Jumat, 23 September 2011

MEMBUKA GERBANG CAKRAWALA

“Akan ku bongkar gerbang cakrawala itu, bila ia masih tetap juga terkunci dan menghadang langkahku!”
***
“Wahhh . . Indah banget sunset-nya,” ucap seorang gadis cantik itu sembari mengibas-ngibaskan kakinya di pinggir pantai Santolo. Menghalau datangnya ombak sore yang mengelus lembut kaki sang gadis. Akupun menatap gadis itu dari ujung menara tua, tidak jauh dari tempat gadis cantik itu termenung menatap matahari sore yang baru hendak pulang menjawab panggilan “sang bunda” yang meratap penuh kerinduan.
***
Deburan kata-kata telah berhamburan menabrak batuan karang yang angkuh. Yang telah berkali-kali melukai setiap langkah yang mulai ku coba buang demi memenuhi panggilan sang Pelangi. Entah berapa ribu hembusan nafas yang pernah ku sia-siakan selama ini. Demi mengukir wajah indah sang cinta dalam relung-relung semu hamparan samudra. Lelah? Ya aku benar-benar lelah! Bahkan sempat aku terpikir, akan sebuah gambaran asli dari wajah sang putri pelangi yang selalu mengisi ruang kosong antara bangun dan mimpiku. Karena dalam bayanganku sosok sang putri itu memakai gaun berwarna pink, ya dia juga memang suka pink, tapi yang ini berbeda. Ada sebuah cakrawala biru yang menghiasi sorot matanya, dan seingatku, dia tidak!
Dalam kehidupanku, sempat hadir banyak sosok impian seorang putri. Suatu sosok yang begitu indah mengisi ruang kosong dalam pikiranku, bahkan anganku. Tapi semua itu begitu rapuh. Layak jembatan gantung tua yang terbentang membelah lautan Santolo, yang bergelantungan menanti langkah-langkah semangat para nelayan di malam hari, dan langkah-langkah lelah dan putus asa di pagi hari. Ya seperti itulah hidupku dulu! Tapi, aku bukanlah jembatan, yang tak berdaya melawan deburan sang ombak, tapi aku adalah pelayar, yang tak pernah goyah dengan ombak sebesar apapun. Bukankah impian adalah kekuatan?? Lalu, mengapa aku berhenti bermimpi?? Padahal aku sempat bermimpi berada di serambi rumah yang indah di pinggiran pegunungan yang asri, menghadap ke arah laut lepas yang men-display pemandangan sunset yang menggoda. Kami duduk berdua, dan minum teh hangat bersama, sembari berdua membaca buku favorit dengan penuh senyuman dan ketentraman. Dan itu bukanlah sosok dirinya! Bukan putri pelangi ku yang dulu. “Lalu siapa?” tanyaku.
***
Temaramnya mentari sore menuntun langkahku menuju tempat peristirahatan, memaksaku untuk merebahkan langkah-langkah letih ini bersama kantuk mata sang mentari menuju tempat pembaringannya di ujung pandangan. Aku sejenak berpikir tentang apa yang hadir dalam lamunanku waktu berhadapan mata dengan para malaikat langit di pesisir pantai tadi. Mencoba mencari makna sebuah gulungan kata-kata yang begitu deras dan konstannya menyerang sisa-sisa tenaga kaki-kaki pikiranku. Hingga aku teringat sesosok gadis cantik tadi. Dia memakai gaun pink yang indah, dengan sorot mata yang bersinar kebiruan menatap langit biru yang menjelang jingga. Ada sebuah tatapan penuh harap, dengan warna-warni pelangi yang terpancar dari sudut senyumannya. Seorang gadis yang begitu menarik, yang samar-samar ditangan kirinya ku lihat menggenggam setumpukan kertas, dan sebilah pisau ide, berupa pena di tangan satunya lagi. Ada rasa penasaran yang menggelitik langkahku. Lalu aku berjalan menuju pesisir pantai itu lagi, dan benar saja aku masih dapat melihat sosok gadis itu, kini dia tengah mengangkat tangannya. Ada sebuah titik-titik suci yang tercurah dari sudut matanya yang bersinar memantulkan cahaya sang rembulan. Ingin aku bertanya kepadanya. Dan ternyata rasa itu telah mengalahkan ego dan kebodohanku. Aku pun menghampirinya, dan sejenak aku bertanya kepadanya dari atas jembatan, menyapa sang gadis yang tengah merenung di bawah jembatan itu.
Assalamu’alaikum ukhti, sedang apa malam-malam begini di tempat seperti ini? Yang lain telah terlelap bersama dekapan angin malam yang amat sangat menggoda lho,” ucapku ragu, karena takut ia akan marah.
Wa’alaikumsalam akhi, emmh, ana lagi susah tidur nih, teringat akan sesuatu yang baru saja luput dari hari-hari ana,” ucapnya sembari menyimpulkan sebuah senyuman di balik ketermenungannya.
“Hmm, kalau ukhti berkenan, bolehkah ana mengenal nama ukhti, biar nati ngobrolnya agak enakan, hehe.
“Owh iya silahkan, nama ana Nisa, boleh juga dipanggil Icha. Kalau akhi?”
“Nama ana Ridwan, biasa dipanggil begitu juga.”
“Hmm, seneng dateng ke sini juga ya akhi?”
“Gak juga sih, biasanya ana lebih senang berada di dalam kamar sempit dan termenung di depan jendela.”
“Owh, lalu kenapa sekarang kenapa sekarang akhi ada di sini?”
Ana kepikiran seseorang yang tadi sore ana lihat ada di tempat ini ukh.”
“Mmmh, gitu toh.”
“Eh iya ukh, kalau boleh ana tau hal apa sih yang pernah luput itu?”
“Mmhh, ya nisa itu suka terbayang kesalahan-kesalahan nisa waktu dulu. Kadang nisa malu dengan apa yang pernah nisa lakuin. Jadi, ya cuma inilah yang bisa ngasih sedikit ketenangan kepada nisa akh. Ya mungkin semua memang salah nisa di masa lalu akhi.”
Subhanalloh . . ” ucapku sembari terkagum.
Lho, kenapa akh?” dengan nada heran dan dahi mengerenyit.
“Ya ana kagum banget sama nisa ini, sedangkan berapa ribu orang yang masih bisa dengan bangganya berjalan membusungkan dada dengan berjuta noda masa lalu yang sama sekali tak sempat ia sadari, apalagi sesali!”
“Hmm, tentu suatu rahmat yang amat besar dari Allah SWT yang telah membuat nisa seperti ini akhi.”
“Iya betul ukh.”
Lalu semuapun berlalu. Akupun kembali ke tempat persembunyianku di balik selimut malam yang merinding, menarik syaraf menggigilku ke permukaan. Sedang aku meninggalkan gadis itu bercengkrama bersama gemintang yang berlemparan cahaya di ujung langit hitam berpoles kebiruan. Hanya dari dalam bayang aku dapat mengintipnya. Hingga akhirnya sang malam dengan gagahnya melindas kesadaranku, dan akupun terlelap dalam bayangan seorang gadis bernama nisa itu.
***
Merindingnya sang embun menggodaku untuk membuka mata yang masih terlihat bermalasan itu. Mencoba langsung mengejar lintasaan-lintasan mimpi yang sempat terputus di bawah kegagahan sang malam. Sekali lagi aku menghamburkan nafasku untuk mencapai pesisir pantai itu. Dan benar saja, dia sekarang tengah berterbangan bersama biru terangnya langit pagi itu. Diiringi alunan syahdu senandung irama deburan ombak yang menghempaskan kata-kata cinta yang suci. Membersihkan seluruh luka dan noda yang melekat di kaki-ku yang mulai bernanah ini. Ku saksikan itu semua beserta jembatan tua yang sempat juga singgah dalam benakku. Menarikan sebuah rona indah sang pagi yang menyambung mimpiku dengan sebuah realita yang manis. Yang tak pernah ku merasa malu untuk meneriakkannya kepada seluruh dunia. Meski ‘kan menghalangiku sebuah gerbang raksasa cakrawala impianku ini. Akan ku bongkar gerbang cakrawala itu, bila ia masih tetap juga terkunci dan menghadang langkahku!

*Sebuah kisah rekaan. Persembahan spesial untuk seorang akhwat yang spesial. Semoga apa yang menjadi harapan kita akan terwujud dalam sebuah jalinan yang halal dan abadi di hadapan Allah SWT. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.

Tidak ada komentar: