Oleh Ipp Region Garut
Kemarin malam, saya merasa sangat khawatir dengan masa depan IP-Persis di Garut, kita belum memiliki forming of cadres (kaderisasi) yang baik, Kondisi internal dan eksternal yang masih harus banyak mendapat pembinaan, Dll
Tetapi di malam yang Galau itu, saya mencoba mengobrak abrik file file di Komputer Warisan ini; ternyata ada satu file HTML yang bertajuk “Kumpulan Tulisan Adian Husaini”, setelah saya buka, ada Puluhan artikel yang sangat menarik sekali untuk saya cermati. Dari seluruh Artikel tersebut, terdapat satu judul yang sangat nyambung dengan Ke-galauan saya malam itu : “Harapan Untuk Garut”.
Selebih-nya, untuk lebih menjaga ke-orsinilan dari Artikel tersebut, dalam Note ini akan Copas secara keseluruhan tanpa ada yang di kurangi atau di tambahkan.
Semoga dapat menghapuskan setiap kegalauan ! semoga dapat mencerahkan !
HARAPAN UNTUK GARUT
Oleh: Adian Husaini
Pada tanggal 3-5 Juli 2006 saya berada di Kota Garut, sebuah kota yang indah di Propinsi Jawa Barat. Kota yang terkenal dengan ‘dodolnya’ ini terbilang kaya dengan potensi alam. Sumber daya alam berupa gas, emas, dan air panas banyak ditemukan. Keindahan alamnya juga sangat luar biasa. Akhir-akhir ini kota Garut tercoreng namanya gara-gara skandal Ujian Akhir Nasional yang direkayasa oleh pejabat pemerintah setempat. Kota ini juga dikenal sebagai ‘kota santri’, dengan banyaknya pesantren dan sekolah Islam.
Sayangnya, di tengah kekayaan sumber daya alamnya, Kota Garut dikenal sebagai salah satu dari tiga kota termiskin di Jawa Barat.
Salah satu Ormas Islam yang memiliki basis kuat di kota ini adalah Persatuan Islam (Persis), yang memiliki puluhan pondok pesantren di Garut. Dalam satu acara pelepasan santri Muallimin di Pesantren Bentar, satu pesantren Persis yang tertua di Garut, pada 4 Juli 2006, sang kyai dari pesantren itu menekankan pentingnya para santri untuk tetap memegang teguh ilmu yang sudah dipelajarinya, tetap menghormati para ustad, dan aktif dalam berdakwah Islam.
Ia menceritakan berbagai kondisi sulit yang dihadapi pesantren di tengah tantangan zaman saat ini.
Pada satu sisi, pesantren berkeinginan mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga perkaderan ulama yang menekankan kegiatan ‘tafaqquh fid din”. Tetapi, pada sisi lain, tekanan-tekanan situasi dan birokrasi menyebabkan pesantren harus berkompromi dengan sistem pendidikan yang tidak mengarahkan pada tafaqquh fid-din.
Untuk menjembatani hal itu, Pimpinan Daerah Persis Garut telah membangun satu Ma’had ‘Aly, yang mengkader calon-calon dai dan ustad yang benar-benar bersedia mendalami ilmu-ilmu agama (Ulumuddin).
Dalam acara dialog dengan para ustad dan pimpinan pesantren di lingkungan Persis Garut, saya menyampaikan pentingnya kalangan pesantren mempertahankan dan meningkatkan tradisi keilmuan, dengan cara menghargai ilmu dan ulama. Jangan harapkan ulama bisa dihargai jika mereka sendiri tidak menghargai ilmu dan tidak menghormati dirinya sendiri. “Ketua Persis Garut tidak boleh merasa lebih rendah derajatnya dari pada Bupati Garut. Jangan sampai ada pikiran bahwa jika ketua Persis Garut menjadi Bupati Garut, berarti dia naik derajat.’’ Ketua Persis Garut, Ustad Mamat Abdurrahman, memang dikenal gigih dalam mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam di kotanya.
Posisi ulama ini sangat penting untuk ditekankan, sebab tidak sedikit yang berpendapat, bahwa menjadi umara adalah prestasi tertinggi dalam perjuangan dakwah Islam. Ada pendapat bahwa menjadi ketua NU atau Ketua Muhammadiyah lebih rendah derajatnya dibanding menjadi Presiden Indonesia. Menjadi Menteri Agama dipandang lebih tinggi derajatnya ketimbang menjadi ketua Pondok Pesantren.
Tentu saja, pikiran itu tidak benar. Menjadi pemimpin organisasi Islam bukanlah hal yang ringan dan lebih rendah martabatnya ketimbang menjadi menteri atau Presiden sekalipun. Menjadi seorang guru ngaji di TK tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan martabat anggota DPR atau DPRD.
Martabat ulama inilah yang seharusnya dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Menjadi umara yang baik adalah satu kewajiban. Tetapi menjadi ulama yang baik juga satu keharusan. Umara haruslah seorang yang berilmu dan beramal shalih. Tetapi, menjadi ulama lebih-lebih lagi dituntut berilmu dan beramal shalih.
Ulama adalah pewaris nabi. Di tangan merekalah kita berharap agama Islam dapat dijaga dan dipertahankan. Di pundak para ulama itulah, terletak amanat perjuangan Islam yang tertinggi. Dengan dukungan umara yang baik, maka perjuangan Islam akan lebih efektif.
Karena itu, pengkhianatan terhadap ilmu dipandang sebagai pengkhianatan yang terbesar dalam pandangan Islam. Dalam bukunya, Ar-Rasul wal-‘Ilm, (Di-Indonesiakan oleh Amir Hamzah Fachrudin dkk., 1994) -- Dr. Yusuf Qaradhawi mengutip satu hadits Rasulullah saw :
‘’Hendaklah kalian saling menasehati dalam ilmu. Sesungguhnya pengkhianatan seseorang terhadap ilmunya lebih berbahaya daripada pengkhianatannya terhadap hartanya. Dan sesungguhnya Allah akan menanyai kalian semua pada hari kiamatnanti.’’ (HR ath-Thabrani).
Menurut Qaradhawi, hadits itu memberi makna, bahwa pengkhianatan terhadap harta – walaupun dalam jumlah yang besar– akibat buruknya terbatas. Lain dengan pengkhianatan terhadap ilmu yang akibatnya akan menghancurkan semua lapisan masyarakat. Istilah Prof. Naquib al-Attas, kerusakan ilmu disebut juga sebagai ‘’corruption of knowledge’’. Korupsi ilmu adalah jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.
Kita tahu, bagaimana kerasnya Rasulullah saw dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku korupsi harta. Beliau saw pernah tidak mau menyalatkan jenazah seorang yang meninggal di medan jihad, gara-gara orang itu berlaku curang dalam soal harta rampasan perang.
Dalam soal ilmu, Islam menerapkan hal yang lebih keras lagi. Pelakunya bisa terkana kategori ‘riddah’ (murtad) dan akan mendapatkan ‘dosa jariyah’ akibat mengajarkan ilmu yang salah atau ilmu yang sesat.
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang di dalam Islam mengerjakan amal yang baik maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang beramal dengannya sesudahnya, tanpa dikurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang beramal buruk, maka dia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa dikurangi dosanya sedikitpun.” (HR Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad).
Demikianlah peringatan Rasulullah saw. Jadi, kita perlu sangat berhati-hati dalam masalah ilmu. Jika ilmu itu benar, diamalkan, dan diajarkan, maka di pemilik ilmu akan mendapatkan pahala yang ‘jariyah’ (mengalir), meskipun dia sudah meninggal. Sebaliknya, jika ilmunya salah, dan diajarkan kepada banyak orang, maka dia akan mendapatkan dosa yang terus-menerus dari orang yang menerima ilmunya. Karena itulah, kita bisa memahami, bahwa pengkhianatan dalam masalah ilmu adalah lebih besar nilai kejahatannya dibandingkan dengan pengkhianatan masalah harta.
Lembaga Islam, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi Islam –apalagi yang jelas-jelas membawa label Islam dan mengaku lembaga Islam– harusnya memperhatikan peringatan Rasulullah saw dalam masalah ilmu. Lembaga-lembaga itu harus menjadikan masalah ilmu sebagai hal yang mendasar dan mendapatkan prioritas pertama. Tidak boleh bermain-main dan memandang enteng masalah ini.
Ormas-ormas Islam dan partai-partai Islam pun sudah seyogyanya menjadikan masalah ilmu ini sebagai hal yang utama dan pertama. Jangan sampai partai-partai Islam atau Ormas Islamjustru menjadi ujung tombak penyebar ilmu yang salah.
Kepada para pimpinan pesantren di lingkungan Persis Garut, saya menyampaikan harapan itu ; agar pondok pesantren mereka benar-benar menjadi benteng keilmuan Islam yang tangguh, yang melahirkan orang-orang yang alim dan beramal shalih.
Harapan ini sangatlah penting, mengingat saat ini, ada fenomena umum yang menganggap enteng masalah kerusakan ilmu di lingkungan perguruan tinggi Islam. Ilmu perbandingan agama dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman.
Metode studi Islam dirusak dengan mengadopsi metode orientalis Barat yang tidak menjadikan asas kebenaran dan keimanan Islam sebagai pijakan dan tujuan dalam studi agama.
Kaum orientalis non-Muslim memang mempelajari Islam bukan untuk beriman kepada Islam, bukan untuk meyakini kebenaran Islam, dan bukan untuk mengamalkan ajaran Islam. Ini harusnya berbeda dengan tujuan dan fungsi ilmu dalam Islam, yang harus membawa kepada ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah.
Dalam satu diskusi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat, Juni lalu, saya katakan, bahwa saat ini sedang dikembangkan satu metode studi agama yang berpijak pada epistemologi keraguan dan kebingungan, sehingga akan melahirkan para sarjana agama yang bingung alias golongan bingung (golbin).
Akibatnya, banyak yang belajar agama, justru hasilnya tidak meyakini kebenaran agamanya. Sebaliknya, dia malah ragu dengan agamanya sendiri. Tidak heran, jika banyak yang belajar ushuluddin, tetapi malah tidak yakin dengan dasar-dasar agamanya. Banyak yang belajar syariat, tetapi justru bersikap menentang atau tidak bersemangat menerapkan syariat Islam. Banyak yang belajar ilmu dakwah di Fakultas Dakwah, tetapi justru tidak menjalankan aktivitas dakwah.
Tidak sedikit mahasiswa kampus Islam yang secara terus terang menyatakan keraguannya akan kebenaran Islam. Banyak juga yang mengaku tidak bersemangat lagi mengerjakan shalat lima waktu.
Mengapa? Karena semua itu berawal dari niat yang salah dan metode belajar Islam yang salah. Ironisnya, banyak yang kini bangga dalam kesalahan, dan aktif menyebarkan kesalahan.
Salah satu fenomena yang mencolok mata adalah diwajibkannya mata kuliah hermeneutika bagi mahasiswa Tafsir Hadits di berbagai Perguruan Tinggi Islam. Banyak dosen dan ulama yang cuek dan tidak peduli dengan masalah ini. Mungkin karena tidak paham sama sekali tentang masalah hermeneutika ; atau mungkin juga karena setuju dengan gagasan hermeneutika sebagai pengganti ilmu tafsir.
Banyak orang tidak memandang penting kasus dosen IAIN Surabaya yang menginjak lafaz Allah dengan sengaja. Padahal, cara pandang seperti itu – bahwa Al-Quran adalah produk budaya -- sudah dianut oleh banyak dosen UIN/IAIN dan sudah diajarkan kepada ribuan mahasiswa.
Petinggi-petinggi Departemen Agama dan kampus-kampus berlabel Islam masih banyak yang merasa nyaman dan tenang-tenang saja dengan fenomena kerusakan ilmu yang meluas dan berlangsung terus-menerus. Kasus buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” karya Prof.Harun Nasution bisa dilihat sebagai satu contoh.
Buku yang mengandung begitu banyak kekeliruan ini sudah dijadikan bacaan wajib bagi studi Islam di Perguruan Tinggi Islam selama 33 tahun. Bayangkan, selama 33 tahun, ratusan ribu mahasiswa dicekoki dengan ilmu yang keliru tentang Islam. Mereka sekarang ada yang menjadi pejabat pemerintah, profesor, rektor, dekan, guru agama, hakim-hakim agama, dan sebagainya.
Kemungkaran dan pengkhianatan dalam ilmu-ilmu agama inilah yang seyogyanya menjadi prioritas penting dalam program dakwah lembaga-lembaga Islam. Ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan sebagainya, seyogyanya menjadikan masalah ini sebagai program pokok.
Ormas-ormas Islam jangan sampai hanya menyibukkan diri dalam soal-soal pilkada atau merespon isu-isu kontemporer, tanpa menyadari bahaya besar akibat pengkhianatan ilmu.
Kepada para alumni Pesantren Bentar di Garut, saya tunjukkan sejumlah contoh buku-buku yang ditulis akademisi di berbagai kampus berlabel Islam, yang isinya merusak keilmuan Islam. Kita berharap, para alumni pesantren yang akan melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi, dapat membentengi dirinya dari perusakan ilmu yang dilakukan sejumlah dosen, yang sudah tercemar dan rusak pemikirannya. Kita berharap, para alumni pesantren itu tidak mudah tergoda dengan ‘iming-iming duniawi’ yang mungkin ditawarkan jika nanti mereka bersedia menjadi agen penyebar virus ‘sipilis’ (sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme) di Indonesia.
Hingga kini, kita belum bisa berbuat banyak. Kita belum punya kampus Islam yang benar-benar ideal, yang mengaplikasikan konsep ilmu dalam Islam secara total.
Kita terpaksa masih melepaskan santri-santri dan anak didik kita ke kampus-kampus yang di sana masih bercokol sejumlah dosen yang mengajarkan pikiran dan amal yang buruk. Ada dosen ushuluddin yang sudah berpuluh tahun menyebarkan paham yang keliru tentang perkawinan antar-agama, dan bahkan menjadi penghulu swasta untuk perkawinan bathil semacam itu.
Ironisnya, selama puluhan tahun itu, pimpinan Departemen Agama dan para petinggi kampus tersebut tetap tenang-tenang saja, membiarkan semua kebejatan itu berlangsung. Kita perlu mengingatkan kepada para dosen dan pejabat yang berwenang itu, bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, tentang apa yang sudah menjadi amanah dan tanggung jawabnya.
Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan bergerak kaki manusia pada Hari Kiamat, sampai mereka ditanyai tentang empat perkara: (1) Tentang umurnya, untuk apa ia gunakan, (2) tentang masa mudanya, untuk apa dia habiskan, (3) tentang hartanya, darimana dia dapatkan dan untuk apa ia gunakan, (4) tentang ilmunya, apa yang ia amalkan.” (HR Al-Bazzar dan ath-Thabrani).
Waallahu a’lam.
(Jakarta, 7 Juli 2006/hidayatullah.co,).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar