Indonesia disebut suap atau sogok. Maksudnya adalah:
اَلرِّشْوَةُ
مَا يُعْطَى لِإِبْطَالِ حَقّ أَوْ لِإِحْقَاقِ بَاطِل
Risywah: Pemberian untuk membathilkan yang benar dan
membenarkan yang bathil (‘Aunul-Ma’bud bab fi karahiyatir-risywah).
Dalam korupsi ini rentan terjadi untuk memuluskan
sebuah agenda yang melanggar prinsip kebenaran atau melancarkan sesuatu tanpa
melalui prosedur yang semestinya. Suap menyuap dilakukan dua belah pihak secara
sukarela tanpa ada pemaksaan dan keterpaksaan. Maka dari itu kedua belah pihak
dilaknat (dipastikan akan disiksa neraka) oleh Nabi saw:
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah
saw melaknat pemberi dan yang diberi suap.” (Sunan Abi Dawud kitab al-aqdliyah
bab fi karahiyatir-risywah no. 3582)
Contohnya memberi secara sukarela kepada
hakim/jaksa/polisi agar membebaskan atau memberi keringanan hukuman, dan
hakim/jaksa/polisi pun sukarela menerimanya. Seorang pejabat daerah yang
memberi secara sukarela kepada anggota DPR untuk menggolkan anggaran yang besar
bagi daerahnya. Pengusaha memberi secara sukarela kepada pejabat pemerintah
agar memenangkan perusahaannya dalam tender proyek di kantor pemerintahannya.
Orangtua memberi secara sukarela kepada pihak sekolah agar anaknya diterima di
sekolah yang bersangkutan, sang karyawan/guru sekolah pun menerimanya dengan
sukarela. Memberi secara sukarela kepada polisi agar membuatkan SIM tanpa ujian
atau melancarkan proses tilang tanpa sidang dan polisi pun sukarela menerimanya.
Semua ini termasuk risywah yang dilaknat penyuap dan yang disuapnya.
Ghulul
Ghulul arti asalnya khianat. Dalam al-Qur`an, ghulul disinggung
dalam surat Ali ‘Imran, sebagai berikut:
Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan
harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa
yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya (QS. Ali
‘Imran [3] : 161).
Terjemahan untuk ghulul dengan “berkhianat
dalam urusan harta rampasan perang” memang merujuk pada asbabun-nuzul ayat
tersebut berupa tuduhan dari orang-orang munafiq bahwasanya Nabi saw mengambil sebagian
harta rampasan perang (ghanimah) untuk dirinya sendiri sebelum
dikumpulkan dan dibagikan secara resmi (Tafsir Ibn Katsir Ali ‘Imran [3] :
161). Meski demikian, dalam hadits, Nabi saw kemudian menjelaskan bahwa ghulul
juga mencakup setiap pemberian (hadiah) dari pihak luar kepada
pejabat/petugas di luar upah resmi yang sudah ditetapkan dan atau yang tidak
disetorkan kepada Nabi saw selaku pimpinan. Istilah yang populer hari ini
“gratifikasi”. Titik persamaannya ada pada “tidak disetorkan terlebih dahulu
kepada pimpinan”. Meski terdapat perbedaan dengan risywah, dimana
ghulul ini sebagai hadiah semata terkait tugas seseorang, sedangkan risywah
ada tujuan tertentu untuk “melancarkan” sesuatu, menurut ‘Umar ibnul-‘Aziz
tetap saja hadiah terkait jabatan seseorang itu harus ditolak karena berpotensi
menjadi risywah.
وَقَالَ
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَتْ الْهَدِيَّةُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللهِ هَدِيَّةً
وَالْيَوْمَ رِشْوَةٌ
‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz berkata: “Hadiah pada zaman
Rasulullah saw adalah hadiah, tetapi hari ini adalah risywah.” (Shahih
al-Bukhari kitab al-hibah bab man lam yaqbalil-hadiyyah li ‘illah)
Contohnya memberi tip kepada wartawan yang telah
meliput berita, pengusaha percetakan yang memberi komisi kepada karyawan
perusahaan tertentu yang memberinya proyek pencetakan, pengusaha katering yang
memberikan hadiah kepada seorang staf panitia yang memberinya proyek katering,
atau muzakki yang memberi uang ongkos untuk staf DKM penagih zakat. Semua pemberian
tersebut jelas terkait tugas wartawan, karyawan, dan staf yang bersangkutan.
Padahal wartawan, karyawan, dan staf tersebut punya hak/pendapatan resmi. Semua
itu termasuk ghulul (gratifikasi). Pemberi dan penerimanya
sama-sama berdosa, karena bersekongkol dalam perbuatan terlarang.
Ketika Ibnul-Lutbiyyah diangkat menjadi petugas
Rasulullah saw, lalu ketika kembali kepada Rasul saw mengatakan ini harta untuk
umat, sementara ini hadiah yang diperuntukkan baginya, Rasul saw menegurnya
dengan keras:
أَفَلَا
قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا
Kenapa kamu tidak diam saja di rumah ayah dan ibumu!
Coba kalau seperti itu, akankah kamu mendapatkan hadiah! (Shahih
al-Bukhari kitab al-aiman wan-nudzur bab kaifa kanat yaminun-Nabi saw
no. 6636)
Maksudnya, ia diberi hadiah itu karena tugas yang
diembannya. Kalau tidak sedang mengemban tugas, mustahil ada yang memberi.
Semestinya hadiah itu dilaporkan dulu kepada Nabi saw selaku pimpinan, baru
nanti Nabi saw yang menentukan.
مَنِ
اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا
أُوتِىَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِىَ عَنْهُ انْتَهَى
Siapa di antara kalian yang kami beri pekerjaan, maka
hendaklah ia datang kembali dengan membawa harta yang banyaknya dan yang
sedikitnya. Maka apa yang diberikan kepadanya (oleh Rasul saw) dari harta itu,
ambillah, dan apa yang tidak diberikan jangan ia mengambil (Shahih
Muslim kitab al-imarah bab tahrim hadayal-’ummal no. 4848).
Dalam kasus di atas, wartawan, karyawan, staf panitia,
dan staf DKM semestinya lapor dulu kepada pimpinan, dan kelak pimpinan yang
menentukan. Sebab jika tidak demikian, maka itu termasuk ghulul.
مَنِ
اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَهُوَ غُلُولٌ
Barangsiapa yang kami pekerjakan satu pekerjakan, lalu
kami memberinya rezeki (upah), ambillah. Tetapi apa yang ia ambil di luar itu
maka itu ghulul (Sunan Abi Dawud kitab al-kharaj bab fi arzaqil-’ummal no.
2945).
Sesudah menegur Ibnul-Lutbiyyah sebagaimana ditulis di
atas, Nabi saw memberikan wejangan kepada kaum muslimin sebagai berikut:
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى
رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ
بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Demi Zat yang diriku ada dalam tangan-Nya, tidaklah
seseorang mengambil sedikit saja darinya kecuali kelak akan datang pada hari
kiamat dalam keadaan membawa unta, sapi atau kambing yang bersuara di atas
lehernya (sebagai hasil ghululnya tersebut). (Abu Humaid as-Sa’idi berkata:)
Kemudian Nabi saw mengangkat kedua tangannya ke atas sampai kami bisa melihat
kedua ketiaknya, lalu berkata: “Ya Allah, bukankah aku sudah sampaikan.” Sampai
tiga kali (Shahih al-Bukhari kitab al-hibah bab man lam
yaqbalil-hadiyyah li ‘illah no. 2597).
Hadits-hadits ini tidak berarti bahwa saling
memberikan hadiah hukumnya haram. Yang diharamkan itu adalah hadiah yang
disebut oleh Imam al-Bukhari dilatari oleh li ‘illah (terkait motif
tertentu), tepatnya motif jabatan atau tugas yang diemban. Maka dari itu,
hadiah yang biasa dan tidak terkait motif jabatan, yang di saat sebelum menjadi
pejabat pun biasa saling berkirim hadiah, tidak masuk kategori ghulul.
Demikian juga pemberian yang sifatnya ujrah (upah) atas jasa yang
sudah diberikan, yang seorang petugas/pekerja memang tidak mendapatkan ujrah
dari manapun, itu juga tidak termasuk ghulul. Seperti seorang
ahli/pakar/ustadz yang dimintai jasa keahlian/keilmuannya lalu diberi sebuah
pemberian. Pemberian yang seperti ini termasuk ujrah (upah), bukan hadiah
atau ghulul.
Dari penjelasan Nabi saw tentang konsep ghulul ini
tampak terlihat bahwa setiap upaya memanfaatkan/menyelewengkan jabatan untuk
memperkaya diri sendiri hukumnya haram. Jika tindak pidana korupsi berasal dari
sini (penyelewengan jabatan untuk memperkaya diri), maka sebenarnya Nabi saw
sudah menjelaskan keharaman dan hukumannya.
Setiap pejabat/petugas yang mendapatkan hadiah, atau
berbuat ghulul sebagaimana dijelaskan Nabi saw di atas, harus
menyerahkan hadiah/hasil ghulul tersebut kepada pimpinan di atasnya,
untuk kemudian menunggu keputusan dari pimpinannya tersebut. Dalam konteks
negara Indonesia, setiap pejabat yang mendapatkan gratifikasi harus melapor
kepada KPK atau disita langsung oleh KPK.
Fasad
Istilah fasad yang dimaksud di sini adalah fasad
yang menimbulkan konsekuensi hukuman atau fasad dalam makna tindak
pidana, bukan fasad dalam arti merusak secara umum yang termasuk di
dalamnya bersikap kufur, munafiq dan maksiat (lihat QS. al-Baqarah [2] :
11-12). Istilah lain yang dikemukakan oleh para fuqaha untuk perbuatan
jahat ini adalah hirabah (penyerangan) atau qath’ut-thariq (menghadang
jalan). Ketiga istilah tersebut merujuk pada firman Allah swt berikut
ini:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka)
sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Ma`idah [5] : 33-34).
Ayat ini, sebagaimana dikemukakan Ibn Katsir, turun
terkait perbuatan jahat orang-orang Urainah yang membunuh seorang penggembala
unta dan mencuri unta-untanya. Sebagaimana diceritakan oleh Anas:
Dari Anas, ia berkata: “Orang-orang ‘Ukl atau
‘Urainah datang ke Madinah. Ternyata mereka tidak cocok dengan cuaca di Madinah
sehingga sakit. Maka Nabi saw memerintahkan mereka untuk mencari unta perahan
yang deras air susunya, lalu mereka minum air kencing dan air susunya. Mereka
pun kemudian pergi berobat. Setelah sembuh, mereka malah membunuh penggembala
unta Nabi saw dan mencuri unta-untanya. Ketika berita tersebut datang kepada
Nabi saw pagi hari maka Nabi saw mengirim beberapa orang untuk mengejar mereka.
Ketika hari beranjak siang mereka tertangkap. Maka Nabi saw memerintah agar tangan
dan kaki mereka dipotong silang, dan dicongkel matanya. Kemudian mereka dijemur
dalam panas. Ketika mereka minta minum mereka tidak diberi minum.” Abu
Qilabah berkata: “Mereka itulah orang-orang yang mencuri, membunuh, kafir
sesudah beriman (murtad), dan memerangi Allah dan Rasulnya.” (Shahih
al-Bukhari kitab al-wudlu bab abwalil-ibil no. 233).
Dari latar belakang kasus (assbabun-nuzul) ini
maka para fuqaha pun memberikan batasan bahwa fasad/hirabah/qath’ut-thariq
adalah mencuri dan membunuh, yang berarti menantang perang (hirabah)
kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan Abu Qilabah di atas.
Hukumannya sebagaimana dijelaskan ayat di atas, salah satu dari empat: Dibunuh,
disalib, dipotong tangan dan kaki dengan silang atau dibuang. Untuk orang-orang
‘Urainah yang tersebut di atas, juga dicongkel matanya dan dibiarkan kepanasan,
karena memang, menurut Anas dalam riwayat Muslim, mereka telah berbuat yang
sama kepada penggembala unta Nabi saw yang mereka bunuh (Shahih Muslim kitab al-qasamah
bab hukmil-muharibin wal-murtaddin no. 4453). Jadi artinya sebagai qishash/hukum
balas sebagaimana disinggung Allah swt dalam QS. al-Ma`idah [5] : 45.
Akan tetapi, para ulama juga sepakat, bahwa ayat ini
tidak membatasi pada perbuatan jahat mencuri dan membunuh saja, melainkan semua
perbuatan memerangi dan membuat kerusakan. Shahabat Ibn ‘Abbas di antaranya
menyatakan bahwa ayat ini berlaku bagi orang-orang Musyrik atau Ahli Kitab yang
melanggar perjanjian damai lalu menyerang kaum muslimin dan membuat keonaran di
muka bumi. Sa’id ibn al-Musayyab juga menyatakan bahwa mencuri dirham dan dinar
termasuk ifsad yang disebut oleh ayat ini (Tafsir Ibn Katsir al-Ma`idah
[5] : 33-34). Termasuk ifsad yang disebut oleh QS. al-Baqarah [2] : 205
merusak al-hartsa dan an-nasla. Maknanya bisa tumbuh-tumbuhan dan
ternak, atau juga istri dan keturunan (makna al-hartsa sebagai istri ada
dalam QS. al-Baqarah [2] : 223 dan makna an-nasla sebagai keturunan ada
dalam QS. as-Sajdah [32] : 8).
Dalam kaitannya dengan korupsi, tindak pidana ini
jelas termasuk fasad, karena kerusakan yang ditimbulkannya sangat
sistemik, mulai dari kerugian negara, rusaknya sistem pemerintahan,
terzhaliminya rakyat dan terbentuknya manusia-manusia yang “bukan manusia”:
tidak berbudaya, tidak menghargai norma, tidak menghargai prestasi dan
kompetisi, senang menempuh jalan instan berupa kolusi, menjadikan kekayaan
sebagai Tuhan, dan sebagainya. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), karena karakter korupsi yang sangat kriminogin (dapat menjadi
sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan
berbagai dimensi kepentingan).
Hukuman untuk perbuatan fasad ini adalah salah
satu dari empat: Hukuman mati, salib, potong tangan dan kaki secara silang,
atau diasingkan (dipenjara, diberhentikan tidak hormat, dicabut
keanggotaan/kewarganegaraan, diusir).
Cakupan Fiqih Korupsi
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hukum pidana
Islam terkait korupsi ini tidak hanya berkaitan dengan negara saja, tetapi
mencakup umum untuk semua aspek kehidupan umat yang ada kaitannya dengan
kepentingan bersama. Artinya fiqih korupsi ini konteksnya tidak hanya pegawai
negeri atau penyelenggara negara saja, tetapi juga pegawai dan penyelenggara
lembaga-lembaga kemasyarakatan, termasuk lembaga, organisasi dan yayasan Islam
yang terkait erat dengan harta dan kepentingan umat. Praktik-praktik suap,
gratifikasi, pemotongan hak orang lain, pemerasan, penggelembungan harga,
pemotongan anggaran, dan sebagainya yang juga rentan terjadi di lembaga-lembaga
kemasyarakatan, termasuk lembaga Islam, termasuk ke dalam pidana korupsi (hadd
ghashb, risywah, ghulul dan fasad). Hukumannya, jika ghashb,
risywah, dan ghulul harus disita oleh pimpinan. Sementara jika masuk
kategori fasad maka hukumannya salah satu dari empat: Hukuman mati,
salib, potong tangan dan kaki secara silang, atau diasingkan (dipenjara,
diberhentikan tidak hormat, dicabut keanggotaan/kewarganegaraan, diusir, dan
sebagainya). Dalam hal ini, pihak berwenang bisa menentukan lebih lanjut
hukuman yang tepat disesuaikan dengan besar kecilnya pidana yang telah
dilakukan atau yang disebut dengan ta’zir mempertimbangkan asas mashlahat
dan mafsadat.
Koruptor Bukan Kafir
Sebagian pihak ada yang menilai bahwa koruptor kafir
dan tidak boleh dishalatkan jenazahnya (seperti buku Koruptor Itu Kafir yang
merupakan Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama [NU]).
Penilaian ini tentu terlalu ceroboh, sebab kriteria kafir sudah jelas tertera
dalam al-Qur`an dan sunnah, yakni khuruj ‘anil-millah; keluar dari Islam
(Rujuk QS. Ali ‘Imran [3] : 90, an-Nisa` [4] : 150). Terkecuali jika kafir yang
dimaksud adalah kafir secara bahasa yang bermakna ‘tindak pidana besar’, maka
itu tidak jadi soal. Jika kafir yang dimaksud adalah kafir secara umum, yakni
keluar dari Islam, maka tidak bisa diterima, sebab tidak ada satu pun nash yang
menyatakan kekafiran diukur dari tindak pidana yang telah dilakukan. Selama
seorang terpidana beragama Islam, meyakini la ilaha illal-‘Llah dan Muhammad
Rasulullah, maka ia tetap seorang muslim, tetapi muslim yang fasiq jika ia
seorang koruptor.
Hadits berikut biasanya dijadikan dalil bahwa koruptor
kafir. Tetapi tetap saja tidak tepat.
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي
حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ
Dari Ibn ‘Abbas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tidaklah
seorang pezina ketika ia zina beriman, dan tidaklah seorang pencuri ketika ia mencuri
beriman.” (Shahih al-Bukhari kitab al-hudud bab as-sariqu hina
yasriqu no. 6782)
Maksud sabda Nabi saw di atas, dijelaskan langsung
oleh Ibn ‘Abbas dalam riwayat at-Thabari sebagai berikut:
عَنْ اِبْن
عَبَّاس قَالَ : لَا يَزْنِي حِين يَزْنِي وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَإِذَا زَالَ رَجَعَ إِلَيْهِ الْإِيمَان
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Tidaklah seorang
pezina ketika ia zina beriman, apabila ia selesai berzina keimanan kembali
kepadanya.” (Fathul-Bari kitab al-hudud bab la yasyrabul-khamra. Riwayat
at-Thabari)
Jadi maksudnya, yang ditiadakan keimanannya oleh Nabi
saw tersebut ketika seseorang korupsi, ketika seseorang berzina. Jika ia
selesai korupsi dan berzina, keimanan kembali kepadanya, apalagi jika ia
bertaubat (Rujuk buku Syarah Hadits AR-RISALAH jilid 1 no. hadits: 4). Meski
demikian, bukan berarti pezina dan koruptor dianggap sepele oleh Islam, sebab
syari’at Islam sudah menyediakan hukuman menjerakan bagi setiap koruptor dan
pezina.
Perihal hukum menshalatkan jenazah koruptor, juga
tidak haram, berdasarkan hadits berikut:
عَنْ زَيْدِ
بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ تُوُفِّىَ
يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ فَقَالَ
صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ. فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ
لِذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِى سَبِيلِ اللَّهِ. فَفَتَّشْنَا
مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لاَ يُسَاوِى دِرْهَمَيْنِ.
Dari Zaid ibn Khalid al-Juhani, bahwasanya seorang
lelaki dari shahabat Nabi saw wafat pada hari Khaibar. Para shahabat pun
melaporkannya kepada Rasulullah saw. Tetapi beliau bersabda: “Shalatkanlah
shahabat kalian.” Maka wajah orang-orang pun berubah (keheranan) karena
sabda Nabi saw tersebut. Sabda Nabi saw: “Shahabatmu ini sudah ghulul di
jalan Allah.” Lalu kami memeriksa barang-barangnya dan kami temukan
perhiasan Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham (Sunan Abi Dawud kitab al-jihad
bab fi ta’zhim al-ghulul no. 2712).
Dari hadits ini bisa dipahami bahwa koruptor boleh
dishalatkan, sebab bukan orang kafir. Tetapi seorang pemimpin sebaiknya tidak
menshalatkan sebagai bentuk pendidikan sosial.
Wal-‘Llahu a’lam