Ahad, 25 September 2011, bertempat di kantor bersama PD Persis Garut, Pimpinan Region Garut Ikatan Pelajar Persis & Okatan Pelajar Persis Putri menjamu SEPMI (Serikat Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) dalam gelaran kajian bulanan. Kajian bulanan yang keempat kali ini sengaja mengangkat tema "Pergolakan Pemikiran Natsir-Cokroaminoto". Yang bertindak sebagai presentator yakni ketua IPP Region Garut Fajar Gumelar dan ketua Sepmi Garut yakni Alam Permana. Kajian ini dihadiri lebih dari empat puluh kader dari kedua organisasi pelajar tersebut.
Presentator pertama, yakni Alam Permana mengemukakan bahwa Cokroaminoto, sebagai sosok pemikir dan pembaharu. Pemikiran terejawantahkan dalam organisasi Syarikat Islam yang dibinanya. Cokro, menurut Alam, adalah sosok pembaharu yang berani mendobrak adat-istiadat dan budaya masyarakat Indonesia yang negatif, namun tidak lupa melestarikan adat-istiadat dan budaya lokal yang positif.
Presentator kedua, yakni Fajar Gumelar mengemukakan, bahwa Natsir adalah sosok mubaligh, politikus dan negarawan yang handal. Beliau adalah prototipe bagi umat Islam Indonesia yang sebenarnya. Sosoknya yang sederhana, namun berkarisma telah berhasil membangun dakwah Islam. Jasa-jasanya kepada umat islam indonesia tidak diragukan lagi. Pun untuk negara Indonesia. Natsir berdiri tegak menjadi sosok pemberani, menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat mosi integralnya.
Pada akhirnya, kajian ditutup dengan sebuah renungan. Bahwa Natsir dan Cokro adalah sosok ideal bagi pelajar muslim. Pertanyaanya kemudian, bagaimana kita menempatkan mereka? sebagai panutan, bagian sejarah yang dikenang atau spirit dan inspirasi?
Sabtu, 24 September 2011
Jumat, 23 September 2011
MEMBUKA GERBANG CAKRAWALA
“Akan ku bongkar gerbang cakrawala itu, bila ia masih tetap juga terkunci dan menghadang langkahku!”
***
“Wahhh . . Indah banget sunset-nya,” ucap seorang gadis cantik itu sembari mengibas-ngibaskan kakinya di pinggir pantai Santolo. Menghalau datangnya ombak sore yang mengelus lembut kaki sang gadis. Akupun menatap gadis itu dari ujung menara tua, tidak jauh dari tempat gadis cantik itu termenung menatap matahari sore yang baru hendak pulang menjawab panggilan “sang bunda” yang meratap penuh kerinduan.
***
Deburan kata-kata telah berhamburan menabrak batuan karang yang angkuh. Yang telah berkali-kali melukai setiap langkah yang mulai ku coba buang demi memenuhi panggilan sang Pelangi. Entah berapa ribu hembusan nafas yang pernah ku sia-siakan selama ini. Demi mengukir wajah indah sang cinta dalam relung-relung semu hamparan samudra. Lelah? Ya aku benar-benar lelah! Bahkan sempat aku terpikir, akan sebuah gambaran asli dari wajah sang putri pelangi yang selalu mengisi ruang kosong antara bangun dan mimpiku. Karena dalam bayanganku sosok sang putri itu memakai gaun berwarna pink, ya dia juga memang suka pink, tapi yang ini berbeda. Ada sebuah cakrawala biru yang menghiasi sorot matanya, dan seingatku, dia tidak!
Dalam kehidupanku, sempat hadir banyak sosok impian seorang putri. Suatu sosok yang begitu indah mengisi ruang kosong dalam pikiranku, bahkan anganku. Tapi semua itu begitu rapuh. Layak jembatan gantung tua yang terbentang membelah lautan Santolo, yang bergelantungan menanti langkah-langkah semangat para nelayan di malam hari, dan langkah-langkah lelah dan putus asa di pagi hari. Ya seperti itulah hidupku dulu! Tapi, aku bukanlah jembatan, yang tak berdaya melawan deburan sang ombak, tapi aku adalah pelayar, yang tak pernah goyah dengan ombak sebesar apapun. Bukankah impian adalah kekuatan?? Lalu, mengapa aku berhenti bermimpi?? Padahal aku sempat bermimpi berada di serambi rumah yang indah di pinggiran pegunungan yang asri, menghadap ke arah laut lepas yang men-display pemandangan sunset yang menggoda. Kami duduk berdua, dan minum teh hangat bersama, sembari berdua membaca buku favorit dengan penuh senyuman dan ketentraman. Dan itu bukanlah sosok dirinya! Bukan putri pelangi ku yang dulu. “Lalu siapa?” tanyaku.
***
Temaramnya mentari sore menuntun langkahku menuju tempat peristirahatan, memaksaku untuk merebahkan langkah-langkah letih ini bersama kantuk mata sang mentari menuju tempat pembaringannya di ujung pandangan. Aku sejenak berpikir tentang apa yang hadir dalam lamunanku waktu berhadapan mata dengan para malaikat langit di pesisir pantai tadi. Mencoba mencari makna sebuah gulungan kata-kata yang begitu deras dan konstannya menyerang sisa-sisa tenaga kaki-kaki pikiranku. Hingga aku teringat sesosok gadis cantik tadi. Dia memakai gaun pink yang indah, dengan sorot mata yang bersinar kebiruan menatap langit biru yang menjelang jingga. Ada sebuah tatapan penuh harap, dengan warna-warni pelangi yang terpancar dari sudut senyumannya. Seorang gadis yang begitu menarik, yang samar-samar ditangan kirinya ku lihat menggenggam setumpukan kertas, dan sebilah pisau ide, berupa pena di tangan satunya lagi. Ada rasa penasaran yang menggelitik langkahku. Lalu aku berjalan menuju pesisir pantai itu lagi, dan benar saja aku masih dapat melihat sosok gadis itu, kini dia tengah mengangkat tangannya. Ada sebuah titik-titik suci yang tercurah dari sudut matanya yang bersinar memantulkan cahaya sang rembulan. Ingin aku bertanya kepadanya. Dan ternyata rasa itu telah mengalahkan ego dan kebodohanku. Aku pun menghampirinya, dan sejenak aku bertanya kepadanya dari atas jembatan, menyapa sang gadis yang tengah merenung di bawah jembatan itu.
“Assalamu’alaikum ukhti, sedang apa malam-malam begini di tempat seperti ini? Yang lain telah terlelap bersama dekapan angin malam yang amat sangat menggoda lho,” ucapku ragu, karena takut ia akan marah.
“Wa’alaikumsalam akhi, emmh, ana lagi susah tidur nih, teringat akan sesuatu yang baru saja luput dari hari-hari ana,” ucapnya sembari menyimpulkan sebuah senyuman di balik ketermenungannya.
“Hmm, kalau ukhti berkenan, bolehkah ana mengenal nama ukhti, biar nati ngobrolnya agak enakan, hehe.”
“Owh iya silahkan, nama ana Nisa, boleh juga dipanggil Icha. Kalau akhi?”
“Nama ana Ridwan, biasa dipanggil begitu juga.”
“Hmm, seneng dateng ke sini juga ya akhi?”
“Gak juga sih, biasanya ana lebih senang berada di dalam kamar sempit dan termenung di depan jendela.”
“Owh, lalu kenapa sekarang kenapa sekarang akhi ada di sini?”
“Ana kepikiran seseorang yang tadi sore ana lihat ada di tempat ini ukh.”
“Mmmh, gitu toh.”
“Eh iya ukh, kalau boleh ana tau hal apa sih yang pernah luput itu?”
“Mmhh, ya nisa itu suka terbayang kesalahan-kesalahan nisa waktu dulu. Kadang nisa malu dengan apa yang pernah nisa lakuin. Jadi, ya cuma inilah yang bisa ngasih sedikit ketenangan kepada nisa akh. Ya mungkin semua memang salah nisa di masa lalu akhi.”
“Subhanalloh . . ” ucapku sembari terkagum.
“Lho, kenapa akh?” dengan nada heran dan dahi mengerenyit.
“Ya ana kagum banget sama nisa ini, sedangkan berapa ribu orang yang masih bisa dengan bangganya berjalan membusungkan dada dengan berjuta noda masa lalu yang sama sekali tak sempat ia sadari, apalagi sesali!”
“Hmm, tentu suatu rahmat yang amat besar dari Allah SWT yang telah membuat nisa seperti ini akhi.”
“Iya betul ukh.”
Lalu semuapun berlalu. Akupun kembali ke tempat persembunyianku di balik selimut malam yang merinding, menarik syaraf menggigilku ke permukaan. Sedang aku meninggalkan gadis itu bercengkrama bersama gemintang yang berlemparan cahaya di ujung langit hitam berpoles kebiruan. Hanya dari dalam bayang aku dapat mengintipnya. Hingga akhirnya sang malam dengan gagahnya melindas kesadaranku, dan akupun terlelap dalam bayangan seorang gadis bernama nisa itu.
***
Merindingnya sang embun menggodaku untuk membuka mata yang masih terlihat bermalasan itu. Mencoba langsung mengejar lintasaan-lintasan mimpi yang sempat terputus di bawah kegagahan sang malam. Sekali lagi aku menghamburkan nafasku untuk mencapai pesisir pantai itu. Dan benar saja, dia sekarang tengah berterbangan bersama biru terangnya langit pagi itu. Diiringi alunan syahdu senandung irama deburan ombak yang menghempaskan kata-kata cinta yang suci. Membersihkan seluruh luka dan noda yang melekat di kaki-ku yang mulai bernanah ini. Ku saksikan itu semua beserta jembatan tua yang sempat juga singgah dalam benakku. Menarikan sebuah rona indah sang pagi yang menyambung mimpiku dengan sebuah realita yang manis. Yang tak pernah ku merasa malu untuk meneriakkannya kepada seluruh dunia. Meski ‘kan menghalangiku sebuah gerbang raksasa cakrawala impianku ini. Akan ku bongkar gerbang cakrawala itu, bila ia masih tetap juga terkunci dan menghadang langkahku!
*Sebuah kisah rekaan. Persembahan spesial untuk seorang akhwat yang spesial. Semoga apa yang menjadi harapan kita akan terwujud dalam sebuah jalinan yang halal dan abadi di hadapan Allah SWT. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.
***
“Wahhh . . Indah banget sunset-nya,” ucap seorang gadis cantik itu sembari mengibas-ngibaskan kakinya di pinggir pantai Santolo. Menghalau datangnya ombak sore yang mengelus lembut kaki sang gadis. Akupun menatap gadis itu dari ujung menara tua, tidak jauh dari tempat gadis cantik itu termenung menatap matahari sore yang baru hendak pulang menjawab panggilan “sang bunda” yang meratap penuh kerinduan.
***
Deburan kata-kata telah berhamburan menabrak batuan karang yang angkuh. Yang telah berkali-kali melukai setiap langkah yang mulai ku coba buang demi memenuhi panggilan sang Pelangi. Entah berapa ribu hembusan nafas yang pernah ku sia-siakan selama ini. Demi mengukir wajah indah sang cinta dalam relung-relung semu hamparan samudra. Lelah? Ya aku benar-benar lelah! Bahkan sempat aku terpikir, akan sebuah gambaran asli dari wajah sang putri pelangi yang selalu mengisi ruang kosong antara bangun dan mimpiku. Karena dalam bayanganku sosok sang putri itu memakai gaun berwarna pink, ya dia juga memang suka pink, tapi yang ini berbeda. Ada sebuah cakrawala biru yang menghiasi sorot matanya, dan seingatku, dia tidak!
Dalam kehidupanku, sempat hadir banyak sosok impian seorang putri. Suatu sosok yang begitu indah mengisi ruang kosong dalam pikiranku, bahkan anganku. Tapi semua itu begitu rapuh. Layak jembatan gantung tua yang terbentang membelah lautan Santolo, yang bergelantungan menanti langkah-langkah semangat para nelayan di malam hari, dan langkah-langkah lelah dan putus asa di pagi hari. Ya seperti itulah hidupku dulu! Tapi, aku bukanlah jembatan, yang tak berdaya melawan deburan sang ombak, tapi aku adalah pelayar, yang tak pernah goyah dengan ombak sebesar apapun. Bukankah impian adalah kekuatan?? Lalu, mengapa aku berhenti bermimpi?? Padahal aku sempat bermimpi berada di serambi rumah yang indah di pinggiran pegunungan yang asri, menghadap ke arah laut lepas yang men-display pemandangan sunset yang menggoda. Kami duduk berdua, dan minum teh hangat bersama, sembari berdua membaca buku favorit dengan penuh senyuman dan ketentraman. Dan itu bukanlah sosok dirinya! Bukan putri pelangi ku yang dulu. “Lalu siapa?” tanyaku.
***
Temaramnya mentari sore menuntun langkahku menuju tempat peristirahatan, memaksaku untuk merebahkan langkah-langkah letih ini bersama kantuk mata sang mentari menuju tempat pembaringannya di ujung pandangan. Aku sejenak berpikir tentang apa yang hadir dalam lamunanku waktu berhadapan mata dengan para malaikat langit di pesisir pantai tadi. Mencoba mencari makna sebuah gulungan kata-kata yang begitu deras dan konstannya menyerang sisa-sisa tenaga kaki-kaki pikiranku. Hingga aku teringat sesosok gadis cantik tadi. Dia memakai gaun pink yang indah, dengan sorot mata yang bersinar kebiruan menatap langit biru yang menjelang jingga. Ada sebuah tatapan penuh harap, dengan warna-warni pelangi yang terpancar dari sudut senyumannya. Seorang gadis yang begitu menarik, yang samar-samar ditangan kirinya ku lihat menggenggam setumpukan kertas, dan sebilah pisau ide, berupa pena di tangan satunya lagi. Ada rasa penasaran yang menggelitik langkahku. Lalu aku berjalan menuju pesisir pantai itu lagi, dan benar saja aku masih dapat melihat sosok gadis itu, kini dia tengah mengangkat tangannya. Ada sebuah titik-titik suci yang tercurah dari sudut matanya yang bersinar memantulkan cahaya sang rembulan. Ingin aku bertanya kepadanya. Dan ternyata rasa itu telah mengalahkan ego dan kebodohanku. Aku pun menghampirinya, dan sejenak aku bertanya kepadanya dari atas jembatan, menyapa sang gadis yang tengah merenung di bawah jembatan itu.
“Assalamu’alaikum ukhti, sedang apa malam-malam begini di tempat seperti ini? Yang lain telah terlelap bersama dekapan angin malam yang amat sangat menggoda lho,” ucapku ragu, karena takut ia akan marah.
“Wa’alaikumsalam akhi, emmh, ana lagi susah tidur nih, teringat akan sesuatu yang baru saja luput dari hari-hari ana,” ucapnya sembari menyimpulkan sebuah senyuman di balik ketermenungannya.
“Hmm, kalau ukhti berkenan, bolehkah ana mengenal nama ukhti, biar nati ngobrolnya agak enakan, hehe.”
“Owh iya silahkan, nama ana Nisa, boleh juga dipanggil Icha. Kalau akhi?”
“Nama ana Ridwan, biasa dipanggil begitu juga.”
“Hmm, seneng dateng ke sini juga ya akhi?”
“Gak juga sih, biasanya ana lebih senang berada di dalam kamar sempit dan termenung di depan jendela.”
“Owh, lalu kenapa sekarang kenapa sekarang akhi ada di sini?”
“Ana kepikiran seseorang yang tadi sore ana lihat ada di tempat ini ukh.”
“Mmmh, gitu toh.”
“Eh iya ukh, kalau boleh ana tau hal apa sih yang pernah luput itu?”
“Mmhh, ya nisa itu suka terbayang kesalahan-kesalahan nisa waktu dulu. Kadang nisa malu dengan apa yang pernah nisa lakuin. Jadi, ya cuma inilah yang bisa ngasih sedikit ketenangan kepada nisa akh. Ya mungkin semua memang salah nisa di masa lalu akhi.”
“Subhanalloh . . ” ucapku sembari terkagum.
“Lho, kenapa akh?” dengan nada heran dan dahi mengerenyit.
“Ya ana kagum banget sama nisa ini, sedangkan berapa ribu orang yang masih bisa dengan bangganya berjalan membusungkan dada dengan berjuta noda masa lalu yang sama sekali tak sempat ia sadari, apalagi sesali!”
“Hmm, tentu suatu rahmat yang amat besar dari Allah SWT yang telah membuat nisa seperti ini akhi.”
“Iya betul ukh.”
Lalu semuapun berlalu. Akupun kembali ke tempat persembunyianku di balik selimut malam yang merinding, menarik syaraf menggigilku ke permukaan. Sedang aku meninggalkan gadis itu bercengkrama bersama gemintang yang berlemparan cahaya di ujung langit hitam berpoles kebiruan. Hanya dari dalam bayang aku dapat mengintipnya. Hingga akhirnya sang malam dengan gagahnya melindas kesadaranku, dan akupun terlelap dalam bayangan seorang gadis bernama nisa itu.
***
Merindingnya sang embun menggodaku untuk membuka mata yang masih terlihat bermalasan itu. Mencoba langsung mengejar lintasaan-lintasan mimpi yang sempat terputus di bawah kegagahan sang malam. Sekali lagi aku menghamburkan nafasku untuk mencapai pesisir pantai itu. Dan benar saja, dia sekarang tengah berterbangan bersama biru terangnya langit pagi itu. Diiringi alunan syahdu senandung irama deburan ombak yang menghempaskan kata-kata cinta yang suci. Membersihkan seluruh luka dan noda yang melekat di kaki-ku yang mulai bernanah ini. Ku saksikan itu semua beserta jembatan tua yang sempat juga singgah dalam benakku. Menarikan sebuah rona indah sang pagi yang menyambung mimpiku dengan sebuah realita yang manis. Yang tak pernah ku merasa malu untuk meneriakkannya kepada seluruh dunia. Meski ‘kan menghalangiku sebuah gerbang raksasa cakrawala impianku ini. Akan ku bongkar gerbang cakrawala itu, bila ia masih tetap juga terkunci dan menghadang langkahku!
*Sebuah kisah rekaan. Persembahan spesial untuk seorang akhwat yang spesial. Semoga apa yang menjadi harapan kita akan terwujud dalam sebuah jalinan yang halal dan abadi di hadapan Allah SWT. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.
Kamis, 22 September 2011
KABUPATEN: Kajian Bulanan Anak Pesantren (Great Project)
Selasa 20 September 2011, anggota Ikatan Pelajar Persis dan Ikatan Pelajar Persis Putri Pimpinan Region Garut melaksanakan agenda kajian bulanan. Kajian bulanan ini bertajuk KABUPATEN atau Kajian Bulanan Anak Pesantren. Dalam kajian bulan keempat ini dihadiri anggota IPPdan IPPi dari berbagai Pesantren, diantaranya: Pesantren Persis nomor 19, 76, 97, 98 dan lain-lain.Dalam kesempatan ini, ketua PD Hima Persis Garut, Alfin, berkenan memberikan sambutan -yang pertama kali- setelah terpilihnya menjadi ketua PD Hima Persis Garut.
Dalam sambutannya, Alfin menegaskan peran pelajar sebagai "misionaris" Quran Sunnah di bilik-bilik sekolah. Bahwa IPP dan IPPi region Garut harus selalu menjadi wadah yang efektif untuk meningkatkan intelektualitas kader. IPP dan IPPi region Garut diharapkan menjadi garda depan dalam memperjuangkan pendidikan moral di daerah Garut.
Dalam kegiatan itu pula, dilaunching sebuah program bertajuk "GEMA QURAN (Gerakan Menghafal Quran) Satu Hari Satu Ayat". Seluruh kader IPP dan IPPi diwajibkan menghafal Quran satu ayat perhari, lima kosakata bahasa Arab dan lima kosakata bahasa Inggris. Program ini sebagai usaha nyata dari IPP dan IPPi region Garut dalam mengusahakan terwujudnya pelajar yang Qurani secara dzahir maupun bathin.
Wallahu A'lam....
وما يذكر إلا اولو الالباب
Contact person: 085222425729 e-mail: himapersisgarut@gmail.com
Blog: www.himapersisgarut.blogspot.com
No. Rek. 0025-01-005124-53-4 BRI cabang Garut an. Dedi Iskandar
Senin, 19 September 2011
MUSKERDA IV HIMA PERSIS GARUT; Sebuah Titik Awal Pemberangkatan
“Ka annahum bun -yaan al marsuus” kalimat itulah yang pertama kali digaungkan oleh kang Budi, dept. Kaderisasi PW. Hima Persis Jabar dalam sambutannya pada acara MUSKERDA, sebuah hajat daerah keempat dari Hima Persis Garut yang dilaksanakan pada tanggal 18 September 2011. Dalam musyawarah yang dihadiri hampir seluruh otonom Persis se-Garut ini, bagi kawan-kawan dari PD. Hima Persis Garut merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Betapa tidak, sebuah keluarga besar yang memiliki tujuan yang mulia untuk menegakkan Al Quran dan Sunnah di muka bumi dapat berkumpul dalam sebuah tempat yang sama, dalam waktu yang sama, dan dengan masing-masing memiliki kesempatan yang sama juga untuk saling bersilatuhim antara satu sama lain. Kebahagiaan tersebut bahkan sampai diteriakkan oleh Fajar, ketua IPP region Garut. “Saya sebagai ketua IPP region Garut sangat merasa senang telah diakui keberadaannya dalam keluarga besar Persis Garut.” “Itu yang menunjukkan betapa sebuah pengakuan sosial itu begitu penting,” ungkap kang Ryan Alviana, atau biasa dipanggil kang Alfin, ketua PD. Hima Persis Garut periode 2011-2012.
Sebuah perasaan gembira yang juga dirasakan oleh kawan-kawan PD. Hima Persis Garut, yang langsung mendapatkan sambutan hangat dari keluarga besarnya, para otonom Persis Garut yang lain. Dari “sang ayah” Al Ustadz Iyep, PD. Persis Garut. Lalu dari “saudara kembar” kami, Teh Lena, PJM. Himi Persis Garut. Kemudian “sang kakak” kang Dodi, PD. Pemuda Persis Garut. Lalu dari “adik-adik” kami yaitu Fajar dari IPP region Garut. Dan Novita, IPPi region Garut. Dan juga dari kang Budi, PW. Hima Persis Jabar, sekaligus ketua PD. Hima Persis Garut periode 2010-2011.
Ada sebuah wacana besar dari apa yang PD. Hima Persis Garut usung, betapa pentingnya sebuah pembagian tugas dan garapan dalam sebuah tataran organisasi masyarakat sekompleks Persis dan otonom-otonomnya ini. Betapa setiap strata kaderisasi, baik itu IPP dan IPPi-nya, Hima dan Himi-nya, maupun Pemuda dan Pemudi-nya memiliki peranannya masing-masing yang mana semua itu tidaklah bertabrakan. Atau kata orang sunda itu “pacorok kokod.” Dalam istilah lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh kang Alfin, bahwa sebuah keluarga besar ini bisa amat sangat hebat bila dapat melakukan sebuah “simbiosis mutualisme.” Tidak menjadi organisasi yang egosektoral! Maka dari itu, dalam acara Muskerda kali ini, betapa besar keinginan dari PD. Hima Persis Garut untuk bisa bersilaturahim bersama otonom lainnya, untuk sekedar saling mengenal “proker” (Program Kerja) satu sama lain, khususnya Hima Persis sendiri. Tentu saja dengan tujuan, menciptakan nuansa simbiosis mutualisme tadi.
Dalam acara yang berlangsung selama tiga jam ini, cukup banyak hal yang dibicarakan –untuk ukuran sebuah acara dengan durasi tiga jam plus break-. Sebuah titik awal telah ditentukan oleh kawan-kawan PD. Hima Persis Garut, sebuah garis perjuangan selama satu periode ke depan! Dengan sebuah cita-cita besar, bahwa PD. Hima Persis Garut ingin menciptakan sebuah nuansa Hima Persis yang khas. Menciptakan sebuah creative minority kalau kata kang Lam Lam Pahala. Menebarkan virus positif kepada semua kader Hima Persis, Garut khususnya, sebuah gagasan besar bahwa “Berjuang di Hima Persis itu hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap kadernya.” Sebuah tesis besar yang disimpulkan dari sebuah peta pergerakan yang disimpulkan oleh kang Alfin.
Suatu penekanan dengan basis kepesantrenan yang kental, yang keluar dari kepala orang-orang kota santri ini. Dengan berkesimpulan, “Orientasi pergerakan kita itu adalah untuk peningkatan intelektualitas kader, bagaimana kita bisa menciptakan sebuah citra positif –bukan layaknya politik pencitraan para calon presiden atau pejabat tentunya- dari Hima Persis Garut ini, sehingga ketika orang mendengar kata ‘Hima Persis’ itu sudah langsung terbayang sebuah gerakan jihad yang relevan dengan zaman, yang dapat dilakukan oleh siapapun, di kampus manapun.” Kawan-kawan PD. Hima Persis Garut juga ingin menekankan, betapa sebuah tradisi kepesantrenan dengan kitab-kitab kuningnya tidak bisa dipandang sebelah mata di hadapan problematika global yang tengah melanda umat dewasa ini.
Yang pada akhirnya, kawan-kawan PD. Hima Persis Garut berkomitmen, bahwa PD. Hima Persis Garut bukanlah orang-orang yang dilahirkan oleh sejarah, tapi akan menjadi bagian dari orang-orang yang melahirkan sejarah baru bagi Hima Persis Garut!
وما يذكر إلا اولو الالباب
Oleh: Muhamad Ridwan Nurrohman
(Sekretaris PD. Hima Persis Garut)
Contact person: 085222425729 e-mail: himapersisgarut@gmail.com
Blog: www.himapersisgarut.blogspot.com
No. Rek. 0025-01-005124-53-4 BRI cabang Garut an. Dedi Iskandar
Langganan:
Postingan (Atom)