Senin, 05 November 2012

Merajut Tatanan Intelektual HIMA Persis menuju Peradaban Ulul Albab (Sebuah Pengantar Menumbuhkan kesadaran Urgensi Tradisi Intelektual Islam dikalangan kader HIMA Persis )

Oleh: Dilan Imam Adilan (Ketua PK Hima Persis STAI Persis Garut)

A. Pendahuluan
Ciri khusus kebangkitan Islam kontemporer adalah tidak sekedar bermodalkan semangat, ungkapan verbal, dan slogan, melainkan komitmen terhadap Islam[1] dan adab-adabnya, bahkan sunnah-sunnahnya. Seperti kita saksikan dikalangan kaum elite terpelajar mahasiswa contohnya menjamurnya majelis-majelis ilmu di pelataran masjid di perguruan tinggi (yang berkembang pesat di era 2000-an dengan istilah Halaqah) biasanya di prakarsai oleh DKM masjid contohnya :DKM masjid Salman ITB menjadi sebuah desain corak tersendiri munculnya halaqah-halaqah mahasiswa yang menjadi tonggak lahirnya tradisi Intelektual Islam di universitas-universitas, selain itu lewat halaqah ini bangkitlah semangat untuk mempelajari Islam dan konsumsi terhadap literatur keislamanpun semakin banyak membludak. 

Jumat, 02 November 2012

MAKNA PROGRESIFITAS BAGI HIMA PERSIS


Oleh: Jajang Hidayatullah*

Dalam kamus ilmiah, Progresif diartikan ‘berhasrat maju; selalu (lebih) maju, meningkat’ (Agus tin, 2001:434). Progresif bagi kehidupan saat ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi bagi ‘organisasi kader’ seperti Hima Persis. Karena kalau kita tidak berubah atau sama sekali tidak berkeinginan untuk maju, konsek-wensinya  kita akan dianggap seperti fosil dinosaurus yang telah mati.
Tentunya progresifitas yang dimaksud mempunyai pengertian yang utuh dan sesungguhnya. Mental membangun atau progresifitas tidak diartikan pada pemahaman kearah perkara yang bersifat fisik, atau malah terjebak pada istilah    modernitas,    sehingga pengertiannya menjadi sempit karena berkubang pada hal yang bersifat kasat mata saja. Perlu diingat bahwa Kejayaan fisik suatu peradaban sangat melenakan. seringkali kejayaan itu diadopsi dari peradaban Barat yang sekuler, tak ayal kecanggihan teknologi dan pengetahuan yang berkembang di Barat pun me-maksa kita sebagai umat Islam harus silau dan pasrah berkiblat buta ke Barat. Perlu juga disampaikan disini, bahwa Modernisasi—‘simbol kemajuan’— yang diajarkan Barat acap kali senyawa dengan sekulerisasi. Padahal sekulerisasi bukanlah syarat mutlak kemodernan dan kemajuan. Masyarakat tidak mesti menjadi sekuler untuk menjadi modern.

Jumat, 26 Oktober 2012

MUSYDA V HIMA PERSIS GARUT


MUQODDIMAH

Bismillah!
Salam Mahasiswa! Salam Perjuangan! Salam Ulul Albab!

Hima Persis Garut telah memasuki usia kelima. Perjalanan dakwah panjang di bidang pendidikan, sosial dan politik menjadi konsen pergerakan para mujahid di dalamnya. Kini, saatnya proses regenerasi berjalan melalui Musyda V Hima Persis Garut ini.
Selama satu tahun perjalanan masa jihad tasykil 2011-2012, Hima Persis Garut telah melahirkan sebuah paradigma dakwah penting dalam tubuh mahasiswa di Garut. Sikap independen dan berani dalam menentukan sikap di masyarakat merupakan satu prestasi penting. Di tengah-tengah sikap apatis dan pragmatis mahasiswa dan organisasi mahasiswa di Garut, Hima Persis Garut tidak terjebak pada pusaran arus itu.

Rabu, 24 Oktober 2012

Menikam "Ulul Albab"


Menikam “Ulul Albab”
(Memaknai kembali Diskursus Hima Persis)[1]
Fadjar Goemelar[2]
Pendahuluan
            Belakangan ini perhatian saya sebagai mahasiswa terpusat pada usaha usaha kontemplasi dalam memaknai gerakan kemahasiswaan sebagai sebuah keniscayaan. Hal tersebut menunjukan besarnya hasrat akan interpretasi yang lebih imajinatif tentang hakikat dari urgensi pergerakan mahasiswa itu sendiri. adalah Hima Persis, organisasi kemahasiswaan yang sejak 1996 telah bergulat dengan realitas, segmentasi khas Persis mewarnai sepak terjang jami’yyah ini. Dengan mengusung term “Ulul Albab”[3] Hima Persis mengikrarkan eksistensinya, sebagai klaim atas cita cita luhur yang di formulasikan sebagai ideologi bersama.

KABAH VI HIMA PERSIS GARUT

BESARLAH BERSAMA HIMA PERSIS

Ikuti KABAH (Kaderisasi Anggota Baru Hima Persis) Garut



Jumat, 06 Juli 2012

UNDANGAN MAKAH! TERBUKA UNTUK SELURUH KADER HIMA PERSIS JAWA BARAT DAN JAKARTA


UNDANGAN TERBUKA UNTUK SELURUH KADER HIMA PERSIS JAWA BARAT DAN JAKARTA

A. NAMA KEGIATAN
Kegiatan  ini bernama Masa Kualifikasi Kader Hima Persis (MAKKAH/Intermediate Training).

B. TUJUAN
Adapun tujuan dari program ini antara lain :
  1. Membentuk Kader-kader Muslim yang berkarakter cerdas dan sadar serta bertanggung jawab terhadap fungsinya sebagai agen perubahan sosial dalam bingkai ulul albab.
  2. Meningkatkan kualitas kader Hima Persis yang terampil dalam berorganisasi, kritis  dan mampu berperan aktif dalam memecahkan persoalan keumatan.
  3. Terciptanya generasi Intelektual muslim yang berpegang teguh pada agamanya serta mempunyai jiwa kepemimpinan dan mampu mengaktualisasikannya dalam  pergerakan keummatan.

Sabtu, 23 Juni 2012

ADVENTURE YOUTH CAMP 2012



Sehubungan akan dilaksanakannya Adventure Youth Camp 2012 HIMA PERSIS JAWA BARAT, yang insya Allah akan dilaksanakan pada:

Kamis, 31 Mei 2012

Membangkitkan Syahwat Organisasi dan Tradisi Intelektual kader HIMA Persis

Oleh: Dilan Imam Adilan
(PK Hima Persis STAI Persis Garut)

Paradigma Kritis dan Tradisi Intelektualitas

Saya terkesima dan terpukau, saat membuka lembaran manuskrip masa lalu tentang geliat aktivis mahasiswa soal keberanian mereka untuk bersikap kritis meskipun harus menabrak tembok kekuasaan kata Zainil Zein ketua aktivis KALAM UI, lewat kata pengantar nya dalam buku“Membangun Peradaban Ilmu”, sikap kritis itu tidak pernah padam, walaupun rezim berkuasa melokalisasi aktivitas mahasiswa di tanah rutinitas

Minggu, 08 April 2012

Serpihan Sejarah Hima Persis

Oleh: Irwan Sholeh
(Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam Periode 2010-2012)

Menyusuri Jejak-jejak Hima Persis
Memungut serpihan sejarah Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (Hima Persis) setelah hampir 15 tahun organisasi ini berdiri tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ter-rekamnya perkembangan dan perjalanan Hima Persis dalam teks yang utuh dan lengkap menjadi salah satu faktor penyebabnya. Hampir di setiap acara kaderisasi, rekaman sejarah Hima Persis biasanya disampaikan melalui tradisi lisan. Rupanya tradisi tulisan yang menjadi ciri khas dari dunia intelektualitas belum melekat kuat dalam kultur intelektual Hima Persis. Ini terlihat dari masih sedikitnya produk-produk intelektual dalam bentuk tulisan yang bisa kita temukan di Hima Persis. Meski arus kuat diskusi, dialektika, dan perkembangan pemikiran memang terjadi di Hima Persis, namun sayang tidak terbukukan, sehingga tidak bisa dinikmati oleh tiap generasi.

Kamis, 16 Februari 2012

Hima Persis Kumpulkan Koin Beli Mobil DPRD Garut

“Rakyat Dijerat Harga Beras Mahal di Daerah Berstatus Tertinggal, Wakilnya “Geugeuleuyeungan” Dengan Mobil Dinas Baru, Pejabat Pemkab/Setda pun Akan Berganti Mobil Dinas Baru Bernilai Sekitar Rp1,5 juta”.
Garut News ( Kamis, 16/2 ).
Pimpinan Daerah Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (PD HIMA PERSIS) Garut, diketuai Muhammad Ryan Alviana berunjukrasa bersamaan para petinggi dan birokrat Pemkab/Setda setempat, mengikuti rapat paripurna istimewa DPRD Puncak Peringatan ke-199 “Hari Jadi Garut” (HJG), Kamis.

Mahasiswa Tolak Rencana Pembelian Mobil Dinas Baru Senilai Rp 3.6 Miliar

GARUT, (PRLM).- Sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa menolak rencana pengalokasian anggaran senilai Rp 3,6 miliar untuk pembelian mobil dinas baru anggota DPRD.

Aksi unjuk rasa dilakukan di depan Kantor DPRD Garut, Jln. Patriot, bertepatan dengan pelaksanaan sidang paripurna HUT Kab. Garut ke-199, Kamis (16/2).

Hima Persis Tolak Mobil Dinas Baru

GARUT, TRIBUN - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam himpunan mahasisa (Hima) Persatuan Islam (Persis) Kabupaten Garut berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Kabupaten Garut, Jalan Patriot, Garut, Kamis (16/2) siang.

Dengan membawa pengeras suara dan berbagai spanduk mereka menyatakan menolak dan mengutuk keras rencana pembelian mobil dinas

MOBIL DINAS: Mahasiswa tolak mobil baru DPRD Garut

GARUT: Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam, Kamis, melakukan aksi penolakan terhadap rencana pengadaan 16 mobil baru untuk anggota DPRD setempat.
Aksi dilakukan karena pengadaan mobil itu dinilai tidak mementingkan rakyat. Aksi digelar di Jalan Patriot, depan pintu gerbang kantor DPRD Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Rabu, 08 Februari 2012

MOBIL DINAS 3.6 MILIAR, JEMBATAN RUSAK DAN KELAPARAN DIBIARKAN!


Memasuki bulan kedua di tahun 2012, kondisi masyarakat di Garut semakin memperihatinkan. Berita tentang Garut, dalam media lokal maupun nasional didominasi berita mengenai kemiskinan, anak kurang gizi, jembatan putus, sekolah roboh, rakyat rawan daya beli dan rawan pangan. Berita-berita itu ibarat parade kemiskinan yang ditatap dan disantap setiap harinya di ruang-ruang publik.
Gayung ternyata tak bersambut, kondisi masyarakat tersebut tidak direspon oleh wakil rakyat di DPRD Garut. Hal ini tercermin dalam penyusunan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) tahun 2012 yang beberapa waktu lalu diparipurnakan. RAPBD Garut yang penyusunannya telat, ternyata sama sekali tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat Garut.
Yang paling mencengangkan, dalam anggaran belanja daerah 2012 terdapat anggaran untuk pembelian 16 mobil dinas anggota dewan senilai 3,6 miliar. Pengalokasian dana untuk mobil dinas itu jelas hanya akan dinikmati wakil rakyat saja. Ironis memang, ketika kondisi rakyat yang terbelenggu kemiskinan, tidak dijawab dengan alokasi anggaran yang pro rakyat. Tidak ada alokasi khusus untuk program-program pengentasan kemiskinan atau peningkatan daya beli rakyat. Dibandingkan dengan anggaran kesehatan dan pendidikan, alokasi anggaran untuk pembelian mobil dinas ini jelas tidak berimbang.
Rakyat Garut patut mempertanyakan, apakah wakil rakyat di DRPD benar-benar mewakili aspirasi rakyat? Atau hanya memperdulikan kepentingannya saja. Beginilah, jika wakil rakyat sudah tidak menggunakan hati nurani dalam menjalankan tugasnya. Sehingga, kebijakan apapun, termasuk anggaran tidak mengukur perasaan rakyat. Sungguh disayangkan, anggota dewan sebagai produk dari demokrasi yang dipilih langsung oleh rakyat, ternyata tidak mempunyai itikad politik menyejahterakan rakyat sebagai konstituennya.
Selanjutnya perlu langkah-langkah strategis yang pro rakyat dalam menyikapi hal ini. satu-satunya langkah strategis itu adalah membatalkan pengalokasian anggaran 16 mobil dinas tersebut. Jauh lebih baik, dana 3,6 miliar tersebut dialokasikan untuk memberdayakan ekonomi rakyat Garut yang memperihatinkan, membantu penguatan daya beli masyarakat yang rawan pangan seperti masyarakat yang makan pisang dan gadung di Cibalong. Atau dialokasikan saja untuk memperbaiki infrastruktur vital seperti jembatan-jembatan yang rusak.
Jika alokasi anggaran untuk mobil dinas tersebut direalisasikan, maka itulah bentuk penghianatan dewan terhadap rakyat. Padahal, kendaraan dinas yang ada masih bisa digunakan. Jika ada kerusakan maka memperbaikinya jauh lebih menghemat anggaran. Namun jika tetap saja anggaran ini direalisasikan, apakah pantas dewan legislatif disebut sebagai wakil rakyat dan eksekutif disebut pemimpin rakyat?!
(MRA)

Jumat, 13 Januari 2012

DEMOKRASI ALA NEGERI ANTAH BERANTAH

Oleh: Ryan Alviana 

Aceng bertanya kepada bapaknya tentang arti demokrasi. Bapaknya kemudian menjawab bahwa demokrasi itu bisa diibaratkan dalam rumah tangga. Bapak bertindak sebagai kaum kapitalis yang mencari nafkah, ibu sebagai pemerintah yang mengelola hasil, Aceng sebagai rakyat, adiknya sebagai masa depan yang perlu diperhatikan dan pembantu sebagai pekerja.
Suatu ketika Aceng pulang ke rumah dan mendapati adiknya sedang buang air besar di lantai. Dilihatnya ibunya sedang tidur lelap. Aceng kemudian ke kamar pembantunya untuk minta tolong. Tetapi ternyata ia mendapati bapaknya sedang meniduri pembantunya itu.
Aceng kemudian menyimpulkan;
Sekarang saya tahu arti demokrasi yaitu kaum kapitalis “menekan” para pekerja, pemerintah tertidur lelap, rakyat tidak berani membangunkan, hanya bisa melihat masa depan yang penuh dengan kekotoran.
*Sebuah anekdot tentang arti demokrasi.

Demokrasi Kapitalis dan Feodalis
Deretan angka-angka statistik yang dihadirkan pemerintah untuk menguatkan pernyataan tentang kemajuan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat. Berapa persenpun kemajuan ekonomi dalam bentuk yang kontras di lapangan, di pasar-pasar dan di dapur-dapur rakyat dirasakan sebagai isapan jempol belaka. Harga bahan makanan melonjak, lahan pekerjaan sempit dan penghasilan rakyat rendah. Dengan demikan, jauh panggang dari api, hak rakyat mendapatkan kesejahteraan kehidupan sebagai konsekuensi moral dari kehidupan bernegara tidak tercapai. Hal ini terjadi terutama disebabkan tumbuh suburnya praktek-praktek kapitalis dan feodalis di negeri ini.
Indikator utama dari praktek kapitalis yang tumbuh subur di negeri ini adalah bermunculannya korporat besar milik asing dan juga pribumi yang mengupah para pekerja dengan upah rendah. Serta hadirnya korporat yang mematikutukan ekonomi kerakyatan. Alhasil, kesenjangan sosial di masyarakat semakin kentara. Yang kaya yakni pemilik modal semakin kaya, dan yang miskin yakni rakyat semakin miskin. Contoh, berdirinya mall-mall besar, super market maupun minimarket di dekat pusat-pusat ekonomi kerakyatan (baca: pasar). Serta hegemoni ekonomi korporat besar milik pribumi maupun asing; Amerika, Eropa dan Cina di negeri ini di berbagai sektor seperti pertanian, industri, pertambangan, perkebunan hingga sektor kesehatan dan pendidikan yang mendapatkan keleluasaan dari pemilik kekuasaan (pemerintah).
Kebijakan yang diambil pemerintah sama sekali tidak pro rakyat, tetapi sesuai dengan pesanan dan kepentingan korporat. Jelas di depan mata kita bagaimana dengan mudahnya pemerintah mengeluarkan izin kepada korporat untuk mendirikan market-market besar serta izin mengeksplorasi lahan pertambangan dan lahan hutan. Disinilah praktek-praktek suap mengakar kuat dari pemerintah pusat hingga ke sendi-sendi pemerintah daerah. Dapat disimpulkan salahsatu akibat praktek kapitalis ini juga tumbuh suburnya suap menyuap.
Praktek feodalis dapat kita cermati dari kasus-kasus sengketa agraria antara rakyat dan korporat. Masalah utamanya yakni penyerobotan lahan milik rakyat atau milik adat oleh korporat yang dalam beberapa kasus pemerintah memberikan perizinan. Bukankah, praktek seperti ini mirip dengan praktek feodal di zaman kolonial. Dimana tanah-tanah rakyat dipakasa diambil dan ditanami tanaman yang dikehendaki oleh korporat?!
Kasus pembubaran aksi secara paksa oleh aparat kepolisian di Bima yang menewaskan tiga orang demonstran dan kasus kerusuhan di Mesuji yang juga menewaskan beberapa orang berawal dari akar permasalahan yang sama yakni; izin pengelolaan lahan dari pemerintah untuk pertambangan dan perkebunan.
Polisi yang seharusnya mengayomi rakyat malah menjadi alat korporat. Polisi dalam hal ini sebagai robot penjaga korporat yang dikontrol untuk kepentingan korporat tersebut. Tak jarang pendekatan agresif seperti penyerangan dan bahkan pembunuhan dilakukan untuk melindungi korporat dari para demonstran.
Ironis memang, pemerintah yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat malah menjadi makelar. Padahal pemerintah mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat melalui proses demokrasi. Jargon demokrasi dari rakyat untuk rakyat di negeri ini berubah menjadi dari pejabat untuk korporat.
Peran mahasiswa sangat dibutuhkan untuk menghancurkan praktek kapitalis dan feodalis di negri ini. Mahasiswa harus berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terutama yang berkenaan dengan korporat. Mengkritisi izin praktek usaha yang dilakukan korporat. Membela kaum buruh dalam memperjuangkan upah yang layak. Membantu rakyat mempertahankan dan merebut kembali tanah yang diserobot oleh korporat.
Bila perlu mahasiswa harus melakukan dan mengkampanyekan pemboikotan terhadap produk-produk kapitalis dan feodalis. Tidak berbelanja di market-market, tidak membeli produk-produk dari korporat besar milik pribumi maupun asing. Mengkampanyekan untuk kembali ke pasar-pasar rakyat dan menuntut kepada pemerintah untuk melakukan revitalisasi pasar, pertanian, perkebunan dan industri milik rakyat.
Mahasiswa harus melakukan revolusi intelektual, yakni memberikan pendidikan kepada masyarakat lewat tulisan-tulisan di media massa dan menyiapkan think tank dan gerakan dari grass root. Menjadi yang terdepan dalam menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan suatu saat nanti, siap merebut kekuasaan dan memimpin negeri antah berantah ini menuju negeri madani tanpa praktek kapitalis dan feodalis. Wallahu A’lam. 

Harapan Ust. Adian Husaini Untuk Persis Garut II (ternyata bukan hanya untuk Garut)

Oleh Ipp Region Garut 

Pada kesempatan sebelum-nya kita telah membawakan satu tulisan karya Adian Husaini yang memberikan pandangan atas pemikiran-nya tentang Generasi Muda. Dan sudah menjadi kebutuhan bagi seorang Intelektual atau setidaknya Calon Intelektual dalam mengkaji pemikiran seseorang terhadap relevansi kepada realitas.

Maka kali ini, yang akan di sampaikan adalah seputar hal dilematis bagi generasi muda dalam menentukan pilihan bersikap guna merespon isu di dunia pendidikan khususnya. Dimana terjadi pengeliruan dan aksi sekularisasi pendidikan yang justru melahirkan SDM yang walaupun Kece tapi tetap saja Memble.

Pendidikan Karakter ? (tafaqquh fid din tepat-nya !)

sebelum kita bicara lebih dalam tentang pendidikan karakter, maka sebaiknya kita Indahkan terlebih dahulu dengan mengetahui seperti apa tujuan pendidikan?. dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 diredaksikan bahwa ”pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang”. Inilah pengertian secara umum pendidikan di Indonesia, dimana di arahkan pada persiapan para Rijaalul ghad dan Ummahatul Ghad (penerus hari esok) demi keberlangsungan masa depan yang lebih baik.

Pemerintah akhir akhir ini sedang gencar melakukan sosialisasi terkait pemahaman masyarakat dalam mengiplementasikan Konsep pendidikan karakter. Dimana harapannya adalah terjadi peningkatan Akhlak sebagai Orientasi dalam kajian keilmuan, inilah sebenar-nya yang juga di terapkan pada dunia pendidikan Islam dengan Visi-nya yaitu melahirkan generasi tafaqquh fid din.

Satu konsep sederhana yang paling saya sukai adalah, dalam mencari hakikat pemahaman akan sesuatu, didasarkan pada tiga analisis yaitu : yang baik seperti apa, yang buruk seperti apa, dan yang terjadi seperti apa, sehingga yang akan muncul adalah pemahaman yang secara menyeluruh dan mendasar tetapi tetap pada koridor kekinian. Maka tidak salah apabila kita menyadari bahwa kondisi pendidikan saat ini sedang ada pada posisi terancam. Seperti yang di katakan A husaini pada Artikel sebelumnya :

”Metode studi Islam dirusak dengan mengadopsi metode Orientalis Barat yang tidak menjadikan asas kebenaran dan keimanan Islam sebagai pijakan dan tujuan dalam studi agama. Kaum orientalis non-Muslim memang mempelajari Islam bukan untuk beriman kepada Islam, bukan untuk meyakini kebenaran Islam, dan bukan untuk mengamalkan ajaran Islam. Ini harusnya berbeda dengan tujuan dan fungsi ilmu dalam Islam, yang harus membawa kepada ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah”

Usaha usaha sekularisasi yang dapat kita temukan di berbagai ranah pendidikan dewasa ini semakin meng-Hegemoni paradigma pelaku pendidikan yang malah ikut beriman pada Westernisasi.

Pertanyaan-nya sekarang adalah, apakah Pendidikan Karekter ini akan mampu menjawab semua tantangan Islam dalam menghasilkan SDM yang baik ? lalu bagaimana dengan Sekularisasi pendidikan yang memperkeruh keadaan ketika suatu peradaban membutuhkan Regenerasi ?.

Pendidikan karakter ini sebenar-nya sudah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari hari, coba kita tengok Teks Visi Misi di setiap Pesantren, khusus-nya pesantren Persis maka akan di temukan Visi yang senada yaitu ”menghadirkan Generasi tafaqquh fid din”. Namun demikian, bukan berarti selamanya akan berlangsung tanpa badai, seperti yang di tercantum dalam tulisan sebelumnya :

” Pada satu sisi, pesantren berkeinginan mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga perkaderan ulama yang menekankan kegiatan ‘tafaqquh fid din”. Tetapi, pada sisi lain, tekanan-tekanan situasi dan birokrasi menyebabkan pesantren harus berkompromi dengan sistem pendidikan yang tidak mengarahkan pada tafaqquh fid-din. ”

Pernyataan tersebut datang dari seorang pimpinan pesantren yang menggambarkan bahwa kondisi Pendidikan saat ini mengharuskan Toleransi akan Nilai nilai yang diharapkan terhadap tuntutan keadaan. Sungguh, merupakan satu Ironi, ketika Konsep Pendidikan Islam ini telah menjadi objek para sekularis dalam menyimpangkan Hakikat Pendidikan itu sendiri. Ketidakberpihakan Sistem pada Nilai Nilai Islam adalah usaha yang dilakukan untuk menyimpangkan Nilai Islam melalui Birokrasi yang sudah di cengkram oleh sekularis bahkan sampai Kapitalis.

Selanjutnya, setelah kita sedikit mengetahui yang salah itu seperti apa, dan yang terjadi seperti apa, maka kini saat-nya menjawab pertanyaan ”lalu yang benar seperti apa ?”

Pendidikan Karakter (lagu lama yang dinyanyikan kembali)

sangat menggelikan rasa-nya ketika mendengar Opini bahwa pendidikan karakter adalah dari Barat, bahkan ada yang berceloteh itu adalah hasil Budaya Yahudi. Di atas, tadi sudah diberikan pandangan bahwa pendidikan karakter adalah tafaqquh fid din, yang kini justru di Klaim milik Luar. Menarik bila mengutip pernyataan Dr Yusuf Qardhawi dalam karya-nya Fiqh Prioritas :

”Sesungguhnya Ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal perbuatan, karena ilmu pengetahuan yang mampu membedakan antara yang Haq dan yang Bathil dalam keyakinan, antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka, antara perbuatan perbuatan yang sisunatkan dan yang bid’ah dalam Ibadah, antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah, antara tindakan yang halal dan tindakan yang haram, antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia, antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak, antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan tidak dapat diterima.”

Apabila di pahami dari sudut pandang Islam yang Rahmatan Lil Alamin, maka pendekatan Akhlak Islam itu sudah lebih senior ketimbang Brand Brand Pendidikan Karakter yang sedang hangat di bicarakan. Bahkan Rasulullah saw juga melakukan hal yang menanamkan Akhlak terpuji pada diri-nya sendiri terlebih dahulu, yang nanti-nya akan menjadi panutan. Maka kata kunci-nya sekarang, pendidikan itu untuk Ilmu, dan karakter itu untuk Akhlak, yang di Propagandakan dengan sebutan Ilmiah Educatioan Of character atau Educationally Value.

Dan akan lebih panjang lagi pembahasan ketika mengungkap lebih lanjut seputar pendidikan karakter dari sudut pandang Metodik atau Penerapan-nya, tetapi Urgensi untuk saat ini adalah bagaimana kita sebagai Generasi Pelaku Pendidikan dalam menyikapi situasi dan Kondisi pendidikan, yang semakin hari semakin gencar saja Usaha penghapusan Nilai Nilai Islam yang ada di dalam-nya.

Inilah tugas bagi Para Aktivis dalam rangka melakukan perubahan dalam berbagai perkara yang terjadi di sekitar-nya. Keberadaan kita selaku Intelektual atau sekali lagi Calon Intelektual jangan hanya menyibukan diri dengan urusan yang bersifat minim manfaat, karena ternyata tantangan jaman itu bukan hanya bisa terselesaikan oleh keberanian tapi juga di harus ada persiapan yang matang baik secara keilmuan, Akhlak, kapasitas pergerakan dan hal hal yang dirasa dibutuhkan; sebagai ajang pengumpulan tenaga dalam menghadirkan peradaban yang tebih baik.

Semoga bermanfaat !

F.G

Harapan Ust Adian Husaini Untuk Persis Garut

Oleh Ipp Region Garut 

Kemarin malam, saya merasa sangat khawatir dengan masa depan IP-Persis di Garut, kita belum memiliki forming of cadres (kaderisasi) yang baik, Kondisi internal dan eksternal yang masih harus banyak mendapat pembinaan, Dll



Tetapi di malam yang Galau itu, saya mencoba mengobrak abrik file file di Komputer Warisan ini; ternyata ada satu file HTML yang bertajuk “Kumpulan Tulisan Adian Husaini”, setelah saya buka, ada Puluhan artikel yang sangat menarik sekali untuk saya cermati. Dari seluruh Artikel tersebut, terdapat satu judul yang sangat nyambung dengan Ke-galauan saya malam itu : “Harapan Untuk Garut”.



Selebih-nya, untuk lebih menjaga ke-orsinilan dari Artikel tersebut, dalam Note ini akan Copas secara keseluruhan tanpa ada yang di kurangi atau di tambahkan.



Semoga dapat menghapuskan setiap kegalauan ! semoga dapat mencerahkan !



HARAPAN UNTUK GARUT

Oleh: Adian Husaini

Pada tanggal 3-5 Juli 2006 saya berada di Kota Garut, sebuah kota yang indah di Propinsi Jawa Barat. Kota yang terkenal dengan ‘dodolnya’ ini terbilang kaya dengan potensi alam. Sumber daya alam berupa gas, emas, dan air panas banyak ditemukan. Keindahan alamnya juga sangat luar biasa. Akhir-akhir ini kota Garut tercoreng namanya gara-gara skandal Ujian Akhir Nasional yang direkayasa oleh pejabat pemerintah setempat. Kota ini juga dikenal sebagai ‘kota santri’, dengan banyaknya pesantren dan sekolah Islam.

Sayangnya, di tengah kekayaan sumber daya alamnya, Kota Garut dikenal sebagai salah satu dari tiga kota termiskin di Jawa Barat.

Salah satu Ormas Islam yang memiliki basis kuat di kota ini adalah Persatuan Islam (Persis), yang memiliki puluhan pondok pesantren di Garut. Dalam satu acara pelepasan santri Muallimin di Pesantren Bentar, satu pesantren Persis yang tertua di Garut, pada 4 Juli 2006, sang kyai dari pesantren itu menekankan pentingnya para santri untuk tetap memegang teguh ilmu yang sudah dipelajarinya, tetap menghormati para ustad, dan aktif dalam berdakwah Islam.

Ia menceritakan berbagai kondisi sulit yang dihadapi pesantren di tengah tantangan zaman saat ini.

Pada satu sisi, pesantren berkeinginan mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga perkaderan ulama yang menekankan kegiatan ‘tafaqquh fid din”. Tetapi, pada sisi lain, tekanan-tekanan situasi dan birokrasi menyebabkan pesantren harus berkompromi dengan sistem pendidikan yang tidak mengarahkan pada tafaqquh fid-din.

Untuk menjembatani hal itu, Pimpinan Daerah Persis Garut telah membangun satu Ma’had ‘Aly, yang mengkader calon-calon dai dan ustad yang benar-benar bersedia mendalami ilmu-ilmu agama (Ulumuddin).

Dalam acara dialog dengan para ustad dan pimpinan pesantren di lingkungan Persis Garut, saya menyampaikan pentingnya kalangan pesantren mempertahankan dan meningkatkan tradisi keilmuan, dengan cara menghargai ilmu dan ulama. Jangan harapkan ulama bisa dihargai jika mereka sendiri tidak menghargai ilmu dan tidak menghormati dirinya sendiri. “Ketua Persis Garut tidak boleh merasa lebih rendah derajatnya dari pada Bupati Garut. Jangan sampai ada pikiran bahwa jika ketua Persis Garut menjadi Bupati Garut, berarti dia naik derajat.’’ Ketua Persis Garut, Ustad Mamat Abdurrahman, memang dikenal gigih dalam mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam di kotanya.

Posisi ulama ini sangat penting untuk ditekankan, sebab tidak sedikit yang berpendapat, bahwa menjadi umara adalah prestasi tertinggi dalam perjuangan dakwah Islam. Ada pendapat bahwa menjadi ketua NU atau Ketua Muhammadiyah lebih rendah derajatnya dibanding menjadi Presiden Indonesia. Menjadi Menteri Agama dipandang lebih tinggi derajatnya ketimbang menjadi ketua Pondok Pesantren.

Tentu saja, pikiran itu tidak benar. Menjadi pemimpin organisasi Islam bukanlah hal yang ringan dan lebih rendah martabatnya ketimbang menjadi menteri atau Presiden sekalipun. Menjadi seorang guru ngaji di TK tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan martabat anggota DPR atau DPRD.

Martabat ulama inilah yang seharusnya dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Menjadi umara yang baik adalah satu kewajiban. Tetapi menjadi ulama yang baik juga satu keharusan. Umara haruslah seorang yang berilmu dan beramal shalih. Tetapi, menjadi ulama lebih-lebih lagi dituntut berilmu dan beramal shalih.

Ulama adalah pewaris nabi. Di tangan merekalah kita berharap agama Islam dapat dijaga dan dipertahankan. Di pundak para ulama itulah, terletak amanat perjuangan Islam yang tertinggi. Dengan dukungan umara yang baik, maka perjuangan Islam akan lebih efektif.

Karena itu, pengkhianatan terhadap ilmu dipandang sebagai pengkhianatan yang terbesar dalam pandangan Islam. Dalam bukunya, Ar-Rasul wal-‘Ilm, (Di-Indonesiakan oleh Amir Hamzah Fachrudin dkk., 1994) -- Dr. Yusuf Qaradhawi mengutip satu hadits Rasulullah saw :

‘’Hendaklah kalian saling menasehati dalam ilmu. Sesungguhnya pengkhianatan seseorang terhadap ilmunya lebih berbahaya daripada pengkhianatannya terhadap hartanya. Dan sesungguhnya Allah akan menanyai kalian semua pada hari kiamatnanti.’’ (HR ath-Thabrani).

Menurut Qaradhawi, hadits itu memberi makna, bahwa pengkhianatan terhadap harta – walaupun dalam jumlah yang besar– akibat buruknya terbatas. Lain dengan pengkhianatan terhadap ilmu yang akibatnya akan menghancurkan semua lapisan masyarakat. Istilah Prof. Naquib al-Attas, kerusakan ilmu disebut juga sebagai ‘’corruption of knowledge’’. Korupsi ilmu adalah jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.

Kita tahu, bagaimana kerasnya Rasulullah saw dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku korupsi harta. Beliau saw pernah tidak mau menyalatkan jenazah seorang yang meninggal di medan jihad, gara-gara orang itu berlaku curang dalam soal harta rampasan perang.

Dalam soal ilmu, Islam menerapkan hal yang lebih keras lagi. Pelakunya bisa terkana kategori ‘riddah’ (murtad) dan akan mendapatkan ‘dosa jariyah’ akibat mengajarkan ilmu yang salah atau ilmu yang sesat.

Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang di dalam Islam mengerjakan amal yang baik maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang beramal dengannya sesudahnya, tanpa dikurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang beramal buruk, maka dia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa dikurangi dosanya sedikitpun.” (HR Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad).

Demikianlah peringatan Rasulullah saw. Jadi, kita perlu sangat berhati-hati dalam masalah ilmu. Jika ilmu itu benar, diamalkan, dan diajarkan, maka di pemilik ilmu akan mendapatkan pahala yang ‘jariyah’ (mengalir), meskipun dia sudah meninggal. Sebaliknya, jika ilmunya salah, dan diajarkan kepada banyak orang, maka dia akan mendapatkan dosa yang terus-menerus dari orang yang menerima ilmunya. Karena itulah, kita bisa memahami, bahwa pengkhianatan dalam masalah ilmu adalah lebih besar nilai kejahatannya dibandingkan dengan pengkhianatan masalah harta.

Lembaga Islam, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi Islam –apalagi yang jelas-jelas membawa label Islam dan mengaku lembaga Islam– harusnya memperhatikan peringatan Rasulullah saw dalam masalah ilmu. Lembaga-lembaga itu harus menjadikan masalah ilmu sebagai hal yang mendasar dan mendapatkan prioritas pertama. Tidak boleh bermain-main dan memandang enteng masalah ini.

Ormas-ormas Islam dan partai-partai Islam pun sudah seyogyanya menjadikan masalah ilmu ini sebagai hal yang utama dan pertama. Jangan sampai partai-partai Islam atau Ormas Islamjustru menjadi ujung tombak penyebar ilmu yang salah.

Kepada para pimpinan pesantren di lingkungan Persis Garut, saya menyampaikan harapan itu ; agar pondok pesantren mereka benar-benar menjadi benteng keilmuan Islam yang tangguh, yang melahirkan orang-orang yang alim dan beramal shalih.

Harapan ini sangatlah penting, mengingat saat ini, ada fenomena umum yang menganggap enteng masalah kerusakan ilmu di lingkungan perguruan tinggi Islam. Ilmu perbandingan agama dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman.

Metode studi Islam dirusak dengan mengadopsi metode orientalis Barat yang tidak menjadikan asas kebenaran dan keimanan Islam sebagai pijakan dan tujuan dalam studi agama.

Kaum orientalis non-Muslim memang mempelajari Islam bukan untuk beriman kepada Islam, bukan untuk meyakini kebenaran Islam, dan bukan untuk mengamalkan ajaran Islam. Ini harusnya berbeda dengan tujuan dan fungsi ilmu dalam Islam, yang harus membawa kepada ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah.

Dalam satu diskusi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat, Juni lalu, saya katakan, bahwa saat ini sedang dikembangkan satu metode studi agama yang berpijak pada epistemologi keraguan dan kebingungan, sehingga akan melahirkan para sarjana agama yang bingung alias golongan bingung (golbin).

Akibatnya, banyak yang belajar agama, justru hasilnya tidak meyakini kebenaran agamanya. Sebaliknya, dia malah ragu dengan agamanya sendiri. Tidak heran, jika banyak yang belajar ushuluddin, tetapi malah tidak yakin dengan dasar-dasar agamanya. Banyak yang belajar syariat, tetapi justru bersikap menentang atau tidak bersemangat menerapkan syariat Islam. Banyak yang belajar ilmu dakwah di Fakultas Dakwah, tetapi justru tidak menjalankan aktivitas dakwah.

Tidak sedikit mahasiswa kampus Islam yang secara terus terang menyatakan keraguannya akan kebenaran Islam. Banyak juga yang mengaku tidak bersemangat lagi mengerjakan shalat lima waktu.

Mengapa? Karena semua itu berawal dari niat yang salah dan metode belajar Islam yang salah. Ironisnya, banyak yang kini bangga dalam kesalahan, dan aktif menyebarkan kesalahan.

Salah satu fenomena yang mencolok mata adalah diwajibkannya mata kuliah hermeneutika bagi mahasiswa Tafsir Hadits di berbagai Perguruan Tinggi Islam. Banyak dosen dan ulama yang cuek dan tidak peduli dengan masalah ini. Mungkin karena tidak paham sama sekali tentang masalah hermeneutika ; atau mungkin juga karena setuju dengan gagasan hermeneutika sebagai pengganti ilmu tafsir.

Banyak orang tidak memandang penting kasus dosen IAIN Surabaya yang menginjak lafaz Allah dengan sengaja. Padahal, cara pandang seperti itu – bahwa Al-Quran adalah produk budaya -- sudah dianut oleh banyak dosen UIN/IAIN dan sudah diajarkan kepada ribuan mahasiswa.



Petinggi-petinggi Departemen Agama dan kampus-kampus berlabel Islam masih banyak yang merasa nyaman dan tenang-tenang saja dengan fenomena kerusakan ilmu yang meluas dan berlangsung terus-menerus. Kasus buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” karya Prof.Harun Nasution bisa dilihat sebagai satu contoh.

Buku yang mengandung begitu banyak kekeliruan ini sudah dijadikan bacaan wajib bagi studi Islam di Perguruan Tinggi Islam selama 33 tahun. Bayangkan, selama 33 tahun, ratusan ribu mahasiswa dicekoki dengan ilmu yang keliru tentang Islam. Mereka sekarang ada yang menjadi pejabat pemerintah, profesor, rektor, dekan, guru agama, hakim-hakim agama, dan sebagainya.

Kemungkaran dan pengkhianatan dalam ilmu-ilmu agama inilah yang seyogyanya menjadi prioritas penting dalam program dakwah lembaga-lembaga Islam. Ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan sebagainya, seyogyanya menjadikan masalah ini sebagai program pokok.

Ormas-ormas Islam jangan sampai hanya menyibukkan diri dalam soal-soal pilkada atau merespon isu-isu kontemporer, tanpa menyadari bahaya besar akibat pengkhianatan ilmu.

Kepada para alumni Pesantren Bentar di Garut, saya tunjukkan sejumlah contoh buku-buku yang ditulis akademisi di berbagai kampus berlabel Islam, yang isinya merusak keilmuan Islam. Kita berharap, para alumni pesantren yang akan melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi, dapat membentengi dirinya dari perusakan ilmu yang dilakukan sejumlah dosen, yang sudah tercemar dan rusak pemikirannya. Kita berharap, para alumni pesantren itu tidak mudah tergoda dengan ‘iming-iming duniawi’ yang mungkin ditawarkan jika nanti mereka bersedia menjadi agen penyebar virus ‘sipilis’ (sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme) di Indonesia.

Hingga kini, kita belum bisa berbuat banyak. Kita belum punya kampus Islam yang benar-benar ideal, yang mengaplikasikan konsep ilmu dalam Islam secara total.

Kita terpaksa masih melepaskan santri-santri dan anak didik kita ke kampus-kampus yang di sana masih bercokol sejumlah dosen yang mengajarkan pikiran dan amal yang buruk. Ada dosen ushuluddin yang sudah berpuluh tahun menyebarkan paham yang keliru tentang perkawinan antar-agama, dan bahkan menjadi penghulu swasta untuk perkawinan bathil semacam itu.

Ironisnya, selama puluhan tahun itu, pimpinan Departemen Agama dan para petinggi kampus tersebut tetap tenang-tenang saja, membiarkan semua kebejatan itu berlangsung. Kita perlu mengingatkan kepada para dosen dan pejabat yang berwenang itu, bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, tentang apa yang sudah menjadi amanah dan tanggung jawabnya.

Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan bergerak kaki manusia pada Hari Kiamat, sampai mereka ditanyai tentang empat perkara: (1) Tentang umurnya, untuk apa ia gunakan, (2) tentang masa mudanya, untuk apa dia habiskan, (3) tentang hartanya, darimana dia dapatkan dan untuk apa ia gunakan, (4) tentang ilmunya, apa yang ia amalkan.” (HR Al-Bazzar dan ath-Thabrani).

Waallahu a’lam.

(Jakarta, 7 Juli 2006/hidayatullah.co,).

Ulul Albab ; Jati Diri Kader HIMA PERSIS (Mengurai Sejarah, Meanstream, Paradigma Gerakan, Falsafah Perjuangan, Dan Trias Politika)

Oleh; Deden Syarif Hidayat 

PENGANTAR
Dalam membaca sejarah, selain objek materil yang dibahas, tidak sempurna kiranya jika setting sosio-historis (kondisi lingkungan sosio-politik-keagamaan) yang melingkupi objek sejarah tersebut, diabaikan. Begitu juga dengan sejarah organisasi kader-otonom Persatuan Islam; Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (selanjutnya disebut Hima Persis). Kajian sosio-historis ini sangat kontributif dalam upaya memahami substansi perjalanan sejarah yang dikaji. Sehingga kita tidak terjebak oleh angka-angka periodisasi dan hitung-hitungan waktu semata. Tapi dapat diketahui setting historis objek yang dikaji, motif-motif yang melingkupi, dan gejala-gejala yang melatarbelakangi kemunjulan dan perkembangannya. Namun perlu diakui di sini, bahwa karena minimnya sumber data tertulis nan komprehensif, pembahasan ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk memudahkan pemetaan, kita akan bahas sejarah Hima Persis ini mulai dari kemunculan, kelahiran, dan perkembangannya. Selanjutnya, untuk menghayati eksistensi, akan kita bongkar bersama konsep ulul albab dalam konteks gerakan Hima Persis.

SELAYANG PANDANG HIMA PERSIS

Fase Kelahiran
Tahun 1990 kita kenal sebagai era kebangkitan kembali gerakan mahasiswa pasca pemberlakuan NKK/BKK. Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus, mulai diramaikan kembali. Sehingga akhirnya demonstari bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus. Meski saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk longmarch ke instansi-instansi pemerintahan tetap dilarang. Dengan semakin menguatnya dorongan demokratisasi, sampailah pada puncaknya, yaitu penggulingan rezim Soeharto di tahun 1998. Gelagat terbukanya partisipasi masyarakat, arus demokratisasi, kebebasan berpendapat, serta terpetakannya ”musuh bersama” pada saat itu, memunculkan idealisme mahasiswa yang semakin menggurita. Situasi seperti ini, setidaknya membawa semangat baru dan kesadaran internal mahasiswa untuk terus melaju melakukan perubahan; dalam aspek apapun. Di tengah kesadaran inilah, meski secara tidak langsung, Hima Persis terlahir.

Di samping itu, secara paradigmatik prinsipil, lahirnya organisasi Hima Persis terlahir tidak untuk menambah deretan panjang daftar Ormawa (Organisasi Mahasiswa) di Indonesia. Namun karena kita masih punya harapan besar tentang masa depan Islam, masa depan pemikiran Islam, dan masa depan mahasiswa Islam. Kita masih punya cita-cita luhur untuk meresfon persoalan-persoalan pemikiran Islam, kerakyatan, keumatan maupun kebangsaan. Bahwa hari ini kita menyaksikan “kerumunan” mahasiswa yang jauh atau menjauhkan diri dari persoalan pemikiran Islam, sengaja menjaga jarak dengan persoalan masyarakat. Bahkan lebih ekstrimnya, tidak punya kepekaan sama sekali dengan agenda-agenda nasional yang perlu diperbaiki dengan kontribusi dan distribusi pemikiran dan gerakan mahasiswa. Lebih parahnya lagi, gerakan mahasiswa sudah menjadi barang dagangan (komoditi) kalangan tertentu, sehingga idealisme dan cita-cita gerakannya mengalami kebuntuan saluran. Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum. Dalam situasi seperti ini, posisi Hima Persis mulai membaca membangun paradigma. Point-point inilah yang kita namakan faktor eksternal kemunculan Hima Persis.

Demikian pula, faktor internal kelahiran Hima Persis didasari oleh semangat pembaharuan dan perubahan pada jiwa-jiwa mahasiswa Persis yang tersebar di berbagai kawasan, seiring dengan derasnya isu-isu pemikiran baru demi menjawab tantangan zaman dan bergelindingnya bola modernisme di tengah-tengah kehidupan ummat. Selain itu, terdapat kesadaran kaum muda Persis akan pentingnya akselerasi penyiapan pemimpin dan figur masa depan di internal ormas-ormas Islam. Termasuk Persis di dalamnya.

Dalam manuskrif salah seorang founding father Hima Persis generasi awal , setidaknya dapat dicerna faktor-faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya Hima Persis. Pertama, mengingat kepada pandangan bahwa komunitas kaum terpelajar merupakan kelompok yang layak dan memenuhi persyaratan untuk menjadi penggagas dan pelopor sebuah cita-cita luhur pembangunan di lingkungannya. Ini dimungkinkan karena kelompok ini dianggap dapat memahami realitas secara objektif dan dapat menatap masa depan secara optimistik. Dengan kesadaran ilmiah ini diharap dapat menjauhkan gejala shock ketika menghadapi perubahan zaman sehingga bisa mengarah kepada suatu fungsi yang over depensif atau sebaliknya tenggelam dalam arus perubahan dan kehilangan jati dirinya. Untuk itu, organisasi Islam dan lembaga-lembaga modern lainnya dianjurkan untuk memprioritaskan usaha pendidikan kader.

Kedua, Kesinambungan tradisi dalam konteks perubahan zaman, keberadaan kaum terpelajar dituntut agar berkelanjutan secara alamiah dan tidak pernah termakan usia. Sehingga, mengingat keterbatasan usia manusia, pergantian tokoh atau pergeseran figur harus akseleratif sedemikian rupa tanpa menyisakan efek ketegangan antar generasi dan tidak menimbulkan perubahan situasi drastis di masyarakat awam, walau memang diakui bahwa cita ideal ini sangat sulit ditemukan dalam sejarah. Rupanya penulis ingin mengatakan bahwa setiap perubahan, ada saja barisan yang pro dan kontra. Konsekuensinya, organisasi kader ini harus mewarisi tradisi vis a vis mempunyai tuntutan lain sebagai amanat khusus organisasi kader; yaitu usaha untuk memahami dan memenangkan masa depan. Dengan kata lain, kesadaran akan sense terhadap tradisi harus berbanding lurus dengan me-review masa lalu untuk memenangkan pergulatan kompetisi untuk masa depan yang lebih prospektif dan survival.

Ketiga, secara organisatoris, dipisahkannya Hima Persis dengan organisasi kader muda lainnya disebabkan oleh signifikansi-signifikansi tertentu yang tidak bisa dihindarkan. Diantaranya adalah karakter dan kultur yang dimiliki oleh mahasiswa dipandang lebih khas, apalagi ditambah dengan persoalan limit waktu dan penyebaran kader yang terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu saja. Jadi sifatnya temporal dan sektoral. Demikian pula dengan potensi ilmiah akademisnya yang relatif merata dan berkualitas. Maka perlakuan khusus demi pengembangan basis intelektualnya, sangat dibutuhkan.
Keempat, Meski secara organisatoris berbeda kamar, namun untuk sinergitas gerakan pengabdian keummatan, bisa disiasati dalam upaya-upaya koordinasi, konsolidasi dan kerja sama antar komponen Persis.

HIMA PERSIS didirikan pada fase kepemimpinan Ustadz Latif Mukhtar, M.A yang pada saat itu memangku amanat Ketua Umum PP Persis. Pada awalnya, organisasi otonom Persis di lingkungan mahasiswa ini dapat menjadi media transfomatif gagasan-gagasan Persatuan Islam di kampus-kampus serta dapat mengembangkan produk-poduk intelektual kampus dalam upaya menunjang perjuangan Persis di masa yang akan datang sesuai dengan tantangan pemikiran yang lebih bersifat ”ilmiah” dan ”intelektualis”. Selain faktor kultur akademik yang kental pada diri ust. Latief Mukhtar, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga identitas dan keterikatan kader/alumni-alumni Pesantren Persis yang mulai banyak tersebar di kampus-kampus. Berbeda dengan fase Ust. Abdurrahman yang memang kader-kadernya belum begitu gebyar ter(mem)promosikan di Perguruan-Perguruan Tinggi.

Untuk mempertegas faktor-faktor di atas, ada beberapa potensi besar Hima Persis untuk memperkuat eksistensinya dan dianggap potensial. Diantaranya adalah alasan realistik-strategis; mengingat potensi kader dan persebaran kader di kampus-kampus strategis sesuai dengan disiplin keilmuan yang digeluti. Sehingga secara tidak langsung bisa simbiosim mutualisme terhadap perkembangan dakwah Persis. Alasan kesadaran sejarah; kedigdayaan A. Hassan yang kemudian melahirkan M, Natsir, Isa Anshari, Rusyad Nurdin DLL seharusnya ditransformasikan melalui ideologisasi dan indoktrinisasi ke kader-keder intelektualnya. Terakhir adalah alasan sosio-politik-kultural; mahasiswa Persis seyogyanya tampil sebagai duta-duta perubahan, juru-juru penyelamat, dan pioneer-pioneer pencerdasan serta pencerahan di tengah ketimpangan, keterbelakangan dan inferioritas umat Islam di mata modernisasi.

Kesadaran ke arah pembentukan organisasi yang menghimpun kader-kader mahasiswa Persis sudah teropinikan jauh-jauh hari, tepatnya era ’90-an. Meskipun masih bersifat sektoral. Mengingat persebaran awal dominan di Bandung, wacana ke arah itu bermula dengan inisiasi pembentukan Himmatul ‘Alimin yang berarti “semangat/girah kaum pendidik” dan juga merupakan akronim dari Himpunan Mahasiswa dan Alumni Mu’allimin’ yang berotasi di IAIN (sekarang UIN) SGD Bandung. Selanjutnya, mahasiswa Persis yang sedang studi di Jakarta membentuk Hima Persis (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam) yang berotasi di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta. Sementara itu di Jogja membentuk pula HIMAPI (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam) di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Semua elemen ini mengalir dan bertemu di hulu kongres Cianjur, 24 maret 1996. Jakarta dengan terma Hima Persisnya, Bandung dengan terma Himatul’aliminnya dan Jogja dengan terma HIMAPI-nya juga para mahasiswa (termasuk mahasiswinya) Islam yang mempunyai keterikatan sejarah dan emosional dengan Persis, berkumpul dan terlibat diskusi mengenai identitas dan masa depan mahasiswa Persatuan Islam. Tentunya mereka datang dengan memboyong segudang argumentasi dan sejuta gagasan besar, baik yang pro maupun yang kontra pembentukan. Setelah melalui diskusi yang keras dan dialog yang alot, mengkristal pada sebuah nama Hima Persis. Sejak itu tertanggal 24 Maret 1996 sebuah keputusan bersama menetapkan bahwa nama Hima Persis merupakan identitas resmi bagi perkumpulan Mahasiswa Persis. Dengan demikian, baik Himmatul ’alimin maupun HIMAPI secara otomatis melebur dan terangkat (aufgehoben) mensintesis diri dalam Hima Persis. Simpelnya, Hima Persis adalah nama yang lahir dari komitmen bersama, semangat dialog dan cita-cita kolektif dengan mengintegrasikan diri dalam satu wadah; Hima Persis.

Fase Perkembangan (1996-2009)
Dalam perjalanan sejarah awal berdirinya, Rakanda Ihsan Setiadi Latif terpilih sebagai ketua umum (1996-2000, pembentukan awal kita anggap sebagai Muktamar ke-1). Masa ini penuh diisi dengan sosialisasi dan internalisasi Hima Persis ke dalam tubuh Persis. Gerakan ke dalam lebih kental ketimbang gerakan keluar. Sampai tahun 2000, tercatat telah memiliki 8 (delapan) komisariat yang tersebar di wilayah Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta serta 2 (dua) komisariat rontisan. Dikatakan, telah bergabung sekitar 500 orang anggota dengan seperangkat kantor sekretariat, yaitu di Pesantren Persis no. 1 Pajagalan Bandung yang sampai saat ini masih menjadi domisi PP Hima Persis. Walau dalam persebaran dan publishistiknya masih terkesan kurang, namun setidaknya ini menjadi sumbangan dan pijakan awal Hima Persis di masa selanjutnya. Pada periode ini, memang telah terumuskan upaya pembenahan struktur dan pola kaderisasi, meskipun dirasa kurang optimal dan transformatif kepada kepemimpinan selanjutnya, baik secara konsepan maupun praktiknya. Namun pada periode ini telah terangkat wacana ”Ulul Albab” sebagai kerangka dasar pergerakan Hima Persis yang diwujudkan dalam terma ”intelektual theorist dan moralis”. Demikian pula, kedaulatan dan kepemimpinan pada periode ini dikatakan cukup efektif. pada fase inipun internalisasi ke pra-kader mulai dilakukan melalui pelatihan-pelatihan kepemimpinan santri.

Dalam Muktamar ke-2 (2000), sempat muncul ke permukaan wacana integrasi Hima dengan Himi dan juga periodisasi kepemimpinan. Persoalan ini memang tidak relevan untuk diungkapkan, karena bisa jadi persoalannya terdapat pada perbedaan pola fikir semata. Meski pada akhirnya PP Persis saat itu mengeluarkan hak veto untuk tidak adanya integrasi Hima-Himi. Dari sinilah terbelahnya barisan organisasi yang pro tetap melanjutkan dan bersikap untuk keluar dari barisan. Persoalan paradigmatik inipun malah merembet kepada proses pembenahan dan pengembangan sebagaimana layaknya organisasi yang baru berdiri.

Pro kontra mengenai integrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keselamatan dan perjalanan Hima Persis. Diametralisme pandangan seperti itu, mesti di tolerir (dimaafkan) dalam sketsa gerakan mahasiswa. Dan baiknya kita berdamai dengan masa lalu. Sangat adil apabila kita melihat spectrum sejarah Hima Persis dengan lensa positif mengenai apa yang diusung organisasi muda ini. Tidak kemudian berfikir mundur ke belakang, agar pesan sejarah berdirinya Hima Persis mampu dimaknai secara akademik, dengan paradigma membangun masa depan Hima Persis yang mapan, mandiri dan mampu bersejajar dengan Ormawa yang lain.

Angkatan kedua, era Rakanda Khairudin Amin (2000-2003) merupakan fase publikasi keluar dan pembangunan jaringan organisasi ke lintas Ormawa, OKP, Ormas, Orpol dan lain sebagainya. Ditandai dengan santernya Hima Persis dalam upaya penyikapan isu-isu sosial-politik. Kaki kekuasaan hima Persis, baik di tingkat komisariat, Jaringan Madinah, maupun Wilayah, belum terkondisikan secara establish. Namun patut di apresiasi, era ini PP Hima Persis melakukan perumusan lanjutan doktrin Ulul Albab yang terumuskan dalam falsafah perjuangan Hima Persis, yaitu ilmiah, progressif dan revolusioner yang merupakan formulasi doktri ayat-ayat Al-Qur’an tentang konsep Ulul Albab. Di era ini juga, mampu memfasilitasi dan ikut menentukan arah pendeklarasikannya Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPNI) Jawa Barat.

Kemudian fase sdr. Latif Awaludin (2003-2005) fase ini kembali melingkar dalam bingkai internalisasi ulang ke dalam, membuka kran komunikasi gerakan di publikasikan ke luar dan penyikapan-penyikapan isu sosial-politik yang cukup massif, membuka jaringan-jaringan eksternal penunjang eksistensi Hima Persis, juga menjaga hubungan baik dengan PWK Persis Singapura. Dengan maksud agar eksistensi Hima di akui.

Selanjutnya sampai tulisan ini dibuat adalah fase sdr. LamLam pahala (2005-2008 dan 2008-2010). Pada fase 2005-2008, dioptimalkan dalam dimensi internal eksternal. Internal meliputi pembenahan administrasi organisasi dan pola kaderisasi, pemompaan intelektualitas kader, fungsionalisasi pimpinan, pembinaan pra-kader, pengembangan dan pelebaran sayap, pemanfaatan media teknologi informasi, dan menjaga hubungan baik dengan otonom lain dan induk Persis. Secara eksternal, penyikapan isu sosial-politik tetap dijalankan, hubungan baik dengan ormawa ektra lain bertaraf Nasional dibangun, dan menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak dan tokoh-tokoh Nasional dalam upaya kelangsungan eksistensi organisasi. Pada fase ini pun mulai dibuka komunikasi dan kerja sama dengan organisasi muda Islam taraf luar negeri, dalam hal ini adalah Malaysia.

DARI ULUL ALBAB KE TRIAS POLITIKA HIMA PERSIS

Pendahuluan
Dalam visi besarnya, sebagaimana tercantum dalam Muqaddimah QA QD, Hima Persis memproklamirkan diri “sebagai wadah pembentuk kader Ulul Albab” yang dirumuskan dalam tujuan ideal organisasi “membentuk insan akademis, pembaharu yang progresif-revolusioner”. Dari visi besar ini, lahirlah falsafah perjuangan Hima Persis, yaitu ilmiah, progresif dan revolusioner. Dan dari semangat ini muncul langkah-langkah strategis yang mesti diambil yang kemudian terumuskan dalam Trias Politika Hima Persis, yaitu intelektualitas (sebagai kesadaran gerakan Intelektual), transformasi sosial (sebagai kesadaran gerakan sosial), dan perubahan iklim politik (sebagai kesadaran gerakan politik etik).

Ulul albab adalah “harga diri”, “ruh”, “jiwa”, dan “darah” yang melekat tak terpisahkan dalam diri kader Hima Persis, Ulul Albab-lah adalah meanstream (arus utama) gerakan yang mengalir dalam nadi kader. Ke muara ulul albab ini-lah kita menuju dan lalu bertumpu darinya. Dengan kesadaran inilah kita lahir, kita berkembang, dan kita mengabdi tanpa batas henti. Dengan begitu, kita akan gapai cita-cita peradaban yang lebih “waras”. Untuk itu, penting untuk memahami landasan dan menifestasi kita sebagai kader ulul Albab. Dan yang menjadi pertanyaan krusial adalah; kenapa mesti ulul albab yang menjadi pilihan jati diri kader kita?!

Selain kesadaran normatif (teks Al-Qur’an), kesadaran realitas (sosio-historis) pula lah yang mendorong kita untuk “menjadi” kader ulul albab. Sehingga pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan normatif terhadap terma ulul albab, dan pendekatan realis yang menjadi pendorong bagi kita untuk memahami terma ulul albab.

Memaknai Ulul Albab
Perhatian Al-Qur’an terkait terma ulul Albab ini, cukup signifikan. Terdapat 16 ayat yang yang tersebar dalam beberapa surat dalam Al-Qur’an membahas dan mengakomodasi terma ini. Semua terdaftar dalam bentuk Jamak (plural) dan selalu saja terkait dengan konteks penggunaan dalam kalimat. Selain Albab, terma lain yang “mirip” adalah terma shadr, qalb, fu’ad, dan juga a\’aql (selalu saja menggunakan bentuk fi’il).

Lokus memuat terma ini berkaitan dengan “orang yang di beri hikmah (QS. Al-Baqarah: 269), orang yang sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu (QS. Yusuf: 111), kritis dalam mendengarkan pembicaraan/pandangan/pemikiran orang lain, tidak taklid (QS. Az-Zumar: 18), bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu (QS. Ali-Imran: 7), senantiasa merenungkan ciptaan Allah di langit dan bumi (QS. Ali-Imran: 190), sanggup mengambil pelajaran dari kitab yang di wahyukan oleh Allah (QS. Shad: 29; QS. Gafir: 54), senantiasa konsisten –walau sendirian- dalam mempertahankan keyakinan dan tidak terpesona dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan (QS. Al-Maidah: 100). Selain itu, indicator-indikator lain Ulul Albab ialah berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip tauhid (QS. Ibrahim: 52), memenuhi janji kepada Allah, menyambungkan apa yang diperintahkan oleh Allah, bersabar, memberi infaq, dan menolak kejelekan dengan kebaikan (QS. Ar-Ra’d: 19-22), bangun tengah malam dan mengisinya dengan ruku dan sujud ke hadapan Allah (QS. Az-Zumar: 9), banyak berdzikir (QS. Ali-Imran: 190-191), dan terakhir, ia tidak takut pada siapa pun, ia hanya takut pada Allah saja (QS. At-thalaq: 10; QS. Ar-Ra’d: 21).

Secara terminologis, kata Ulu adalah bentukan dari jamak yang punya arti “si pemilik” (hanya laki-laki). Dan uulaatu (shohibaatu) teruntuk hanya perempuan. Albab adalah bentuk jamak (plural) dari Lubb, yang bermakna inti, isi, sari, terpenting atau terbaik. Bisa juga mempunyai pengertian akal atau hati . Lubab adalah intisari dari segala sesuatu, murni bersih atau pilihan. Definisi ini di rasionalisasikan dengan umpama bahwa ketika kita akan memakan buah kelapa, kita membuang, mengeluarkan atau mengupas bagian luarnya, sehingga isi kelapa atau isi buahnya terambil. Isi kelapa tersebut dinamakan Lubb. Jadi Lubb terkandung makna aktif; mengeluarkan isi, bagian dalam dari sesuatu. Bisa juga bermakna dinamis; menyaring atau proses memiliki (mendapatkan) sesuatu hal .

Lubb juga bermakna pemikiran jernih yang terbebas dari kekeliruan atau kecacatan dalam berpikir. Pemikiran jenis inilah yang mampu menyingkap rahasia-rahasia dan hikmah dibalik hukum yang diturunkan Allah. Berpikir murni inilah yang melatarbelakangi firman Allah (QS. Al-baqarah: 269) mengaitkan kata hikmah dengan Ulul Albab . Keistimewaan-keistimewaan Ulul Albab melingkar dalam kepemilikan hikmah, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan . Berangkat dari pengertian bahwa Lubb merupakan saripati sesuatu, semisal kacang yang memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai Lubb. Jadi Ulul Albab ialah orang-orang yang memiliki akal murni yang tidak di selubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir . Seiring dengan itu, Prof. Wahbah Juhaili memaknai Ulul Albab dengan Ashab al-’Uqul (komunitas orang-orang cerdas)

Dalam terminologi tasawuf, mengenal istilah Shadr, Qalb, Fu’ad, dan Lub. Keempat istilah ini, dijadikan beberapa tingkatan hati, hati yang paling luar adalah Shadr; lebih dekat hubungannya dengan otak, metabolisme fisik, dan mekanisme hormonal lainnya. Dan Lubb adalah tingkatan paling dalam, tingkatan yang paling luar biasa karena kalau perjalanan sudah sampai pada hati yang paling dalam, kita menemukan sirul asrar, rahasia dari segala rahasia. Oleh karena itu, Ulul Albab adalah orang yang perjalanannya hampir ke hati yang paling bawah, yang dapat menangkap cahaya Allah SWT. Lubb adalah gunung yang paling agung dan lapisan yang paling selamat. Ia seperti sumbu yang tidak bergeser dan bergerak. Ia menjadi sumber tegaknya agama. Seluruh cahaya kembali kepadanya dan memagari sekitarnya. Cahaya-cahaya tersbut tidak sempurna dan kekuasaannya tidak terwujud kecuali dengan tegaknya lubb. Cahaya tersebut hanya bisa kokoh dan hanya ada bila lubb ada. Ia merupakan sumber cahaya tauhid dan cahaya penyaksian keesaan-Nya. Dengannya hakikat penghambaan yang murni dan cahaya pengagungan menjadi nyata. Lubb adalah cahaya yang bersambung, tumbuhan yang tertanam, dan akal yang terbentuk. Ia buka seperti berbagai bentuk susunan di tubuh yang berada di dalam. Tetapi ia adalah cahaya yang tersebar seperti sesuatu yang orisinil. Lubb, yang merupakan akal, tertanam di ladang tauhid .

Ilustrasi yang menghubungkan antara shadr, qalb, fuad, dan, lubb, adalah lingkaran stasiun berlapis bertingkat sebagai suatu kesatuan utuh. Tiap-tiap stasiun mewadahi cahaya sendiri. Dada (shadr), sebagai lingakaran terluarnya, mewadahi cahaya Islam (praktik ibadah dana amal shaleh). Ia adalah inti dari tindakan. Sebagai bagian terluar, seperti halnya halaman rumah, telaga, tidak terbebas dari aman, bersih, dan kenyamanan, selalu saja ada gangguan. Melalui tingkatan inilah tempat masuk dan keluarnya kebaikan dan keburukan. Ia akan datang dan pergi. Dengan demikian, tidaklah cukup hanya mengandalkan shadr. Lapisan kedua, qalb, adalah tempat tempat pengetahuan yang lebih mendalam dan keimanan terhadap ajaran spritual dan keagamaan yang murni. Di sinilah letaknya cahaya iman. Ia juga tempat kesadaran kita akan kehadiran Tuhan; sebuah keadaran yang mengarahkan kita pada transformasi pemikiran dan tindakan.

Namun keimanan dalam hati (qalb), kadang bisa saja meningkat dan melemah. Maka disinilah pentingnya fuad sebagai lapisan ketiga. Fuad sebagai hati-lebih-dalam mewadahi cahaya makrifat ayau pengetahuan akan kebenaran spiritual. Seakan merasakan kehadiran Tuhan dengan sangat jelas, seakan-akan kita melihat Tuhan berada di hadapan kita. Dan inti dari lapisan itu adalah lubb. Lubb adalah tempat cahaya tauhid dan cahaya pengesaan. Ia adalah cahaya yang paling sempurna dan penguasa yang paling agung. Ia berada di luar kata-kata, teori-teori (meta-teori), dan pemikiran-pemikiran. Ia tak terhingga. Dari lubb inilah terpancar kebaikan, kebajikan, dan kebijakan. Yang kemudian ditransformasikan melalui lapisan-lapisan lain di atasnya.

Dari pemaparan di atas, asumsi awal mengatakan bahwa albab hanya digunakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan kepada intisari yang berkumpul dari beberapa satua; semua berkumpul dalam muara lubb, tidak bisa dipisahkan. Dan tiap satuan-satua-satuan itu memiliki satauan-satuan turunan lainnya. Demikian seterusnya. Seperti halnya penggunaan kata ‘alamin (alam semesta) yang meliputi padanya bumi, langit, beserta isinya meliputi benda-benda angkasa. Demikian pula dengan terma ulul albab. Di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai manifestasi (perwujudan) ulul albab, sebagaimana disebutkan dalam 16 ayat Al-Qur’an di atas.

Paradigma gerakan
Sebagaimana disebutkan bahwa muara lubb itu adalah tempat cahaya tauhid dan pengesaan. Maka puncak dari kesadaran ulul albab adalah TAUHIDULLAH. Sehingga inilah yang menjadi paradigma dan sekaligus ideologi gerakan Hima Persis. Paradigma tauhid ini-lah yang secara prinsip menggerakkan potensi kader. Tauhid selayaknya tidak difahami secara parsial; hanya bersifat transendent “keesaan Tuhan”. Keesaan Tuhan pun harus difahami sebagai keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan materialitas, keagamaan dan keduaniawian, sosial dan individual. Tauhid seharusnya dipandang sebagai jaringan relasional antara Islam sebagai spiritual dan Islam sebagai sosial. Atau yang sering kita kenal dengan istilah “tauhid sosial”. Hassan Hanafi pernah mengatakan, ketika ada kerusakan atau diskontinuitas fungsi jaringan, maka keseluruhan fungsi itu tidak berjalan, kemudian manusia tidak bisa menghadirkan pandangan dunia tauhid, keadilan sosial, dengan demikian berkurang.
Hampir semua ayat tentang ulul albab ini mencerminkan semangat tauhid yang terpancar/ditransformasikan dalam gerakan sosial dan keilmuan (qauliyah-kauniyah). Singkat kata semangat tauhid harus meng-idolog. Di sinilah konsep Islam sebagai ideologi. Sepakat dengan Hassan Hanafi bahwa term aslama (Islam) memeiliki dua arti yaitu menyerahkan diri kepada Allah, dan bukan menyerahkan diri pada kekuasaan lain. Ini berarti pertama, sebuah penolakan terhadap segala penindasan yang tidak pasti. Kedua, sebuah penerimaan kekuasaan yang transendental, Allah SWT.


Falsafah perjuangan dan Trias Politika Hima Persis
Dalam mengklasifikasi perwujudan jati diri kader Hima Persis yang terkandung dalam jargon Ulul Albab, kita dapat mengambil 3 (tiga) pelajaran penting yang kita kukuhkan sebagai falsafah perjuangan kita. Lalu kita aplikasikan dalam Trias Politika Hima Persis.

Ilmiah >> Intelektualitas
1. Kader ulul Albab adalah kader yang terus berupaya mumpuni dalam keilmuan; mendalam ilmunya; kritis dalam memahami pendapat dan pemikiran orang lain. Baik dengan cara mendengarkan, menganalisa, bersikap kritis dan mengkritisi, berdiskusi. Sebagaimana tertera dalam QS. Ali-Imran: 7,

"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat . adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal".

QS. Az-Zumar: 18
"Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya mereka . Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal".

2. Dia tidak tabu dengan pemikiran pemikiran turats/klasik, tidak a-historis, namun tetap terbuka dengan pemikiran-pemikiran dan inovasi yang datang kemudian dengan tetap kritis menghadapi persoalan.

QS. Yusuf: 111
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman"

3. Melakukan riset keilmuan terhadap ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah. Artinya tidak tabu dengan disiplin keilmuan yang akan diterima. Dengan begitu, ia mampu bersaing dan menumbuhkan jiwa keilmuan dalam dirinya, tidak inferior di hadapan orang lain, serta mampu menghasilkan penemuan-penemuan baru baik dalam riset dan teknologi.

QS. Shad: 29; QS. Gafir: 54
"Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran".

"Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berfikir".

QS. Ali-Imran: 190
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal".

QS. Ali-Imran: 190-191],
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka".

Tipikal kader Hima Persis adalah orang yang senantiasa tidak merasa cukup dengan keilmuan yang ada. Prinsip belajar seumur hidup bukan hanya di lidah, tapi desakan sejarah, fakta keterbelakangan umat Islam dan keilmuan dan riset, dan tantangan masa depan yang penuh dengan dinamika intelektualis. Dengan kesadaran inilah, komitmen intelektual menjadi tidak terbantahkan. Sehingga menjadi watak/karakter kader yang ILMIAH melalui kerja-kerja INTELEKTUALITAS.

Untuk itu, missi pertama Hima Persis adalah “membentuk kader-kader ulama intelektual”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA BERDISKUSI.

Progresif – Revolusioner >> Transformasi Sosial - Perubahan Iklim Politik
1. Dengan keilmuan yang dimiliki, keyakinan, dan pengalaman, Kader ulul albab selalu tegak berdiri di tengah-tengah umat mengasah kepekaan sosial, memperbaiki ketimpangan sosial dengan melakukan pendampingan, pembinaan, advokasi, melakukan kerja-kerja sosial, investasi sosial, dan melakukan pengabdian sosial. Demi tegaknya keadilan di tengah-tengah umat serta persatuan ummat.

[QS. Ar-Ra’d: 19-22],
"Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)".

"Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk''.

2. Teguh dengan prinsip keyakinan, berpandangan jauh ke depan, visioner, disiplin dan memiliki kemampuan manajerial.

QS. Al-Baqarah: 197
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[123], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal".

[QS. Az-Zumar: 9],
"(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran".

3. Berani mengusung kebenaran sebagai prinsip amar ma’ruf nahyi munkar dan dakwah ilallah baik di tataran masyarakat, maupun di hadapan penguasa demi sebuah perubahan.

[QS. Ibrahim: 52],
"(Al Quran) Ini adalah penjelasan yang Sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran".

QS. Ar-Ra’d: 21]
"Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk".

[QS. Al-Maidah: 100].
"Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."

Dengan demikian, kader Hima Persis adalah kader sosial yang teguh dengan pendirian keyakinanannya, konsisten dengan kemampuan manajerialnya untuk memimpin masyarakat di manapun ia berada, melakukan pengabdian, dan melakukan pencerdasan yang massif di tengah-tengah masyarakat. Dengan kesadaran sosial inilah, komitmen sosial harus digelindingkan. Sehingga dapat menjadi watak kader yang PROGRESIF berfikir maju dan berwawasan masa depan melalui kerja-kerja TRANSFORMASI SOSIAL.

Untuk itu, missi kedua Hima Persis adalah “Membentuk kader-kadernya sebagai agen pembaharu”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA BERORGANISASI.

Di samping itu, di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kader Hima Persis harus peka menyoal persoalan kebangsaan. Gelisah dengan moralitas bangsa yang bobrok, kritis terhadap kebijakan negara yang cenderung memarjinalkan dan merugikan ummat, dan melakukan kerja-kerja politik etik di hadapan penguasa. Dengan meningkatnya kesadaran politik inilah, harus ada jiwa-jiwa REVOLUSIONER demi tegaknya kehidupan bernegara yang adil, makmur, dan terhndar jauh dari imperialisme-imperialisme baru. PERUBAHAN IKLIM POLITIK harus lebih mensejahterakan dan tidak memasung hak-hak warga.

Untuk itu, missi ketiga Hima Persis adalah “Melakukan amar ma’ruf nahyi munkar”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA MENGABDI.

Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di atas, bahwa keistimewaan-keistimewaan Ulul Albab bermuara dan melingkar dalam ”hikmah” (kebijaksanaan). Inilah puncak tertinggi tertinggi gelar kita.

Kata al-Hikmah dalam al-Quran disebutkan 20 kali di tempat yang berbeda. Diantaranya QS. al-Baqarah:269, QS. an-Nahl:125, QS. al-Ahzab:34, QS. Shad:20, QS. Ali Imran:164, dan QS. an-Nisa:54. Makna al-Hikmah dalam bahasa Arab berarti besi kekang atau besi pengekang, yaitu pengendali. Hikmah dalam pengertian bahasa (etimologis) ini kemudian digunakan sehingga hikmah diartikan sebagai “sesuatu yang dapat mengendalikan manusia agar tidak bertindak dan melakukan perbuatan, perilaku, dan budi pekerti yang rendah, tercela, dan tidak terpuji”. Ibnu Mandzur dalam Lisan al-Arab, menjelaskan bahwa dalam istilah hikmah terkandung makna ketelitian dan kecermatan dalam ilmu dan amal. Orang yang memiliki hikmah dalam arti tersebut akan terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan bermanfaat. Al-Bazdawi pun mengatakan demikian, begitu pula dengan pendapat Malik dalam kitabnya, Mukhtashar Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlih .

Hikmah juga dapat bermakna filosofis, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridha. Menurutnya, hikmah adalah pengetahuan mengenai akibat, hakikat, manfaat, dan faidah dari sesuatu. Pengetahuan tersebut mendorong atau memotivasi pemiliknya untuk melakukan sesuatu yang baik dan terpuji secara baik dan benar. Ibnu Sina (w. 328 H/1078 M) mengungkapkan pula, bahwa hikmah adalah usaha untuk menyempurnakan diri manusia dengan bentuk konsep-konsep tentang segala sesuatu serta pengujian hakikatnya, baik secara teoritis maupun praktis-empiris sesuai dengan kemampuan manusia.

Ahli tafsir pun mengemukakan tentang Hikmah, seperti al-Raghib al-Isfahani bahwa hikmah adalah perolehan kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal yang berasal dari Allah dan manusia. Jika berasal dari Allah, ia adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada dan kebenarannya itu benar. Jika berasal dari manusia, ia merupakan pengetahuan tentang segala yang ada serta pengamalannya dalam berbagai kebajikan. Sebagaimana tersirat dalam QS. Shad : 20. Imam al-Maraghi -pun berkata tentang hikmah, bahwa ia adalah ilmu yang bermanfaat, yang membekas dalam diri yang bersangkutan. Sehingga ilmu tersebut mengarahkan kehendak untuk mengamalkan apa yang telah dianjurkan, yang hal ini akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hikmah yang terkandung dalam ayat di atas adalah orang yang diberi ilmu (pengetahuan) dan berusaha mencapai kesempurnaan diri dengan mengamalkannya sehingga ia memperoleh faedah dan manfaat di dunia dan akhirat; UNTUK ALLAH, MANUSIA, DAN ALAM SEMESTA. Sehingga sampailah kepada tujuan kiprah Hima Persis, yaitu membentuk insan akademis pembaharu yang progresif-revolusioner sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan diridlai Allah SWT.

PENUTUP
Kehadiran Hima Persis sebagai organisasi kader-otonom Persatuan Islam adalah jiwa-jiwa baru yang terlahir atas kesadaran sejarah. Keberadaannya di tengah-tengah umat berefek double; di satu sisi ia berproses menjadi dirinya sendiri, di sisi lain ia berperan aktif dalam menyikapi persoalan keumatan-kebangsaan. Ia melihat, ia mendengar, mendiskusikan, berimajinasi, lalu bergerak di tengah-tengah kemandegan berfikir, keterbelakangan keilmuan, ketidakadilan, kebodohan, inferiorisme, bobroknya moral bangsa, kemiskinan, penjajahan, dan ketertuduhan. Karena Islam adalah penyelamat zaman untuk dapat lebih ”waras”. Islam hadir di tengah-tengah umat untuk menyinari, memancarkan cahaya ketenangan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan kemenangan; tidak hanya di akhirat, namun mulai saat ini, di sini, di dunia ini. Dan kader Hima Persis (harus) menyadari dan siap untuk menampilkan semua itu. Bagi kita, hidup adalah berdiskusi, berorganisasi dan mengabdi. Selamat berdiskusi...

dikutip dari : http://desyahid.blogspot.com/2010/01/ulul-albab-jati-diri-kader-hima-persis.html